Laporan Akhir Tahun Internasional
NIIS
dan Fenomena Radikalisme Baru
MH Samsul Hadi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember 2014
KETIKA
Osama bin Laden tewas, Mei 2011, sebagian menganggap hal itu sebagai akhir
kekerasan kelompok militan jihad. Namun, kurang dari empat tahun kemudian,
justru muncul organisasi yang disebut-sebut lebih berbahaya daripada Al
Qaeda-nya Osama: Negara Islam di Irak dan Suriah.
Baqiya
wa tatamadad (kekal dan terus berekspansi). Dua kata bahasa Arab itu selama
bertahun- tahun kerap diproklamasikan para milisi Negara Islam di Irak dan
Suriah (NIIS). Pernyataan sederhana itu merepresentasikan cara kerja paling
mendasar NIIS sebagai organisasi (Charles
Lister, Profiling the Islamic State, 2014).
Awalnya
hanya sebuah kamp pelatihan di Provinsi Kandahar, Afganistan, dengan modal
pinjaman 200.000 dollar AS (Rp 2,4 miliar) dari Al Qaeda. Jund al- Sham
(Pasukan Syam), demikian Abu Musab al-Zarqawi menamai kelompok rintisannya
pada 1999 dan cikal bakal NIIS.
Meskipun
perubahan nama berkali-kali dilakukan kelompok itu dan markas mereka terus
berpindah-pindah hingga bertransformasi menjadi NIIS pada 9 April 2013, satu
hal yang tak berubah: elemen sektarian selalu menjadi bagian strategi mereka.
Di Irak,
mereka memanfaatkan dan menyuburkan terus konflik Sunni-Syiah, buah kebijakan
marjinalisasi Sunni oleh Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki yang beraliran
Syiah. Di Suriah, mereka mengail teror di tengah keruhnya konflik di negeri
itu.
Al-Zarqawi
yakin bahwa kekacauan sektarian bakal menyuburkan organisasinya. Maka, mereka
melancarkan segala bentuk teror, seperti pelaksanaan aksi bom bunuh diri
dengan target korban massal, penculikan, penyiksaan, perbudakan perempuan,
pembantaian, dan pemenggalan kepala sandera.
Brutalitas,
kekejaman, dengan sasaran korban berskala massal, seolah-olah napas kelompok
itu. Di mata para ideolog gerakan jihad pun, termasuk Al Qaeda yang memberi
mereka lisensi dengan nama Al Qaeda di Irak (AQI), kelompok Al-Zarqawi
terlalu ekstrem.
Abu
Qatada, ideolog gerakan jihad asal Jordania dan eks tokoh Al Qaeda di Eropa,
menyebut NIIS seperti khawarij. (Economist,
1/11/2014). Khawarij adalah gerakan keagamaan ekstrem pada abad ketujuh
saat dunia Islam dilanda kekacauan perang saudara pertama, Perang Siffin.
Situasinya mirip dengan situasi sosial-politik yang melatari pemunculan NIIS.
Pada
2006, Al-Zarqawi tewas oleh bom pasukan AS. Di bawah penerusnya, Abu Ayyub
al-Masri, AQI merger dengan lima kelompok lain, membentuk Majlis Shura
al-Mujahideen, yang melahirkan Negara Islam di Irak (ISI).
Sejak 18
April 2010, ISI dipimpin Abu Bakr al-Baghdadi. Ketika perang Suriah meletus,
Maret 2011, Baghdadi melihat celah mengembangkan organisasinya di tengah kekacauan
negeri itu. Ia mengirim milisinya ke Suriah, ikut memerangi rezim Presiden
Bashar al-Assad.
April
2013, Baghdadi mengklaim kelompok oposisi lain di Suriah, Front Al-Nusra,
sebagai cabangnya dan mengubah nama kelompoknya menjadi NIIS atau ISIS. Pemimpin
Al Qaeda penerus Osama, Ayman al-Zawahiri, marah. Ia ingin kelompok Baghdadi
lebih fokus di Irak.
Pada
Februari 2014, Al-Zawahiri menyatakan, NIIS bukan cabang Al Qaeda. Hal itu
menjadi momentum bagi NIIS melebarkan sayap. Sambil terus berkonsolidasi di
Raqqa, Suriah, NIIS kian menancapkan kekuasaan di Irak utara dan barat.
Puncaknya
terjadi pada 10 Juni lalu saat NIIS merebut Mosul, kota terbesar kedua di
Irak, dalam serangan kilat kurang dari 14 jam. Pada akhir bulan itu,
bertepatan 1 Ramadhan, Baghdadi mengumumkan berdirinya kekhalifahan Islam. Ia
mengangkat dirinya sebagai khalifah.
Hal itu
jelas merupakan upaya NIIS menarik perhatian Muslim di seluruh dunia.
Baghdadi tahu, sejak kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 1923, konsep
kekhalifahan tak pernah hilang dari benak umat Muslim.
Bukan teroris biasa
Melalui
deklarasi kekhalifahan yang diumumkan lewat rekaman suara dalam lima bahasa,
NIIS menancapkan elemen transnasionalisme milisi jihad. Dari sebuah kamp
pelatihan dengan modal 200.000 dollar AS, 15 tahun lalu, NIIS kini menjelma
mirip sebuah negara dengan kekuatan pasukan—seperti diperkirakan Badan
Intelijen Pusat AS (CIA)—hingga 31.500 personel.
Aset dan
kekayaan mereka per September lalu ditaksir mendekati 2 miliar dollar AS (Rp
25 triliun). Dari penjualan minyak dari ladang minyak yang mereka kuasai ke
pasar gelap, NIIS meraup pemasukan 2 juta dollar AS (Rp 24 miliar) per hari.
Ditambah perampasan dan pemerasan, produksi ladang minyak memberi mereka
pemasukan lebih dari 3 juta dollar AS (Rp 36 miliar) per hari. NIIS pun
disebut-sebut sebagai organisasi teroris paling kaya di dunia.
Bagaimanapun,
NIIS tidak sekadar organisasi teroris. Di bawah kendali Baghdadi, kelompok
itu membangun struktur yang mirip pemerintahan modern. Struktur organisasi
mereka sangat rapi. Baghdadi menunjuk dua deputi untuk Irak dan Suriah serta
delapan anggota kabinet dan dewan militer beranggotakan 13 orang. Mereka
mengontrol listrik, air, lalu lintas transportasi darat, membayar gaji, serta
mengelola apa saja, mulai dari pabrik roti, bank, sekolah, hingga pengadilan.
”Mereka
lebih bahaya daripada Al Qaeda. Mereka bukan sekadar organisasi teroris,”
kata Brett McGurk, Deputi Asisten Menlu AS untuk Irak dan Iran, Juli.
Satu
lagi pembeda NIIS dari organisasi-organisasi teroris lain, yaitu ekspos dan
partisipasi aktif di media sosial serta ranah daring sebagai strategi
komunikasi. NIIS mengetahui, media sosial adalah saluran paling efektif dan
cepat untuk menggaet anak muda.
Presiden
AS Barack Obama mengibaratkan NIIS dengan ”kanker” yang harus dikikis dari
Timur Tengah dan belahan dunia lainnya. Dipicu kekhawatiran genosida NIIS
kepada warga minoritas Yazidi, sejak Agustus, Obama memerintahkan serangan
udara pada target NIIS di Irak lewat koordinasi pasukan koalisi dari hampir
60 negara. Pertengahan September, serangan udara AS diperluas ke Suriah.
Sejumlah
kalangan melihat, pasukan koalisi memiliki banyak kelemahan. Mereka antara
lain terbatas hanya melakukan serangan udara. Padahal, mengalahkan organisasi
sesolid NIIS tak cukup hanya mengandalkan serangan udara. Langkah militer AS
juga tidak didukung Turki dan Iran, yang hanya mengusung agenda
masing-masing. Rapuhnya konsolidasi di pasukan koalisi terlihat pada Desember
ini: 97 persen serangan udara hanya dilakukan AS. (Reuters, 17/12/2014).
Bagaimana
jejak radikalisme baru ala NIIS di Indonesia? Hal itu terlihat saat muncul
video Youtube yang menayangkan pria mengaku bernama Abu Muhammad al-Indunisi.
Belakangan diketahui ia bernama asli Bahrum Syah, mahasiswa drop out Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di video itu, ia menyerukan ajakan bergabung
NIIS.
Menurut
Duta Besar Irak untuk Indonesia Abdullah Hasan Salih, sedikitnya 53 warga
Indonesia bergabung dengan NIIS di Irak. Tiga di antaranya tewas. Alarm bagi
Pemerintah Indonesia: jangan remehkan pengaruh NIIS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar