Perubahan
Kebijakan Subsidi BBM
Udi H Pungut ;
Peneliti pada Indonesia Research and Strategic Analysis
|
KOMPAS,
31 Desember 2014
BAHAN
bakar minyak merupakan komoditas strategis yang perlu campur tangan
pemerintah. Kebijakan harga bahan bakar minyak ke depan harus dapat mendorong
rasionalitas konsumsi dan kemajuan industri pengilangan minyak bumi di dalam
negeri seraya mengurangi beban dan volatilitas anggaran pemerintah. Itulah semangat
yang terkandung dari rekomendasi Komite Reformasi Tata Kelola Sektor Minyak
dan Gas.
Secara
garis besar, rekomendasi tersebut menyangkut dua masalah pokok, yaitu pola
subsidi dan jenis bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi. Pola subsidi yang
berlaku saat ini, yaitu berupa penetapan harga eceran, disarankan untuk
diubah menjadi subsidi tetap (fixed
subsidy).
Bensin,
minyak solar, dan minyak tanah tetap dipertahankan sebagai jenis-jenis BBM
yang diatur harganya. Namun, konsumsi bensin tidak lagi diarahkan kepada
jenis bensin premium (RON 88).
Ke
depan, impor bensin premium tidak perlu lagi dilakukan. Sebagai gantinya,
Pertamina dapat mengimpor Mogas 92, yang di dalam negeri lebih dikenal dengan
sebutan pertamax.
Selama
masa transisi, kilang BBM Pertamina yang selama ini memproduksi bensin
premium dapat tetap berjalan. Produksinya diedarkan di wilayah sekitar lokasi
kilang dengan besaran subsidi lebih kecil daripada subsidi untuk pertamax.
Momentum
Harga
minyak di pasar dunia sedang turun drastis. Sekarang saat tepat untuk
memperbarui kualitas BBM yang kita konsumsi. Selisih antara harga keekonomian
Mogas 92 dan harga eceran tanpa pajak untuk bensin premium yang ditetapkan
pada saat ini tak terlampau besar. Dengan subsidi Rp 1.000 per liter, misalnya,
harga Mogas 92 hanya akan sedikit lebih tinggi daripada harga eceran bensin
premium yang ditetapkan saat ini.
Pergantian
bensin premium dengan Mogas 92 memungkinkan penghitungan harga keekonomian
bensin menjadi lebih akuntabel. Bensin premium tidak diperdagangkan di pasar
dunia sehingga referensi harganya tidak tersedia. Impor bensin premium
dilakukan dengan mencampur bensin yang kualitasnya lebih tinggi dengan
Naptha. Harga keekonomian bensin premium dihitung berdasarkan persentase tertentu dari harga
Mogas 92.
Karena
kualitasnya lebih tinggi, harga Mogas 92 tentu lebih mahal daripada bensin
premium. Namun, harga patokan yang digunakan dalam penghitungan subsidi
bensin premium ternyata menggunakan harga referensi atau harga indeks pasar
yang hanya sedikit lebih rendah (98,42 persen) daripada harga Mogas 92.
Dengan
menggunakan Mogas 92, biaya keekonomian konsumsi bensin akan bertambah
sekitar 1,5 persen. Tambahan biaya tersebut adalah konsekuensi dari
peningkatan kualitas konsumsi yang akan berdampak positif terhadap lingkungan
dan menghasilkan manfaat lain bagi konsumen.
Perubahan
kebijakan subsidi tentu mengharuskan penyesuaian pada pasokan BBM, khususnya
bensin, oleh Pertamina. Produksi kilang di dalam negeri harus diubah dari
bensin premium menjadi pertamax (RON 92). Menurut informasi, secara teknis
itu dapat dilakukan Pertamina dalam waktu beberapa bulan. Peralihan produksi
dari bensin premium menjadi Pertamax 92 dapat berjalan lebih lancar, terutama
apabila Pertamina dapat mengelola fasilitas kilang TPPI yang ada di Tuban.
Subsidi tetap
Usulan
besaran subsidi yang bersifat tetap banyak kita dengar akhir-akhir ini. Tim
Reformasi Tata Kelola Migas merekomendasikan pola subsidi tersebut, khususnya
untuk bensin. Besaran subsidi per liter ditetapkan pemerintah sesuai dengan
kemampuan anggaran. Dengan subsidi tetap, kebutuhan anggaran untuk subsidi
menjadi lebih pasti dan tidak terpengaruh oleh perubahan harga BBM di pasar
dunia.
Pola
subsidi dalam bentuk penetapan harga eceran menyebabkan kebutuhan anggaran
subsidi berfluktuasi sesuai dengan perubahan harga BBM di pasar dunia. Dengan
pola subsidi tetap, tentu anggaran pemerintah akan lebih stabil karena
perubahan harga minyak di pasar dunia ditransmisikan ke harga di dalam
negeri. Dalam hal ini, konsumen di dalam negeri harus menyesuaikan diri
dengan perubahan harga yang akan terjadi setiap bulanan atau dua mingguan.
Perlu
dicatat, pola subsidi tetap tersebut hanya diusulkan untuk bensin. Untuk
minyak solar, pola subsidinya masih menggunakan pola lama, yaitu dengan
penetapan harga jual eceran.
Minyak
solar bersubsidi umumnya digunakan untuk transportasi publik, angkutan barang
untuk kepentingan umum, dan kapal nelayan. Harga input yang berubah-ubah
diperkirakan mempersulit kegiatan usaha tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar