Blitzkrieg
ARB Jelang Munas Golkar
Rusmin Effendy ;
Wartawan Senior
|
MEDIA
INDONESIA, 29 November 2014
ESKALASI politik menjelang
Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar sudah terbelah menjadi dua kubu
yang samasama mengklaim akan melaksanakan munas. Para loyalis pendukung
Aburizal Bakrie (ARB) memaksakan munas dipercepat pada 30 November, sedangkan
kubu Agung Laksono (AL) membentuk Tim Penyelamatan Partai Golkar dan akan menggelar
munas awal Januari 2015.
Sebagai partai politik tertua
yang baru saja merayakan peringatan tahun emas 50 tahun, baru pertama kali
dalam sejarah Golkar mengalami konflik terbuka dalam menghadapi munas. Bila
konflik internal itu tidak dikelola secara profesional, bukan mustahil Golkar
akan kembali melahirkan partai baru atau minimal terjadi dualisme
kepemimpinan yang belakangan menjadi tren perpolitikan nasional seperti yang
terjadi di PPP.
Dalam mencermati dinamika dan
fenomena politik yang terjadi di Golkar ada beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian. Pertama, mencari solusi secara cerdas penyatuan kembali dua kubu
yang bertikai, khususnya loyalis ARB dan pendukung AL, tentang persepsi
penyelenggara munas. Kubu ARB berpegangan pada keputusan Rapimnas VII Golkar
di Yogyakarta, sedangkan kubu AL berdasarkan keputusan rapat pleno 25
November yang berakhir dengan insiden di DPP Golkar.
Kedua, skenario percepatan munas
yang semula dijadwalkan awal Januari 2015 kemudian dipercepat akhir November
bukan saja bentuk inkonsistensi kubu ARB, melainkan juga membawa konsekuensi
mengeliminasi para calon ketua umum yang akan bersaing di munas. Itulah yang
disebut skenario blitzkrieg yang dilakukan ARB untuk memenangi pertarungan
agar terpilih secara aklamasi, termasuk merekayasa dukungan DPD I dan II.
Persoalannya, sejauh mana soliditas dukungan DPD I dan II ketika tak ada
kandidat lain yang akan mengikuti Munas Bali?
Persoalan tersebut bukan saja
krusial, melainkan juga dilema yang kini dihadapi Golkar yang berbeda dengan
munas sebelumnya. Sejatinya, sesuai dengan ketentuan AD/ART, pelaksanaan
Munas IX Golkar dilaksanakan pada 2015, tidak dipercepat seperti sekarang
ini.
Hal itu sejalan dengan desakan
munas yang dilakukan Ormas Trikarya (SOKSI, Kosgoro dan MKGR) untuk
percepatan munas, tetapi DPP Golkar keukeuh mempertahankan keputusan Munas
VIII Golkar di Pekanbaru bahwa munas baru akan dilaksanakan pada 2015,
kemudian diperkuat melalui rapat pleno 13 November lalu. Bahkan dalam AD/ART,
kepemimpinan ARB selalu mengacu ke konsiderans surat keputusan masa bakti
2009-2015. Termasuk semua penetapan peraturan organisasi, keputusan-keputusan
Rapimnas I sampai VII, keputusankeputusan rapat pleno DPP dan
peraturan-peraturan lainnya juga selalu mengacu ke konsiderans masa bakti
2009-2015.
Ada apa sebenarnya di balik
upaya percepatan munas? Pelaksanaan Rapimnas VII di Yogyakarta sesungguhnya
menjadi pintu masuk forum percepatan munas yang disuarakan secara aklamasi
para DPD I.Kondisi itulah sebenarnya menimbulkan banyak keanehan dan
kejanggalan yang dilakukan DPP Golkar sehingga bermuara melahirkan Tim
Penyelamatan Partai Golkar yang dipimpin Agung Laksono.
Inkonsistensi
Inkonsistensi yang dilakukan DPP
Golkar itu tentu saja menjadi sumber gerakan perlawanan dari kader partai,
sekaligus memberikan kesan negatif terhadap pencitraan Golkar sendiri. Apalagi
selama kepemimpinan ARB, kekuatan elektoral dan mesin politik Golkar tak
mampu bekerja efektif memenangi pemilu legislatif (pileg) dan pilpres. Tiga
kali pemilu sejak 2004, Golkar hanya mampu menempatkan dirinya sebagai juara
bertahan runner-up, jauh di bawah
target 20% suara. Yang lebih memprihatinkan pada saat pilpres lalu, Golkar
tak mampu mendapatkan boarding pass mengusung kader sebagai capres/cawapres. Ironis.
Faktor lain yang turut mewarnai
kegagalan ARB selama memimpin Golkar ialah lemahnya manajemen kepartaian baik
di tingkat pusat sampai ke daerah, misalnya pergantian kepengurusan dan
struktur DPP, pemecatan yang terjadi di daerah yang mengalami konflik internal
tak mampu diselesaikan secara tuntas, termasuk program konsolidasi partai
sampai ke akar rumput. Budaya politik Golkar yang berkembang belum sepenuhnya
memberikan ruang perbedaan pendapat. Yang lebih memprihatinkan masih kuatnya
faksionalisme yang terjadi di Golkar tidak saja menampilkan proses regenerasi
yang selama ini berjalan lamban, tapi juga menimbulkan inefisiensi dan
disfungsi partai yang tidak berkembang.
Akumulasi persoalan di internal
partai itu yang sempat membuat perlawanan kelompok generasi muda Golkar
menuntut perubahan dan mereformasi kepengurusan yang selama ini masih
didominasi kalangan tua.Problem regenerasi kepengurusan itu sesungguhnya
menjadi salah satu tantangan terbesar dalam mendobrak kultur politik Golkar
di munas mendatang. Hal itu terlihat dengan keberanian kader-kader muda yang
ingin berkompetisi dalam pencalonan ketua umum, meski hanya ada empat
kandidat yang dianggap mumpuni, yakni Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus
Gumiwang Kartasasmita, dan Airlangga Hartarto.
Namun, dengan melihat kondisi
menjelang munas yang dipercepat, rasanya kecil peluang kader-kader muda untuk
bersaing, apalagi dengan majunya ARB sebagai ketua umum. Apalagi posisi DPD I
secara mayoritas sudah terkooptasi dan mendapat gizi yang sehat kompak
mendukung pencalonan kembali ARB.
Perpecahan
Sejatinya, munas kali ini
harusnya lebih mengedepankan proses regenerasi yang selama ini berjalan
lamban. Diakui atau tidak, regenerasi Golkar masih bersifat feodalistis
karena kuatnya budaya patronclient
relationship serta dominasi kader-kader tua yang berlindung di balik
Golkar, termasuk bagi calon ketua umum yang ingin bertarung harus mendapatkan
blessing dari orang-orang yang punya pengaruh (patron) untuk memimpin partai.
Pengalaman yang terjadi di
Golkar dalam tiga kali munas bisa dianggap tradisi politik ala Golkar. Karena
itu, bukan hal yang mustahil di Munas Golkar nanti ada penggiringan suara
memenangkan ARB dengan cara-cara yang tidak sportif dan fair yang akan
melahirkan resistensi politik baru.
Dengan demikian, sudah
sewajarnya munas nanti mempersiapkan langkah-langkah strategis mewujudkan
proses regenerasi partai di semua tingkatan, baik di pusat maupun daerah.
Siapa pun yang menjadi ketua umum haruslah figur yang mampu menjadi perekat
dari semua faksi yang ada serta figur yang aspiratif, progresif, dan solutif
dalam menghadapi tantangan organisasi ke depan.
Paling tidak, momentum Munas
Golkar benar-benar menjadi proses konsolidasi, regenerasi, revitalisasi
partai dalam melahirkan kepemimpinan yang bisa diterima semua pihak. Jika
tidak, itulah tanda-tanda awal kehancuran Golkar yang belum sepenuhnya mampu
mempraktikkan demokrasi secara dewasa. Mudahan-mudahan munas kali ini
bukanlah akhir masa keemasan Golkar sebagai partai tertua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar