Jokowi
dan Pembangunan Manusia
Wahyu Susilo ; Analis Kebijakan Migrant Care
|
KOMPAS,
02 Desember 2014
TERLEPAS siapa pun yang
menjabat, inisiatif Presiden Joko Widodo untuk mengubah nomenklatur
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat menjadi Kementerian Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan patut mendapatkan apresiasi.
Inisiatif ini tentu saja harus
ditindaklanjuti oleh menteri yang memegang jabatan ini dan kementerian-kementerian
yang ada dalam koordinasinya untuk mengejawantahkan visi misi Nawa Cita dalam
upaya menyejahterakan rakyat Indonesia.
Perhatian dan keprihatinan utama
Presiden Joko Widodo mengenai kondisi pembangunan manusia Indonesia sudah
kentara terlihat dalam gagasan revolusi mental dan semakin dielaborasi dalam
penyusunan visi-misi Nawa Cita.
Inilah yang menjadi acuan utama
dan landasan Joko Widodo maju dalam kontestasi Pemilu Presiden 2014. Kartu
Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar menjadi tawaran konkret untuk
mendaratkan gagasan besar (visi-misi Nawa Cita) dalam program-program yang
terukur dan dapat dievaluasi.
Ekonomi dominan
Selama ini, indikator tentang
keberhasilan/kegagalan pembangunan Indonesia lebih banyak didominasi oleh
indikator-indikator makroekonomi. Tentu saja kita tak bisa abai pada
indikator makroekonomi, tetapi tak boleh melupakan indikator-indikator
non-ekonomi untuk mengukur apakah rakyat Indonesia (kebanyakan) juga bisa
menikmati apa yang dinamakan kenaikan pertumbuhan ekonomi.
Jangan pernah lupa, kita pernah
terjerembab dalam pujian-pujian semu kemajuan pembangunan Indonesia oleh Bank
Dunia tahun 1997.
Saat itu, dengan basis argumen
pertumbuhan ekonomi yang cemerlang, stabilitas politik yang permanen dan
klaim swasembada pangan yang mengesankan, Indonesia dipromosikan sebagai
”macan Asia”.
Tak lama setelah pujian
tersebut, dalam sapuan krisis ekonomi regional, fundamen ekonomi Indonesia
terbukti rapuh. Oleh karena itu, terlalu berbahaya kalau ukuran keberhasilan
pembangunan hanya diukur dengan angka-angka statistik makroekonomi semata.
Ironisnya, selain lebih banyak
mengacu pada indikator makroekonomi, kesehatan pembangunan Indonesia juga
acap kali didiagnosis dengan angka-angka yang didapat dari lembaga-lembaga
privat pemeringkat ekonomi dan utang (semisal Stanley Morgan, Fitch, Standard
& Poor, dan sejenisnya) yang tentu penuh dengan pamrih dan kepentingan.
Kalau dilihat dari sejarah,
pengukuran kualitas pembangunan melalui indikator pembangunan manusia (human
development index) juga berakar dari ketidakpuasan atas dominasi pengukuran
ekonomi (yang hanya berbasis pada pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita,
dan neraca ekspor-impor) tanpa melihat aspek-aspek lain, seperti akses dalam
pendidikan dan kesehatan, lingkungan yang sehat, serta rasa aman.
Oleh karena itu, dimotori
ahli-ahli ekonomi dari dunia ketiga (Mahbub Ul Haq dkk) pengukuran yang lebih
komprehensif mengenai maju mundurnya pembangunan mulai diperkenalkan dan
diadopsi Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) sejak 1990
sebagai human development index.
Dalam perkembangannya, penulisan
human development report yang
berkala ini juga disertai analisis-analisis tematik yang terkait dengan
indeks pembangunan manusia, seperti lingkungan hidup, pertanian, migrasi,
konflik, perubahan iklim, dan jender.
Tiga laporan
Walau usia pengukuran kualitas
hidup manusia menjelang seperempat abad, Indonesia hanya pernah menyusun tiga
kali laporan pembangunan manusia secara komprehensif.
Pertama tahun 1996 pada masa
pemerintahan Soeharto dan kedua dan ketiga pada tahun 2001 dan 2004 pada masa
pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Sementara 10 tahun masa pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono sama sekali tidak pernah menyusun laporan
pembangunan manusia. Provinsi Aceh juga pernah menyusun laporan pembangunan
manusia tahun 2010.
Di kawasan ASEAN, negara yang
paling rajin menyusun laporan pembangunan manusia secara nasional adalah
Kamboja (7 kali) disusul Filipina (6 kali), Thailand (5 kali), Vietnam dan
Indonesia (3 kali), dan Malaysia (2 kali). Gambaran tersebut memperlihatkan
betapa pengukuran kualitas hidup manusia dengan indikator indeks pembangunan
manusia di Indonesia belum mendapatkan perhatian yang serius.
Tentu saja indeks pembangunan
manusia ini tidak lepas dari kelemahan sehingga metodologinya selalu
dievaluasi dan diperbarui. Tahun 2010, UNDP memperbarui pengukuran indeks
pembangunan manusia dengan mendekatkan multidimentional
poverty index yang mengukur kemiskinan tidak hanya pada dimensi
pendapatan, tetapi juga berdasarkan pada ketakteraksesnya (deprivation) kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia secara bersama-sama.
Kebutuhan-kebutuhan dasar
tersebut adalah kesehatan, pendidikan, dan standar kehidupan layak. Dari uji
coba yang dilakukan oleh UNDP, ketika metodologi baru tersebut digunakan,
terjadi pembengkakan jumlah orang miskin di dunia.
Dengan melihat akar historis dan
kemanfaatan serta perkembangan yang terjadi dalam penggunaan indeks
pembangunan manusia, pemerintahan Presiden Joko Widodo ditantang untuk bisa
memanfaatkan instrumen tersebut sebagai salah satu cara mengukur
keberhasilan/kegagalan dalam mewujudkan tujuan pokok Nawa Cita: meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia.
Namun,
instrumen baru bisa berarti kalau program-program konkret, seperti Kartu
Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, penguatan masyarakat pesisir dan
kepulauan, perlindungan hak-hak buruh (migran, petani, perempuan, dan
kelompok-kelompok marginal lainnya), benar-benar berlangsung dan dirasakan
kemanfaatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar