Membangun
Desa Mandiri
Herry Firdaus ; Sekretaris Petani Center dan Anggota Forum
Alumni IPB
|
KORAN
SINDO, 24 Desember 2014
Sejak
dilantik 27 Oktober 2014 lalu, para menteri Kabinet Kerja langsung tancap
gas. Beberapa menteri bergegas melakukan blusukan untuk mengetahui detail
lapangan. Sebagaimana Presiden Joko Widodo, virus blusukan menjadi salah satu
faktor kunci sejauh mana program-program langsung menyentuh hajat hidup
masyarakat, tingkat akseptabilitas masyarakat, kapabilitas pengambil
kebijakan, ataupun daya dukung di masyarakat itu sendiri. Di sinilah peran
penting gaya blusukan yang ditularkan Presiden Jokowi kepada para menterinya.
Salah
satu kementerian baru yang menjadi sorotan adalah Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDT dan Trans).
Kementerian baru pemerintahan Presiden Jokowi ini merupakan gabungan secara
parsial antara Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dengan
Direktorat Jenderal Transmigrasi dan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa, yang semula masingmasing menjadi bagian dari Kementerian Tenaga Kerja
dan Kementerian Dalam Negeri.
Mengapa
kementerian ini relatif menjadi sorotan? Ada tiga hal yang menjadikan
kementerian ini memiliki peran yang cukup kuat dan vital. Pertama , payung
hukum dalam bentuk Undang-Undang Desa. UU yang disahkan pada 15 Januari 2014
menjelang akhir masa pemerintahan Presiden SBY, adalah UU Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2014 sebagai peraturan pelaksanaannya.
Amanat
dalam UU tersebut sangat jelas. Salah satunya yang pernah menjadi diskusi
hangat publik adalah dana desa. Amanat UU malah menetapkan 10% dari dana
perimbangan, di luar dana transfer daerah, setelah dikurangi dana alokasi
khusus akan diterima oleh desa. Diperkirakan jumlah tersebut bisa mencapai
sekitar Rp103,6 triliun.
Jumlah
tersebut akan dibagi ke 74.000 desa se-Indonesia, sehingga masing-masing desa
diperkirakan akan memperoleh dana sekitar Rp1,4 miliar per tahun. Tentu saja
dana yang cukup besar tersebut menuntut desa untuk melakukan perubahan,
penguatan secara internal secara organisasi pemerintahan desa yang lebih
efektif, profesional, transparan, dan akuntabel.
Pengaturan
desa seperti tersebut dalam UU merupakan upaya untuk memajukan perekonomian
dan pembangunan sektor-sektor penting di pedesaan. Kedua, daya dukung desa.
Sesuai amanat UU Desa, dengan dukungan dana yang cukup besar, desa dituntut
lebih mampu mengorganisasi diri. Tumpuan pembangunan yang bergulir ke
pinggiran, yaitu desa-desa, maka daya dukung desa perlu ditingkatkan.
Penguatan aparatur desa dalam hal perencanaan pembangunan, akuntabilitas,
untuk menghasilkan kinerja yang efektif, transparan, bersih, dan bisa
dipercaya. Tanpa adanya pendampingan dan pelatihan yang digulirkan baik dari
LSM maupun pemerintah, bisa jadi daya dukung desa kurang optimal. Berkaitan
dengan daya dukung desa, perlu diketahui bahwa antara desa yang satu dan desa
yang lain memiliki perbedaan yang signifikan.
Pun dengan keunikan cita rasa adat lokal. Maka dengan tanpa mengurangi
keunikan cita rasa lokal, pemerintah dituntut lebih jeli menimba potensi
lokal berikut pengembangannya. Hal yang sama dialami desa-desa di perbatasan.
Diperlukan pendekatan berbeda. Sebagai jendela sebuah negara, desa-desa di
daerah perbatasan masih banyak yang memiliki problem utama. Infrastruktur,
misalnya.
Ketiga, hadirnya negara. Negara yang hadir tidak hanya memberikan
payung hukum berupa UU, atau telah bergerak sesuai amanat UU saja. Pada titik
yang lain, negara sebagai fasilitator dan melakukan pendampingan untuk
mengangkat derajat desa. Negara tak hanya mendekati pembangunan desa sebagai
objek, tetapi juga sebagai subjek.
Memberikan fasilitas pada segenap masyarakat desa untuk bisa mengelola,
mengorganisasi, dan membuat perencanaan pembangunan desa sesuai amanat lokal.
Harapannya adalah desa mampu mengangkat dirinya sendiri dengan pemerintah
sebagai fasilitator dan mentornya. Pemerintah mampu mengelola suatu kebijakan
untuk mendorong komitmen pemegang kunci pembangunan di desa.
Pemerintah, dengan segala kekuatan perangkat yang dimilikinya, harus
hadir untuk menggenapi efek psikologis UU Desa yang sangat memberikan peluang
berkembangnya desa-desa mandiri, sehingga jangan sampai desa menjadi salah
kelola hanya karena ketidaktahuan aparaturnya karena persoalan administrasi,
atau akunting, misalnya.
Gambaran tersebut menunjukkan tugas menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi tidak ringan. Sebab selain persoalan di atas,
Kementerian yang saat ini dipercayakan kepada politisi Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) Marwan Jafar itu juga masih perlu menyatukan persepsi dari tiga
kementerian secara parsial.
Dengan pengalaman selama 10 tahun sebagai anggota di Komisi Bidang
Infrastruktur DPR, Marwan diharapkan memahami persoalan di daerah tertinggal,
perbatasan ataupun terpencil. Dia menjabat ketua Fraksi PKB DPR RI periode
2009-2014, yang juga menjadi inisiator RUU Desa. Semoga pengalaman tersebut
menjadi modal terwujudnya desa yang lebih kuat, maju, mandiri, demokratis dan
sejahtera.
Menteri Desa menyarikan tantangan dari berbagai blusukan yang dilakukan
dan menyusun program kerja prioritas yang disebutnya sebagai Nawakerja 2015.
Berikut adalah program kerjanya: Gerakan 5.000 Desa Mandiri, pendampingan dan
penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur di desa, mendorong pembentukan
dan pengembangan 5.000 BUM desa, pembangunan infrastruktur untuk mendukung
penguatan produk unggulan di 5.000 desa mandiri,
revitalisasi pasar desa di 5.000 desa/kawasan perdesaan, penyiapan
implementasi penyaluran dana desa Rp1,4 miliar per desa secara bertahap,
penyaluran modal bagi koperasi/UKM di 5.000 desa, pilot project sistem pelayanan publik jaringan koneksi online di
5.000 desa, dan program ”Save Villages”
di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan, terluar, dan terpencil.
Nawakerja yang digagas Marwan Jafar sebenarnya sejurus dengan sembilan
agenda strategis prioritas (Nawacita) Presiden Jokowi, terutama pada poin tiga,
yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan.
Dan Nawacita itu diperkuat dengan strategi pembangunan nasional, yang
di antaranya sangat berkaitan dengan desa yang menjadi kewenangan Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pengalaman di beberapa
negara menunjukkan bahwa Kementerian Desa bahkan menjadi salah satu pilar
utama yang menampakkan keberpihakan secara riil negara kepada rakyatnya,
sekaligus sebagai pusat koordinasi pembangunan desa yang memiliki
interkonektivitas dengan desa-desa yang lain.
Tujuannya adalah peningkatan kemampuan daya saing. Korea Selatan,
misalnya. Salah satu negara kuat di Asia ini dikenal sebagai negeri industri
baru. Meski begitu, Korea Selatan tetap mempertahankan Kementerian Pertanian,
Pangan, dan Urusan Desa (Ministry of Agriculture, Food, and Rural Affairs).
Kemudian ada Malaysia, negeri tetangga dekat Indonesia, juga memiliki
Kementerian Pembangunan Desa dan Regional (Ministry of Rural and Regional Development). Sedangkan Tiongkok,
raksasa ekonomi Asia, juga yang memiliki Ministry
of Housing and Urban-Rural Development atau India yang memiliki
Kementerian Pembangunan Desa (Ministry
of Rural Deelopment), yang mengoordinasikan berbagai kegiatan seperti
rural livelihood, rural connectivity, dan national social assitance.
Negara-negara tersebut tentu saja memahami bahwa dengan memperkuat desa
maka otomatis memperkuat manusianya, yang kemudian bisa memperkukuh pilar
ketahanan ekonomi nasional. Membangun desa adalah tugas utama pemerintahan
yang memiliki banyak makna strategis, karena jika rakyat di pedesaan memiliki
suatu daya ekonomi maka ekonomi seluruh bangsa akan merasakan manfaatnya, sehingga perlu dikelola oleh satu kementerian khusus bernama
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Di sinilah
diperlukan kehadiran negara. Pada sisi yang lain, desa juga perlu untuk
mendorong dirinya sendiri sebagai entitas yang memiliki kehidupan dan
penghidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar