Memperbaiki
Nasib Anak Indonesia
Ali Khomsan ; Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Desember 2014
JUMLAH anak pendek di Indonesia
mencapai 37,2% dan penderita gizi kurang/ buruk 19,6%. Persoalan anak pendek
sejatinya telah berlangsung lama. Hanya, kita baru tersadar sekarang. Masalah
gizi yang kita hadapi dari dulu hingga kini mungkin memberikan kontribusi
signifikan terhadap prestasi anak-anak bangsa.Memperhatikan data tantang
kualitas SDM Indonesia sungguh miris.
Banyak anak didik memiliki lower order thinking skills. Dengan
mengacu kepada studi Trends in
International Math and Science Survey (TIMSS) 2007, anak-anak Indonesia
yang memiliki performa rendah dan di bawah rata-rata berjumlah 78%, Hong Kong
15%, Taiwan 14%, Singapura 12%, dan Korea 10%.
Ini cermin bahwa program-program
gizi selama ini belum cukup untuk memperbaiki kualitas anak-anak Indonesia.
Negara melakukan upaya-upaya perbaikan gizi dan kesehatan melalui pemberian
makanan tambahan, fortifikasi bahan makanan, imunisasi, dan pemberian suplemen
besi/vitamin A. Namun, di sisi lain, kita kurang hirau terhadap sumber daya
nutrisi yang murah dan selalu tersedia yaitu air susu ibu (ASI) sehingga
capaian ASI eksklusif masih relatif rendah. Selama ini instansi pemerintah
ataupun swasta memberikan cuti melahirkan kepada kaum perempuan selama tiga
bulan.Terkadang cuti tersebut diambil satu bulan sebelum melahirkan dan dua
bulan sesudah melahirkan.
Kebijakan cuti yang selama ini
diberlakukan sesungguhnya tidak mendukung upaya perbaikan kualitas hidup
bangsa. Pakar gizi dan kesehatan telah menyepakati bahwa bayi harus diberi
ASI eksklusif (ASI saja) selama enam bulan pada awal kehidupannya. Hal itu
akan menjamin asupan nutrisi yang berkualitas dalam periode yang sangat
penting ini.
Coba hitung berapa kerugian yang
ditanggung perusahaan bila seorang perempuan cuti melahirkan enam bulan dan
bandingkan dengan biaya yang harus dipikul rumah tangga karena harus membeli
susu formula? Perhitungkan juga potensi kecerdasan yang hilang akibat seorang
anak tidak mendapatkan ASI secara cukup.Negara yang menaruh perhatian
terhadap kualitas SDM-nya tentu tidak akan ragu menetapkan kebijakan yang
berpihak pada membaiknya tumbuh kembang anak.
Indonesia ialah negara dengan
jumlah penduduk miskin sangat banyak. Penduduk miskin ini tidak seyogianya
membelanjakan penghasilannya yang pas-pasan untuk membeli susu formula karena
mereka telah dibekali Tuhan dengan ASI sebagai makanan bayi.
Perempuan di zaman praindustri
ialah ibu-ibu rumah tangga yang bertanggung jawab mengelola urusan domestik
keluarganya. Dalam perjalanannya dan seiring dengan semakin pesatnya
pertumbuhan industri, kaum perempuan akhirnya memasuki dunia kerja
profesional yang menuntut banyak curahan waktu dan tenaga. Cost yang harus diambil ialah
hilangnya atau berkurangnya kesempatan untuk mengasuh anak-anaknya, termasuk
hilangnya kesempatan untuk menyusui dengan ASI secara cukup.
Perempuan pekerja secara
matematis mendapat beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan kaum pria
karena selain sebagai pekerja, kaum perempuan itu melaksanakan tugas-tugas
domestik sebagai ibu rumah tangga. Tugas domestik tersebut hendaknya tidak
dipangkas kebijakan kantor atau perusahaan. Oleh sebab itu, mari bersama-sama
kita upayakan kebijakan cuti bagi perempuan yang mendukung perbaikan kualitas
hidup bangsa.
Selain itu, suami harus
mendorong istri untuk memberikan ASI eksklusif bagi bayinya. Istilah
breastfeeding father baru-baru ini dimunculkan bukan sebagai bentuk kekenesan
perempuan, melainkan lebih untuk menyadarkan kaum pria bahwa pemberian ASI
untuk anak memang tugas perempuan, tetapi suami harus selalu memberi dukungan
agar perempuan tidak gampang menyerah dalam memberikan makanan alamiah
terbaik bagi bayinya.
Pemberian cuti yang hanya tiga
bulan pascamelahirkan akan menyulitkan penerapan ASI eksklusif sehingga bayi
tidak mendapatkan haknya yakni mendapatkan makanan alami yang melekat pada
tubuh ibunya. Sangat penting disadari bahwa produksi ASI ditentukan frekuensi
menyusui dan stres seorang ibu. Apabila ibu harus bekerja dengan meninggalkan
bayi berusia tiga bulan di rumah, selama di kantor ibu mengalami kesulitan
untuk mengeluarkan air susunya.
Semakin sering dia terkendala
untuk mengeluarkan ASI, akan muncul gangguan produksi ASI. Pada akhirnya,
jumlah ASI akan semakin sedikit dan akhirnya kering sebelum masa penyusuan
dua tahun terpenuhi.
Kondisi stres akan mengakibatkan
berkurangnya produksi ASI. Sumber stres bisa berasal dari banyak hal seperti
perubahan jam bekerja dan adanya persoalan dengan atasan atau rekan sekerja.
Orang modern kini menghadapi
sumber stres yang beraneka ragam karena tantangan hidup yang semakin berat.
Ketika industrialisasi berkembang sebagai tanda kemajuan zaman, masyarakat
harus menghadapi stres akibat polusi, stres akibat iklim udara yang semakin
panas, dan stres emosional akibat pekerjaan atau sebabsebab lainnya. Bagi
perempuan pekerja rendahan, stres semakin bertambah karena penghasilan yang
tidak memadai sehingga mereka terlilit utang. Ini akan berdampak negatif bagi
produksi ASI.
Agar kaum perempuan dapat
menyusui anaknya dengan tenang dan mendayagunakan ASI-nya secara maksimal,
sudah saatnya peraturan cuti bagi kaum perempuan diubah dari hanya 3 bulan
menjadi 6 bulan. Perempuan perlu diberi kesempatan untuk membesarkan anaknya
dengan baik. Maternal bonding dalam
enam bulan awal kehidupan seorang anak sangat penting. Seorang bayi akan
merasa aman dan nyaman dalam dekapan ibunya ketika dia disusui.
Di
Finlandia, konon ibu yang mau menyusui bayinya mendapatkan reward dari pemerintah. Itu
menunjukkan besarnya perhatian negara terhadap tumbuh kembang seorang anak.
Indonesia tidak akan mampu memberi reward
bagi perempuan yang menyusui anaknya, tetapi paling tidak kaum perempuan
harus diberi kesempatan untuk dapat secara leluasa memberikan ASI bagi
anaknya. Oleh sebab itu, harus ada komitmen dari pemerintah untuk memberikan
cuti melahirkan sesuai kaidah ASI eksklusif yaitu enam bulan pascamelahirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar