Laporan Akhir Tahun Politik, Hukum, dan Keamanan
Demokrasi
Koyak di Parlemen
Anita Yossihara ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 15 Desember 2014
”BADAN permusyawaratan yang akan kita buat
hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, melainkan
badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip, yakni
keadilan politik dan keadilan sosial”.
Demikian
penggalan pidato Soekarno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945.
Setelah
69 tahun berlalu, harapan Soekarno itu masih lebih banyak berupa harapan.
Lembaga perwakilan di Indonesia masih lebih mengedepankan kepentingan
golongan atau kelompoknya. Berjuang untuk seluruh rakyat cenderung masih
sebatas menjadi jargon yang indah.
Fenomena
ini terlihat jelas jika melihat kondisi DPR periode 2014-2019 pada masa
persidangan II tahun sidang 2014-2015 yang merupakan masa persidangan mereka
yang pertama. Masa persidangan yang berlangsung pada 1 Oktober-5 Desember
lalu habis dipakai oleh DPR untuk menyelesaikan permasalahan internal mereka,
mulai dari pemilihan pimpinan hingga pembentukan alat kelengkapan DPR.
Tiga
fungsi DPR, yakni pengawasan, legislasi, dan penganggaran, nyaris tak
berjalan pada periode itu. DPR gagal menggelar rapat pengawasan kinerja
pemerintah karena hampir semua menteri tak memenuhi undangan DPR. Alasannya,
DPR masih punya masalah internal, yang dipicu oleh keberadaan dua kelompok
besar, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Di
bidang legislasi, DPR hanya bisa menyelesaikan pembahasan satu undang-
undang. UU itu pun hanya yang mengatur internal DPR, yakni UU Perubahan atas
UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 juga belum selesai disusun oleh DPR
periode 2014-2019. Upaya Badan Legislasi memulai pembahasan Prolegnas tahunan
dan Prolegnas lima tahunan terhambat karena harus mendahulukan pembahasan
revisi UU MD3.
Kondisi
DPR 2014-2019 ini bertolak belakang dengan DPR 2009-2014 pada awal masa
jabatan mereka. Pada masa persidangan pertamanya, DPR 2009-2014 sudah dapat
menyusun Prolegnas 2010 dan Prolegnas 2010-2015.
Fungsi
pengawasan juga langsung dijalankan DPR 2009-2014 pada awal masa persidangan
mereka. Saat itu, hak angket langsung diputuskan untuk menyelidiki dugaan
penyimpangan dalam pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century.
Namun,
awal yang baik itu tidak diikuti dengan kinerja yang memuaskan pada
waktu-waktu sesudahnya. DPR 2009-2014 kemudian disibukkan dengan upaya
memenuhi kepentingan sendiri, seperti terlihat dalam rencana pembangunan
gedung baru dan dana aspirasi. Sejumlah anggota DPR 2009-2014 juga harus
diproses hukum Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat kasus korupsi.
Pada
awal tahun 2014, ruang rapat di DPR banyak yang kosong karena para
penghuninya lebih banyak ke daerah untuk mempersiapkan pemilu.
Apakah
DPR 2014-2019 akan mengikuti jejak buruk pendahulunya itu? Waktu yang akan
menjawabnya.
Dampak pemilu
Polemik
yang muncul pada masa persidangan pertama DPR 2014-2019 dipicu oleh
keberadaan KMP dan KIH, koalisi yang muncul saat pemilihan presiden lalu.
Saat itu, KIH mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan KMP mendukung
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Namun,
polemik KIH dan KMP di DPR ini sebenarnya sudah terasa sejak pembahasan RUU
MD3 oleh DPR periode 2009-2014. Pembahasan RUU itu banyak dilakukan setelah
pemilu legislatif dan kemudian disahkan pada 8 Juli, satu hari sebelum pemilu
presiden. KMP yang gagal memenangi pilpres berhasil mengegolkan sejumlah
aturan dalam UU MD3 yang memungkinkan mereka dapat menguasai parlemen. Aturan
itu antara lain tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan
DPR yang dilakukan dengan sistem paket.
KMP
dan KIH langsung berhadapan dalam pemilihan pimpinan DPR 2014-2019. Oleh
karena punya lebih banyak kursi di parlemen, KMP berhasil menguasai lima
kursi pimpinan DPR.
Kedua
kelompok itu kembali berhadapan saat pembentukan alat kelengkapan DPR.
Polemik di antara keduanya, bahkan, semakin meruncing. Lima fraksi anggota
KIH, yaitu Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi
Partai Persatuan Pembangunan, menginginkan 63 kursi pimpinan alat kelengkapan
DPR ditetapkan secara proporsional berdasarkan kepemilikan kursi setiap
fraksi.
Namun,
lima fraksi anggota KMP, yaitu Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerakan
Indonesia Raya, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera, dan Fraksi Partai Demokrat, tetap menginginkan pimpinan alat
kelengkapan DPR ditetapkan melalui pemilihan secara paket, seperti yang
diatur UU MD3.
Polemik
ini membuat KIH sampai membentuk DPR tandingan dan memilih Ida Fauziah,
Effendi Simbolon, Dossy Iskandar Prasetyo, Supiadin Aries Saputra, dan
Syaifullah Tamliha sebagai pimpinan.
Pembentukan
DPR tandingan menjadi periode terburuk perjalanan parlemen 2014-2019. Pakar
hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pembentukan DPR tandingan
itu berbahaya bagi penyelenggaraan negara.
Berebut kue
Tak
hanya pakar dan pemerhati politik, masyarakat kebanyakan juga tahu bahwa akar
permasalahan di DPR adalah perebutan kekuasaan. ”DPR itu berantem karena
bagi-bagi kuenya belum rata. Kalau kuenya sudah dibagi rata, ya selesai
berantemnya,” tutur Basuki, seorang pengemudi taksi.
Pandangan
Basuki itu tidak berlebihan. Buktinya, KIH dan KMP mau berdamai setelah ada
kesepakatan penambahan kursi pimpinan alat kelengkapan DPR yang dilakukan
melalui revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Lewat revisi ini, KIH
mendapat kursi 21 pimpinan alat kelengkapan DPR, terdiri dari 5 kursi ketua
dan 16 kursi wakil ketua.
Bahkan,
untuk memuluskan proses revisi UU MD3, DPR dan pemerintah sepakat membahas di
luar Prolegnas.
Pembahasan
tingkat satu dan tingkat dua revisi UU MD3 akhirnya hanya butuh waktu tujuh
jam. Ini menjadikan revisi UU MD3 sebagai proses legislasi yang paling cepat
di DPR pada era reformasi.
Jika
dilihat sekilas, tidak ada yang istimewa dalam tugas dan wewenang pimpinan
DPR atau alat kelengkapan DPR. Dalam Pasal 86 UU MD3 disebutkan, tugas
pimpinan DPR antara lain memimpin dan menyimpulkan hasil sidang, menyusun
rencana kerja, melakukan koordinasi, dan menjadi juru bicara DPR. Tugas
hampir sama dimiliki pimpinan alat kelengkapan DPR, tentu di lingkup alat
kelengkapan DPR.
Berdasarkan
informasi yang dihimpun Kompas, tunjangan wakil ketua dan ketua alat
kelengkapan DPR juga hanya Rp 1 juta dan Rp 2 juta. Jumlah itu tidak terlalu
signifikan jika dibandingkan dengan pendapatan resmi anggota DPR sekitar Rp
60 juta setiap bulan.
Namun,
dalam realitas politik sehari-hari, posisi pimpinan DPR dan alat kelengkapan
DPR amat strategis. Pimpinan alat kelengkapan DPR punya peran penting untuk
menentukan arah jalannya rapat yang dipimpinnya hingga keputusan yang akan
diambil.
Seorang
pimpinan DPR, sambil bergurau, pernah berujar seberapa penting posisinya itu.
”Dahulu, (saat masih jadi anggota DPR biasa) mau menghubungi pejabat tertentu
sering kali gagal. Kini mereka yang menghubungi kami,” katanya.
Seorang
anggota DPR menggambarkan pentingnya posisi pimpinan DPR dan alat kelengkapan
DPR dengan istilah: posisi itu akan mengatur siapa yang dipanggil, siapa yang
dibagi, dan pasal siapa yang dilindungi.
Pernyataan
itu sejalan dengan tiga fungsi DPR, yaitu di bidang pengawasan (siapa yang
dipanggil), anggaran (siapa yang dibagi), dan legislasi (pasal siapa yang
dilindungi). Dalam politik, semua hal itu diduga tidak gratis.
Jika
dugaan ini benar, berarti DPR sekarang masih sama seperti periode sebelumnya,
penuh dengan politik transaksional. Kenyataan seperti ini yang membuat
rakyat, seperti Basuki, kecewa. DPR lebih sibuk mengejar kekuasaan sehingga
kepentingan rakyat terabaikan. Polah mereka membuat demokrasi kehilangan
hakikatnya. Demokrasi terkoyak di rumah rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar