Berhitung
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi”
Kompas Minggu
|
KOMPAS,
28 Desember 2014
Bagi mereka yang pernah
mengenyam pendidikan sekolah dasar, maka pelajaran soal menambah, mengurangi,
mengalikan, dan membagi adalah pelajaran wajib. Begini cerita saya yang mirip
dengan pelajaran dasar yang dianggap pelajaran paling berharga dan yang
memampukan seseorang menggondol predikat juara kelas.
Menambah dan Membagi
Beberapa waktu lalu, saya dan
seorang teman bersepakat untuk mendiskusikan masalah yang kami hadapi dalam
hubungan pertemanan yang melibatkan pihak ketiga. Saya mengatakan kepadanya
untuk menyelesaikan persoalan ini secepatnya. ”Besok kita jumpa pukul sepuluh
pagi, ya.” Ia menjawab dengan menganggukkan kepala tanda setuju.
Keesokan pagi, saya menerima
pesan dari teman saya itu yang menjelaskan ia tak bisa memenuhi janji temu
karena harus memenuhi undangan makan siang dengan rekan bisnisnya. ”Minggu
depan, ya, maaf banget.”
Saya membalas dengan mengatakan
tidak masalah dan biar saya saja yang akan menghadapi pihak ketiga. Beberapa
menit setelah itu, saat saya sedang mandi pagi, siraman air segar itu
membangunkan saya dengan sebuah pertanyaan, mengapa saya yang harus menyelesaikannya?
Kalau teman saya menganggap itu
bukan prioritas, mengapa saya harus menganggapnya demikian? Sejujurnya saya
ini senang menambah persoalan yang tak seratus persen menjadi persoalan saya.
Masalahnya, saya hanya ingin persoalan ini cepat selesai, tetapi tanpa saya
sadari itu menjadi bumerang.
Tak bisa hanya saya saja yang
berkeinginan menyelesaikan permasalahan dengan cepat. Penyelesaian masalah
harus berjalan dua arah dan disepakati oleh dua atau lebih orang yang
terlibat.
Menambah beban itu akan baik
kalau saya sudah bisa memiliki skala prioritas terlebih dahulu. Karena dengan
skala itu, saya bisa melihat situasi dengan jernih, dan kalaupun saya mau
menambah, maka saya akan menambah beban dengan proporsional.
Maka dari itu, apa pun
persoalannya, tanggung jawabnya harus dibagi rata. Karena persoalan saya
adalah persoalan berdua, maka persoalan itu harus dibagi dua. Maka saya akan
menyelesaikannya berdua. Kekesalan saya berkurang dan membalas pesannya itu
dengan mengatakan persoalan akan diselesaikan minggu depan seperti yang
diinginkannya. Mengurangi beban akan mengurangi kekesalan dan menambah
semangat menjalani kehidupan.
Membagi itu penting, dan kalau
sudah dibagi jangan menjadi pahlawan kesiangan untuk mengambil alih pembagian
orang. Ada yang harus menjadi suami, ada yang harus menjadi pimpinan, dan ada
yang harus menjadi satpam. Bahtera rumah tangga, bahtera perusahaan, atau
bahtera apa pun itu akan sejahtera kalau ada pembagian yang jelas.
Mengurangi dan Mengalikan
Setelah selesai mengirimkan
pesan untuk menyelesaikan persoalan itu minggu depan, saya memutuskan untuk
belajar mengurangi beban hidup saya. Beban hidup itu sama dengan beban milik
sendiri, ditambah beban orang lain yang mungkin dengan terpaksa menjadi beban
saya, hanya karena saya mau cepat menyelesaikan persoalan, atau melihat orang
lain terlalu lamban.
Maka, bahtera itu sejahtera
kalau ada faktor mengurangi. Waktu salah satu anggota keluarga saya mengalami
kesusahan, saya mengurangi uluran tangan untuk membantu. Saya dinilai tidak
memiliki hati nurani, tetapi saya katakan bukan karena saya tidak mau
menolong, saya sudah menolong dengan memberikan nasihat sebelum perang
terjadi.
Nah, ketika seseorang meminta
dan diberikan nasihat, kemudian mereka memutuskan untuk tidak mengikutinya,
dan ternyata apa yang dinasihati itu benar terjadi, yaaaa... itu tak lagi
menjadi persoalan dan tanggung jawab saya.
Mengurangi itu bukan hanya
persoalan beban yang dikurangi, tetapi melatih untuk menjadi tegas dan
menyelamatkan skala prioritas yang sudah dibuat. Maka, di tahun baru ini,
saya akan mengurangi memberikan kesempatan terguncangnya skala prioritas yang
telah saya canangkan.
Artinya, di tahun baru ini saya
mau hasil berkali-kali lebih baik dari tahun sebelumnya. Saya mau melipatgandakan
hasil dengan cara membagi, mengurangi, dan menambah. Kalau saya mengatakan
mengurangi guncangan, yang saya maksudkan adalah guncangan yang acap kali
datang dari diri sendiri.
Musuh terbesar yang sering kali memorak-porandakan
skala prioritas dan memorak-porandakan bahtera, selain faktor eksternal, maka
faktor kesayaan itu yang terutama. Pelipatgandaan hasil itu bisa terganggu
karena saya yang terlalu memanjakan diri sendiri.
Kalau dengan orang lain saya
bisa tegas, tetapi dengan diri sendiri selalu mengalah. Maka, seharusnya
membuat skala prioritas yang mampu memberikan hasil berlipat ganda adalah
dengan membereskan kondisi dalam diri sendiri.
Selama tahun 2014, selama dua
belas bulan, saya telah tidak melakukan penjagaan terhadap skala prioritas.
Itu mengapa, pelipatgandaan hasil masih jauh dari target yang ditentukan.
Maka, pembersihan diri sendiri sudah waktunya untuk dilaksanakan. Diawali
dengan melatih untuk tidak mudah berkata: ”Gak papa, biar saya saja yang
menyelesaikannya.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar