Kamis, 25 Desember 2014

NIIS dan Fenomena Radikalisme Baru

Laporan Akhir Tahun Internasional

NIIS dan Fenomena Radikalisme Baru

MH Samsul Hadi  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS,  23 Desember 2014

                                                                                                                       


KETIKA Osama bin Laden tewas, Mei 2011, sebagian menganggap hal itu sebagai akhir kekerasan kelompok militan jihad. Namun, kurang dari empat tahun kemudian, justru muncul organisasi yang disebut-sebut lebih berbahaya daripada Al Qaeda-nya Osama: Negara Islam di Irak dan Suriah.
Baqiya wa tatamadad (kekal dan terus berekspansi). Dua kata bahasa Arab itu selama bertahun- tahun kerap diproklamasikan para milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Pernyataan sederhana itu merepresentasikan cara kerja paling mendasar NIIS sebagai organisasi (Charles Lister, Profiling the Islamic State, 2014).

Awalnya hanya sebuah kamp pelatihan di Provinsi Kandahar, Afganistan, dengan modal pinjaman 200.000 dollar AS (Rp 2,4 miliar) dari Al Qaeda. Jund al- Sham (Pasukan Syam), demikian Abu Musab al-Zarqawi menamai kelompok rintisannya pada 1999 dan cikal bakal NIIS.

Meskipun perubahan nama berkali-kali dilakukan kelompok itu dan markas mereka terus berpindah-pindah hingga bertransformasi menjadi NIIS pada 9 April 2013, satu hal yang tak berubah: elemen sektarian selalu menjadi bagian strategi mereka.

Di Irak, mereka memanfaatkan dan menyuburkan terus konflik Sunni-Syiah, buah kebijakan marjinalisasi Sunni oleh Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki yang beraliran Syiah. Di Suriah, mereka mengail teror di tengah keruhnya konflik di negeri itu.

Al-Zarqawi yakin bahwa kekacauan sektarian bakal menyuburkan organisasinya. Maka, mereka melancarkan segala bentuk teror, seperti pelaksanaan aksi bom bunuh diri dengan target korban massal, penculikan, penyiksaan, perbudakan perempuan, pembantaian, dan pemenggalan kepala sandera.

Brutalitas, kekejaman, dengan sasaran korban berskala massal, seolah-olah napas kelompok itu. Di mata para ideolog gerakan jihad pun, termasuk Al Qaeda yang memberi mereka lisensi dengan nama Al Qaeda di Irak (AQI), kelompok Al-Zarqawi terlalu ekstrem.

Abu Qatada, ideolog gerakan jihad asal Jordania dan eks tokoh Al Qaeda di Eropa, menyebut NIIS seperti khawarij. (Economist, 1/11/2014). Khawarij adalah gerakan keagamaan ekstrem pada abad ketujuh saat dunia Islam dilanda kekacauan perang saudara pertama, Perang Siffin. Situasinya mirip dengan situasi sosial-politik yang melatari pemunculan NIIS.

Pada 2006, Al-Zarqawi tewas oleh bom pasukan AS. Di bawah penerusnya, Abu Ayyub al-Masri, AQI merger dengan lima kelompok lain, membentuk Majlis Shura al-Mujahideen, yang melahirkan Negara Islam di Irak (ISI).

Sejak 18 April 2010, ISI dipimpin Abu Bakr al-Baghdadi. Ketika perang Suriah meletus, Maret 2011, Baghdadi melihat celah mengembangkan organisasinya di tengah kekacauan negeri itu. Ia mengirim milisinya ke Suriah, ikut memerangi rezim Presiden Bashar al-Assad.

April 2013, Baghdadi mengklaim kelompok oposisi lain di Suriah, Front Al-Nusra, sebagai cabangnya dan mengubah nama kelompoknya menjadi NIIS atau ISIS. Pemimpin Al Qaeda penerus Osama, Ayman al-Zawahiri, marah. Ia ingin kelompok Baghdadi lebih fokus di Irak.

Pada Februari 2014, Al-Zawahiri menyatakan, NIIS bukan cabang Al Qaeda. Hal itu menjadi momentum bagi NIIS melebarkan sayap. Sambil terus berkonsolidasi di Raqqa, Suriah, NIIS kian menancapkan kekuasaan di Irak utara dan barat.

Puncaknya terjadi pada 10 Juni lalu saat NIIS merebut Mosul, kota terbesar kedua di Irak, dalam serangan kilat kurang dari 14 jam. Pada akhir bulan itu, bertepatan 1 Ramadhan, Baghdadi mengumumkan berdirinya kekhalifahan Islam. Ia mengangkat dirinya sebagai khalifah.

Hal itu jelas merupakan upaya NIIS menarik perhatian Muslim di seluruh dunia. Baghdadi tahu, sejak kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 1923, konsep kekhalifahan tak pernah hilang dari benak umat Muslim.

Bukan teroris biasa

Melalui deklarasi kekhalifahan yang diumumkan lewat rekaman suara dalam lima bahasa, NIIS menancapkan elemen transnasionalisme milisi jihad. Dari sebuah kamp pelatihan dengan modal 200.000 dollar AS, 15 tahun lalu, NIIS kini menjelma mirip sebuah negara dengan kekuatan pasukan—seperti diperkirakan Badan Intelijen Pusat AS (CIA)—hingga 31.500 personel.

Aset dan kekayaan mereka per September lalu ditaksir mendekati 2 miliar dollar AS (Rp 25 triliun). Dari penjualan minyak dari ladang minyak yang mereka kuasai ke pasar gelap, NIIS meraup pemasukan 2 juta dollar AS (Rp 24 miliar) per hari. Ditambah perampasan dan pemerasan, produksi ladang minyak memberi mereka pemasukan lebih dari 3 juta dollar AS (Rp 36 miliar) per hari. NIIS pun disebut-sebut sebagai organisasi teroris paling kaya di dunia.

Bagaimanapun, NIIS tidak sekadar organisasi teroris. Di bawah kendali Baghdadi, kelompok itu membangun struktur yang mirip pemerintahan modern. Struktur organisasi mereka sangat rapi. Baghdadi menunjuk dua deputi untuk Irak dan Suriah serta delapan anggota kabinet dan dewan militer beranggotakan 13 orang. Mereka mengontrol listrik, air, lalu lintas transportasi darat, membayar gaji, serta mengelola apa saja, mulai dari pabrik roti, bank, sekolah, hingga pengadilan.

”Mereka lebih bahaya daripada Al Qaeda. Mereka bukan sekadar organisasi teroris,” kata Brett McGurk, Deputi Asisten Menlu AS untuk Irak dan Iran, Juli.

Satu lagi pembeda NIIS dari organisasi-organisasi teroris lain, yaitu ekspos dan partisipasi aktif di media sosial serta ranah daring sebagai strategi komunikasi. NIIS mengetahui, media sosial adalah saluran paling efektif dan cepat untuk menggaet anak muda.

Presiden AS Barack Obama mengibaratkan NIIS dengan ”kanker” yang harus dikikis dari Timur Tengah dan belahan dunia lainnya. Dipicu kekhawatiran genosida NIIS kepada warga minoritas Yazidi, sejak Agustus, Obama memerintahkan serangan udara pada target NIIS di Irak lewat koordinasi pasukan koalisi dari hampir 60 negara. Pertengahan September, serangan udara AS diperluas ke Suriah.

Sejumlah kalangan melihat, pasukan koalisi memiliki banyak kelemahan. Mereka antara lain terbatas hanya melakukan serangan udara. Padahal, mengalahkan organisasi sesolid NIIS tak cukup hanya mengandalkan serangan udara. Langkah militer AS juga tidak didukung Turki dan Iran, yang hanya mengusung agenda masing-masing. Rapuhnya konsolidasi di pasukan koalisi terlihat pada Desember ini: 97 persen serangan udara hanya dilakukan AS. (Reuters, 17/12/2014).

Bagaimana jejak radikalisme baru ala NIIS di Indonesia? Hal itu terlihat saat muncul video Youtube yang menayangkan pria mengaku bernama Abu Muhammad al-Indunisi. Belakangan diketahui ia bernama asli Bahrum Syah, mahasiswa drop out Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di video itu, ia menyerukan ajakan bergabung NIIS.

Menurut Duta Besar Irak untuk Indonesia Abdullah Hasan Salih, sedikitnya 53 warga Indonesia bergabung dengan NIIS di Irak. Tiga di antaranya tewas. Alarm bagi Pemerintah Indonesia: jangan remehkan pengaruh NIIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar