Guru
dan Sekolah Dipaksa
Tetap
Gunakan Kurikulum 2013
Retno Listyarti ; Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia;
Kepala SMA Negeri 76 Jakarta
|
KOMPAS,
27 Desember 2014
POLEMIK penerapan
Kurikulum 2013 semakin memanas.
Sejumlah kepala dinas pendidikan di beberapa daerah menolak surat keputusan
Mendikbud Anies Baswedan agar sekolah yang baru satu semester menerapkan
Kurikulum 2013 kembali menggunakan Kurikulum 2006. ”Pembangkangan” sejumlah
kepala dinas dan kepala sekolah tak akan terjadi jika Anies berani memutuskan
penghentian total Kurikulum 2013 (K-13), termasuk 6.221 sekolah yang sudah
lebih dahulu menggunakannya. Pemberlakuan dua kurikulum ini menjadi celah bagi
sejumlah kepala dinas pendidikan untuk memaksa sekolah menerapkan K-13 meski
tak termasuk 6.221 sekolah tersebut.
”Ketentuan
yang saya keluarkan adalah sekolah yang sudah menjalankan K-13 selama tiga
semester tetap melanjutkannya. Adapun sekolah yang baru melaksanakan K-13
selama satu semester stop dulu. Kembali ke Kurikulum 2006. Lalu, jika ada
sekolah yang sudah menjalankan K-13 selama tiga semester, tetapi tidak masuk
dalam 6.221 sekolah tadi, silakan mengusulkan kepada Kemdikbud. Nanti kami
cek apakah benar-benar layak untuk ikut menjadi sekolah pilot project,” kata Mendikbud Anies Baswedan. Keputusan
itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 160 Tahun 2014, Pasal 1 dan 4.
Terjadi ”Pembangkangan”
Seorang
kawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat,
mengirim pesan pendek (SMS) kepada saya, yang kurang lebih isinya menyatakan:
telah terjadi pertemuan antara seluruh kepala sekolah dan Lembaga Penjamin
Mutu Pendidikan (LPMP) NTB di Kota Mataram. Isi pertemuan adalah
memerintahkan semua kepala sekolah agar tetap mempergunakan K-13 meskipun
sarana dan prasarana sekolah di NTB belum memadai dan para guru masih belum
paham K-13.
Kalau
pertemuan itu benar adanya, maka amat disayangkan. LPMP yang seharusnya
mendukung penuh kebijakan Mendikbud—karena bagian struktural dari Kemdikbud
sendiri—ternyata justru melakukan tindakan sebaliknya. Kalau pada jajarannya
saja keputusan Mendikbud ”dilawan”, apalagi oleh para kepala daerah dan
kepala dinas pendidikan. Perlu diingat, kepala dinas dan kepala daerah pasti
berani menentang Mendikbud atas nama otonomi daerah.
Sehari
sebelum SMS dari kawan di NTB saya terima, juga ada SMS masuk dari Batam,
Kepulauan Riau, yang menginformasikan bahwa Dinas Pendidikan Batam
mengumpulkan semua kepala sekolah se-Batam. Dalam pertemuan tersebut para
kepala sekolah diinstruksikan agar tetap menggunakan K-13. Mereka tidak
diperkenankan untuk kembali ke Kurikulum 2006 yang lebih dikenal sebagai
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Meski banyak yang tidak sepakat,
tak ada kepala sekolah yang berani membantah jajaran dinas pendidikannya.
Ketidakberanian
para kepala sekolah membantah dinas pendidikan tentu sangat dimaklumi
mengingat para kepala sekolah ini diangkat dan diberhentikan oleh dinas
pendidikan setempat. Kalau membangkang perintah dinas pendidikannya, maka
kemungkinan dicopot dari jabatan akan terjadi. Psikologis para kepala sekolah
ini tampaknya belum dipahami Anies Baswedan. Pada era otonomi daerah sekarang
ini, kepala sekolah pasti lebih mematuhi kepala dinasnya daripada menterinya.
Ada juga
masuk ke inbox Facebook saya keluhan dari seorang kepala sekolah dari
Kecamatan Kanor, Bojonegoro, Jawa Timur. Kepala sekolah ini bersaksi bahwa
mayoritas kepala sekolah dan guru ingin kembali dulu ke KTSP karena mereka
merasakan dalam implementasi K-13 mengalami kebingungan. Apalagi sekolahnya
juga belum memiliki sarana penunjang yang memadai untuk mengimplementasikan
K-13 secara mulus. Selain itu, ada ketidaksesuaian antara silabus dan
kompetensi dasar dengan buku guru dan buku siswanya sehingga berpotensi pada ketidakberhasilan dalam proses
pembelajaran.
Namun,
seperti halnya di daerah lain, para kepala sekolah ini lebih memilih mematuhi
dinas pendidikannya ketimbang mematuhi menterinya, meskipun surat keputusan
Mendikbud ditujukan kepada kepala sekolah.
Saat
menjadi narasumber ”Kontroversi K-13” di salah satu televisi swasta, saya
juga mendengar langsung pernyataan seorang bupati yang daerahnya tetap akan
melaksanakan K-13. Alasan sang bupati, sekolah di wilayahnya sudah siap dan
tidak masalah dalam mengimplementasikan K-13 untuk semua sekolah. Padahal, di
media sosial, banyak guru di wilayah ini mengeluhkan implementasi K-13 di
sekolah mereka.
Saya
sendiri sebagai salah seorang kepala sekolah di Jakarta belum menerima surat
Mendikbud tersebut meski sekolah saya dengan Kantor Mendikbud relatif lebih
dekat dibandingkan dengan kawan-kawan dari Batam, Mataram, dan Bojonegoro.
Namun, Dinas Pendidikan DKI Jakarta sama sekali tidak reaktif dengan
mengumpulkan para kepala sekolah untuk memerintahkan tetap melaksanakan K-13
atau kembali ke KTSP, di luar 6.221 sekolah yang ditunjuk.
Menyimak
pernyataan-pernyataan Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta Larso Marbun serta
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di media, besar kemungkinan
Jakarta akan mematuhi keputusan Mendikbud. Bahkan, di beberapa media, Larso
Marbun mengkritisi dengan cukup tajam K-13. Menurut Larso Marbun, penerapan
K-13 adalah kebijakan yang belum siap, berakibat akan mengorbankan guru dan
peserta didik. ”Kebijakan yang belum siap sejatinya jangan diterapkan dulu
karena pasti akan berpotensi gagal di lapangan. Berpikirlah pada kepentingan
peserta didik,” katanya.
Uniknya
di Jakarta, meski kepala dinas pendidikannya belum mengumpulkan para kepala
sekolah, di media sosial sudah ramai para guru dan siswa menginformasikan
sikap para kepala sekolah di Jakarta.
Mayoritas ngotot ingin tetap melaksanakan K-13 sekalipun banyak keluhan dari
guru dan peserta didik di sekolahnya.
Alasan
mereka umumnya sama. Kalau kembali ke KTSP, maka banyak guru tak mampu
memenuhi beban kerja 24 jam, karena K-13 menambah jam belajar siswa. Alasan
lain adalah lebih pada unsur ”prestise”.
Faktor penyebab
Pembangkangan
yang dilakukan LPMP, kepala daerah, dan kepala dinas pendidikan di beberapa
daerah terjadi karena kebijakan Mendikbud yang ”ambigu”. Pemberlakuan dua
kurikulum dalam suatu sistem pendidikan dalam keputusan tersebut telah
memberikan celah untuk memilih salah satunya.
Mungkin
awalnya para ”pembisik” Anies memperkirakan kalau keputusan ini dibuat, maka
banyak sekolah yang termasuk di antara 6.221 sekolah uji coba awal itu akan
memilih mundur. Ternyata perkiraan itu meleset tajam: sekolah yang masuk
kelompok 6.221 tetap akan melaksanakan K-13, sementara sekolah di luar itu
malah cenderung tetap akan melaksanakan K-13, meski hal tersebut jelas
bertentangan dengan Pasal 1 dan 4 Permendikbud No 160/2014.
Anies
sangat memahami bahwa terjadi masalah besar di lapangan terkait implementasi
K-13. Namun, sayangnya, ia tak berani memilih opsi pertama (menghentikan
secara total) saat tim evaluasi K-13 bentukannya bekerja, tetapi lebih
memilih opsi kedua. Kenyataan di lapangan justru opsi ketiga yang dipilih
para kepala dinas dan kepala sekolah. Alasannya beragam, tetapi sebagian
besar karena ”masalah anggaran” dan prestise.
Saya
mengapresiasi Menteri Anies yang segera memahami bahwa K-13 dalam
implementasinya bermasalah besar. Namun, dengan menerapkan dua kurikulum, ia
juga telah ”mengorbankan” siswa di 6.221 sekolah. Meminjam istilah seorang
guru besar matematika dan kawan yang sangat saya kagumi, ”Sebagai ayah, kalau anak kita minta makan roti, masak kita tega
memberi makan batu.” Saya pikir kejadian ini dapat menjadi bahan
pembelajaran berharga bagi Mendikbud yang baru.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar