Mengelola Konflik
Partai Politik
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 29 Desember 2014
DUA partai politik tertua negeri ini, Partai Golongan Karya dan Partai
Persatuan Pembangunan, terperangkap konflik internal. Setiap pihak mengklaim
sebagai kepengurusan yang sah atas yang lain. Mengapa parpol-parpol kita
masih rentan konflik?
Sejarah negeri ini pada dasarnya tak bisa dipisahkan dari sejarah
panjang konflik parpol, baik yang bersifat internal maupun antarpartai. Sumber konflik internal
umumnya terkait gesekan suksesi kepemimpinan di antara elemen, unsur, atau
aktor utama partai. Konflik internal juga dipicu oleh perbedaan cara pandang
dan ideologi tokoh-tokoh partai mengenai isu atau kebijakan tertentu.
Konflik eksternal lebih terkait perbedaan dalam memandang posisi partai
ketika berhadapan dengan otoritas politik, dalam hal ini pemerintah yang
berkuasa. Partai-partai politik besar pada masa lalu, seperti Serikat Islam yang kemudian menjadi Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai
Masyumi, pernah mengalami konflik dan perpecahan internal.
Pada era rezim otoriter Orde Baru, konflik internal yang dialami Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) umumnya
dipicu oleh campur tangan negara dalam seleksi kepemimpinan parpol. Rezim
Soeharto biasanya mendukung tokoh-tokoh tertentu sebagai calon ketua umum
partai dan sebaliknya menghambat munculnya figur-figur yang dianggap kritis
terhadap Orde Baru.
Selain itu, rezim Soeharto juga berkepentingan untuk ”memelihara”
konflik internal parpol agar di satu pihak PPP dan PDI dapat ”dikuasai”, dan
di pihak lain supaya Golkar, yang notabene menolak disebut sebagai parpol,
selalu memenangi pemilu-pemilu manipulatif Orde Baru secara mayoritas mutlak.
Ketika negara Orde Baru yang selalu memaksakan kehendak itu runtuh
bersamaan dengan mundurnya Soeharto pada 1998, konflik internal parpol
semestinya turut surut pula. Apalagi pada era reformasi tidak ada pembatasan
kebebasan berserikat untuk membentuk parpol baru seperti dialami bangsa kita
selama lebih dari 30 tahun Orde Baru.
Akan tetapi, dalam realitasnya ternyata konflik internal parpol tak
berkurang. Konflik internal PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri
sekurang-kurangnya pernah melahirkan Partai Nasional Benteng Kemerdekaan
(PNBK) yang dipimpin Eros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang
pernah diketuai secara ganda oleh kubu Laksamana Sukardi dan kubu Roy BB
Janis, serta Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA) yang didirikan oleh
Profesor Dimyati Hartono.
Konflik internal Partai Amanat Nasional pernah melahirkan Partai
Matahari Bangsa (PMB) yang mencoba mewadahi sayap kaum muda Muhammadiyah yang
kecewa terhadap kepemimpinan PAN di bawah Soetrisno Bachir. Partai Golkar dan
PPP yang tengah terperangkap konflik internal pernah berkali-kali mengalami
konflik sebelumnya, tetapi relatif
dapat diredam karena masih kuatnya ketokohan dan patronase sejumlah figur
petinggi partai sehingga tidak ”gaduh” secara publik seperti konflik
terakhir.
Produk
konflik Golkar
Sejumlah parpol baru yang lahir setelah Pemilu 1999, seperti Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai
Nasdem, pada dasarnya adalah produk konflik internal Golkar. Para tokoh yang
memimpin partai-partai tersebut, masing-masing Wiranto, Prabowo Subianto, dan
Surya Paloh, pernah berupaya menjadi ketua umum partai beringin, tetapi
gagal.
Sementara itu, pertikaian internal PPP pada awal reformasi melahirkan
PPP Reformasi yang kemudian menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) di bawah
kepemimpinan Zainuddin MZ dan Bursah Zarnubi, yang juga sempat konflik
sebelum akhirnya ”dai sejuta umat” Zainuddin MZ wafat.
Salah satu sumber konflik internal yang hampir selalu mendera parpol
adalah problem kepemimpinan dalam manajemen partai. Ketika partai-partai
politik dikelola secara oligarkis dan kepemimpinan personal lebih melembaga
ketimbang kepemimpinan institusional, konflik internal parpol hanya soal
waktu. Apalagi jika pemimpin partai mengabaikan prinsip demokrasi,
transparansi, dan meritokrasi, serta cenderung memaksakan kehendak dengan
cara memanipulasi konstitusi partai.
Problem kepemimpinan parpol bertambah rumit ketika sebagian pengurus
dan anggota partai cenderung mengultuskan kepemimpinan figur atau tokoh tertentu yang dianggap berjasa
bagi partai. Ironisnya, para pemimpin partai yang dikultuskan tersebut tak
hanya cenderung ”menikmati” kultus atas diri mereka, tetapi juga tidak jarang
memosisikan diri berada di atas partai. Akibatnya, partai-partai politik yang
esensinya merupakan institusi publik akhirnya berkembang menjadi firma-firma
pribadi dengan hak-hak istimewa yang melekat pada keluarga dan kroni para
pemimpin partai.
Di sisi lain, melembagakan kepemimpinan partai yang demokratis bukanlah
perkara mudah. Persoalannya, pada umumnya parpol di negeri ini hanya sibuk
menjelang perebutan jabatan publik melalui pemilu dan pilkada, serta jabatan
kepengurusan melalui munas, muktamar, dan kongres partai. Kaderisasi dan
seleksi kepemimpinan atas dasar sistem meritokrasi hampir-hampir tidak pernah
berlangsung.
Yang tumbuh subur pada akhirnya adalah kepemimpinan oligarkis yang
terbangun dari sistem patronase, perkoncoan, dan kubu-kubuan yang diikat oleh
kemampuan sang pemimpin mengalokasikan sumber-sumber politik dan ekonomi
kepada para pendukungnya.
Mahkamah
partai?
Sulit dimungkiri, baik Golkar maupun PPP tengah terperosok ke dalam
realitas tata kelola partai yang tidak sehat seperti dikemukakan di atas.
Resolusi dan penyelesaian konflik menjadi rumit karena hampir semua elite
partai terbelah ke dalam dua kubu yang berseteru.
Mekanisme penyelesaian konflik melalui ”mahkamah partai” masih
diragukan keampuhannya. Bukan hanya karena lembaga yang diintroduksi oleh UU
No 2/2011 tentang Partai Politik itu masih baru, melainkan karena sebagian
anggota mahkamah partai juga terbelah ke dalam pihak yang berkonflik.
Oleh karena itu, salah satu harapan kedua pihak adalah menempuh jalur
hukum melalui pengadilan negeri yang memiliki otoritas menerbitkan keputusan
pertama dan terakhir atas perkara konflik partai. Jika salah satu pihak tidak
puas atas keputusan pengadilan, dapat dilakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pertanyaannya, apakah pengadilan memiliki hakim yang kompeten mengadili
perkara konflik internal parpol? Pertanyaan yang sama bisa diajukan kepada
Mahkamah Agung sebagai pemutus akhir. Artinya, penyelesaian konflik partai
politik secara hukum tidak menjamin terselesaikannya konflik secara politik.
Oleh karena itu, salah satu pilihan bagi Golkar dan PPP adalah
melakukan rekonsiliasi di luar pengadilan, yakni dengan cara mengembalikan partai pada
posisi status quo, dalam arti legalitasnya didasarkan atas hasil munas atau
muktamar terakhir sebelum konflik.
Akan tetapi, karena masa jabatan pengurus telah melampaui lima tahun,
kepengurusan tersebut semestinya dalam status sudah demisioner. Dengan
demikian, pihak-pihak yang bertikai bisa berkedudukan setara dalam
menyelesaikan perbedaan di antara mereka. Jika masih ada, tokoh senior partai
yang berwibawa dan tidak berpihak bisa menjadi mediator penyelesaian konflik.
Pilihan kedua, dilakukan munas ataupun muktamar luar biasa yang
penyelenggaraannya diorganisasikan oleh kedua pihak yang bertikai, tentu
dengan syarat dua kubu kepengurusan dinyatakan bubar secara sukarela.
Pertanyaannya, apakah dua kubu mau berlapang dada membubarkan kepengurusan
hasil munas atau kongres.
Singkatnya, harus ada sikap kenegarawanan di antara pemimpin kubu
pihak-pihak yang bertikai untuk memaksimalkan persamaan dan sebaliknya
meminimalkan perbedaan di antara mereka. Jika tidak, bagaimana mungkin kita
bisa percaya bahwa para politisi yang bertikai dapat mengurus negara jika
konflik di antara mereka sendiri tak sanggup diselesaikan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar