Manusia
Modern
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN
SINDO, 28 Desember 2014
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
Kabinet Jokowi berjudul “Kabinet
Kerja”, semboyannya pun “Kerja, kerja, kerja!”. Bagus! Sejauh ini pun
masyarakat sudah melihat kehadiran pemerintah dalam menyelesaikan berbagai
masalah seperti pemulangan TKI dengan pesawat Hercules TNI AU, penenggelaman
kapal-kapal ikan liar oleh TNI AL, pembangunan permukiman baru untuk
pengungsi Gunung Sinabung, dan masih banyak yang lain.
Tetapi, membangun bangsa tidak
cukup hanya oleh pemerintah. Rakyat harus terlibat, bahkan rakyatlah soko
guru utama dari pembangunan. Tugas pemerintah adalah menciptakan suasana yang
kondusif untuk rakyat bekerja optimal guna membangun negara di sektornya
masing-masing. Tetapi, rakyat tidak cukup disuruh “Kerja, kerja, dan kerja!”
saja. Banyak rakyat yang seumur hidupnya bekerja membanting tulang, setiap
hari, sejak remaja sampai tua-renta, tetapi kehidupannya tidak beranjak dari
“di bawah garis kemiskinan”.
Pada 1970-an, seorang sosiolog
dari Universitas Harvard, AS, bernama Alex Inkeles, mengamati bahwa banyak
negara berkembang yang tidak berkembang, alias macetcet , seperti Jalan
Ciawi-Puncak pada masa liburan dan Lebaran. Inkeles kemudian meneliti lima
negara berkembang dan satu negara maju (Argentina, Chili, India, Bangladesh,
Nigeria, dan Israel) dan menyebarkan angket ke berbagai lapisan dari atas
sampai paling bawah dan dari berbagai pekerjaan.
Dia menemukan bahwa
negara-negara yang macet justru yang punya SDA (sumber daya alam) yang
melimpah, tetapi SDM (sumber daya manusia) mereka tidak mempunyai “mentalitas
modern” (pastinya Indonesia juga seperti itu).
Adapun mentalitas modern,
menurut Inkeles ditandai oleh sembilan ciri yaitu (1) menerima ihwal yang
baru dan terbuka untuk perubahan, (2) bisa menyatakan pendapat atau opini
mengenai diri sendiri dan lingkungan sendiri atau hal di luar lingkungan
sendiri serta dapat bersikap demokratis, (3) menghargai waktu dan lebih
banyak berorientasi ke masa depan daripada masa lalu, (4) punya rencana dan
pengorganisasian, (5) percaya diri, (6) punya perhitungan, (7) menghargai
harkat hidup manusia lain, (8) lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan (9) menjunjung tinggi keadilan yaitu bahwa imbalan haruslah
sesuai prestasi.
Sekarang marilah kita lihat
bagaimana ciri-ciri mental orang Indonesia. Mochtar Lubis (budayawan Indonesia,
pemenang penghargaan Ramon Magsasay) dalam pidato budayanya di Taman Ismail
Marzuki pada 1977 menceritakan 10 sifat yang melekat pada manusia
Indonesiayaitu(1) munafik atau hipokrit, (2) enggan bertanggung jawab atas
perbuatannya, (3) sikap dan perilaku yang feodal, (4) masih percaya pada
takhayul, (5) artistik, (6) lemah dalam watak dan karakter, (7) malas,
bekerja hanya kalau terpaksa, (8) suka menggerutu, (9) pencemburu, pendengki,
dan (10) sok.
Tentu saja tidak semua manusia
Indonesia seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis. Karena itu, saya
termasuk salah satu pengkritik beliau ketika pidato budaya itu diterbitkan
sebagai buku Manusia Indonesia. Tetapi, setelah sekian puluh tahun berlalu,
saya pikirpikir betul juga kata Mochtar Lubis, dan masih berlaku sampai hari
ini. Tentu bukan untuk semua orang Indonesia, tetapi jelas untuk sebagian
besar orang Indonesia.
Orang Indonesia masih
memberlakukan “jam karet”, caleg dan calon kepala daerah minta dukungan dukun
atau mandi di bawah air terjun keramat, koruptor yang ditangkap KPK malah
senyumsenyum dan memakai baju koko atau berjilbab di pengadilan seakan-akan
dia paling siap masuk surga, pejabat tingkat atas mewajibkan setoran dari
pejabat-pejabat tingkat bawahnya, lebih percaya kepada “yang di atas” (baca:
nasib) daripada perencanaan dan ilmu pengetahuan, merasa dirinya (baca:
agama, etnik atau golongannya) sendiri yang benar dan seterusnya.
Hanya sifat artistik orang
Indonesia yang positif, yang sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan
perekonomian Indonesia. Sisanya merugikan semua untuk pembangunan bangsa.
Menyadari kenyataan bahwa mentalitas orang Indonesia masih jauh dari modern,
dalam rangka “revolusi mental”, Presiden Jokowi meminta sebuah tim yang
dipimpin Prof Dr Paulus Wirutomo, sosiolog UI, untuk merumuskan ciri-ciri
mental yang paling diperlukan orang Indonesia untuk menjadikannya modern dan
mampu bersaing.
Maka, tim itu pun mengundang
berbagai golongan masyarakat dari pengusaha sampai rohaniwan, dari mahasiswa
sampai cendekiawan, untuk dilibatkan dalam berbagai FGD (focus group discussion) sesuai bidangnya masing-masing, dengan
tujuan untuk menjaring dan menyaring nilai-nilai yang paling diperlukan, yang
konkret dan operasional untuk membangun bangsa ini.
Hasilnya adalah enam nilai
modern versi Indonesia yaitu (1) citizenship (sebagai warga negara sadar akan
hak dan kewajibannya dan aktif berpartisipasi untuk masyarakat), (2) jujur
(dapat dipercaya), (3) mandiri (dapat menyelesaikan persoalan sendiri, tidak
hanya bergantung kepada pemerintah atau pihak lain), (4) kreatif (mampu
berpikir alternatif, mampu menemukan terobosan, berpikiran fleksibel), (5)
gotong-royong, dan (6) saling menghargai (yang kuat menghargai yang lemah,
yang mayoritas menghargai yang minoritas, yang laki-laki menghargai yang
perempuan, yang generasi senior menghargai yang muda dan seterusnya, dan
tentu saja sebaliknya).
Secara teoretis, di atas kertas,
enam nilai modern untuk bangsa Indonesia sudah pas dengan kebutuhan Indonesia
sekarang. Sudah sesuai dengan ciri-ciri manusia modern versi Alex Inkeles dan
sangat kompatibel (saling melengkapi) dengan Pancasila. Masalahnya, bagaimana
mengoperasionalkan nilai-nilai itu sampai ke tingkat lapangan?
Alex Inkeles mengusulkan proses
pendidikan, tetapi pendidikan terlalu lama untuk bangsa ini, sementara
kebutuhan di Indonesia sudah sangat mendesak. Perintah Presiden untuk
menalangi dana ganti rugi kepada korban Lapindo belum apa-apa sudah dibom
dengan formalitas (sumber dana dari mana dan sebagainya), apalagi di tingkat
lapangan, pasti banyak permainan dari ketua RT/RW, lurah, camat, bahkan
mungkin sampai bupati sehingga dana jatuh ke tangan yang tidak berhak. Alamaaak..... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar