Poros
Jakarta-Beijing II
Saidiman Ahmad ; Tingkat Master Crawford School of Public
Policy,
Australian National University
|
KOMPAS,
15 Desember 2014
Tidak kurang dari 27 miliar dollar
AS komitmen investasi Tiongkok di Indonesia setelah kunjungan Joko Widodo ke
Beijing. Ini adalah bukti penting tentang semakin merekatnya hubungan kedua
negara.
Beijing adalah kota pertama yang
dikunjungi Jokowi setelah resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Selain
menghadiri forum ekonomi dunia, APEC, kunjungan ini sesungguhnya juga
memiliki makna simbolis tentang hubungan Indonesia dan Tiongkok. Meski Jokowi
menyatakan hubungan Indonesia dan Tiongkok telah berlangsung ratusan tahun,
sebagai negara modern hubungan ini naik-turun, bahkan putus-sambung.
Indonesia adalah negara pertama
yang menjalin hubungan bilateral dengan Tiongkok tahun 1950. Sejak itu,
Indonesia dan Tiongkok menjalin persahabatan erat. Soekarno bahkan menyebut
Poros Jakarta-Peking (Beijing), selain juga beberapa poros lain, seperti
Poros Jakarta-Moskwa atau Poros Jakarta-Moskwa-Pyongyang-Peking.
Poros ini adalah isyarat jelas
untuk menyingkirkan pengaruh Amerika Serikat dan Eropa di Asia. Selain itu,
Indonesia dan Tiongkok juga memang sedang dipimpin oleh dua tokoh besar
penggerak revolusi: Soekarno dan Mao Zedong.
Kedekatan Indonesia dan Tiongkok
ketika itu sesungguhnya bertumpu pada kedekatan ideologi negara yang tecermin
pada sikap para pemimpinnya. Masa-masa itu, rakyat Tiongkok baru saja
merayakan kekuasaan partai komunis.
Indonesia, di satu sisi, juga masih dalam
euforia revolusi dengan semangat sosialistik yang kental. Indonesia bahkan
memiliki partai komunis terbesar ketiga dunia saat itu.
Awal kerenggangan
Akhir kekuasaan Orde Lama yang
digantikan rezim militer Orde Baru menjadi awal renggangnya hubungan kedua
negara. Orde Baru bersikap antikomunis dan berjarak dengan Tiongkok.
Para agitator Orde Baru bahkan
tak segan-segan menuduh Tiongkok berada di balik percobaan kudeta tahun 1965.
Propaganda anti-komunisme, pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan tuduhan
Tiongkok mendalangi percobaan kudeta membekukan hubungan diplomatik kedua
negara tahun 1967.
Faktor pembeku hubungan
diplomatik kedua negara sebetulnya tidak hanya ada di Indonesia. Di Tiongkok,
masa-masa itu adalah masa paling ideologis dari partai penguasa sehingga
semangat revolusioner mewarnai kebijakan luar negerinya.
Pada pertengahan 1970-an,
kebijakan luar negeri Tiongkok menjadi lebih damai dan bersahabat terhadap
negara-negara non komunis. Saat itu mulai diperkenalkan empat bentuk
modernisasi kebijakan: agrikultur, industri, sains dan teknologi, serta
pertahanan (Sukma, 2009).
Perubahan arah kebijakan Beijing
yang berorientasi pada pembangunan membuka peluang bagi terciptanya kembali
hubungan dengan Indonesia. Pada saat yang sama, rezim Orde Baru di Indonesia
sudah semakin kokoh berkuasa, nyaris tidak memerlukan lagi propaganda
anti-komunisme.
Jargon pembangunan semakin
populer. Jargon anti-komunisme hanya muncul sekali-sekali sebagai alat
ideologis untuk meredam potensi gerakan sosial yang kritis. Maka, kedua
negara membuka peluang persahabatan kembali.
Ketika terjadi kerusuhan
1997-1998 di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia yang menyebabkan
etnis Tionghoa menjadi korban utama, beberapa kelompok masyarakat di Tiongkok
mendesak pemerintah mereka mengambil sikap tegas.
Namun, rezim komunis Tiongkok
justru memilih tidak ingin ikut campur dan menganggap Indonesia mampu
mengatasi persoalan di dalam negerinya sendiri. Sikap ini tidak akan
ditemukan pada tahun-tahun sebelumnya.
Runtuhnya Orde Baru dan semakin
terbukanya pandangan rezim komunis Tiongkok seakan menandai musnahnya semua
rintangan besar untuk membangun hubungan diplomatik bilateral
Indonesia-Tiongkok.
Pemulihan hak
Presiden Abdurrahman Wahid pun
memilih Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara pertama yang ia kunjungi
setelah terpilih sebagai presiden tahun 1999. Di dalam negeri, Gus Dur
memulihkan hak-hak warga keturunan Tionghoa yang selama Orde Baru
terpinggirkan.
Di ranah kultural, Gus Dur
bahkan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional dan meresmikan Khonghucu
sebagai agama yang diakui oleh negara.
Lebih jauh, seluruh hak politik
warga keturunan Tionghoa dipulihkan dan menjadi sama dengan warga negara
lainnya. Mereka bahkan bisa menjadi presiden yang sah secara konstitusional.
Hubungan ini terus meluas dan
semakin mendalam di era Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao
menandatangani Perjanjian Kerja Sama Strategis (Strategic Partnership Agreement).
Volume perdagangan
Indonesia-Tiongkok bergerak sangat cepat. Tahun 2005, kedua negara sepakat
melipatgandakan volume perdagangan dalam waktu lima tahun menjadi 30 miliar
dollar AS, dan hanya dalam dua tahun target itu sudah terlampaui (Tjhin, 2012). Tahun 2013, volume
perdagangan sudah mencapai 66 miliar dollar AS dan akan mencapai tidak kurang
dari 80 miliar dollar AS tahun depan (BBC, 2013).
Pada Oktober 2013, Presiden
Tiongkok Xi Jinpin menyampaikan pidato bersejarah di gedung MPR/DPR. Ini
bukan hanya pidato pertama pemimpin Tiongkok di gedung parlemen, melainkan
juga pidato pertama dari pemimpin dunia.
Maka, kunjungan pertama Jokowi
ke Beijing bukan sesuatu yang mengherankan. Jokowi mengajak para pengusaha
Tiongkok menanamkan modal pada pembangunan infrastruktur Indonesia.
Kini,
hubungan Indonesia-Tiongkok semakin terbuka dan lebih didasarkan pada
kedekatan kepentingan. Hubungan bilateral kedua negara tidak hanya memberikan
keuntungan kepada rakyat masing-masing negara, melainkan juga umat manusia
secara keseluruhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar