Bencana
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
27 Desember 2014
Bencana
sering datang di akhir tahun. Bisa dimaklumi. Musim hujan memang di
bulan-bulan akhir tahun dan berlanjut ke awal tahun. Hujan yang ditunggu para
petani menjadi pangkal bencana. Ada tanah longsor, seperti di Banjarnegara.
Penyebabnya, konspirasi antara hujan dan kostur tebing yang tak banyak pohon
karena penduduk bertanam kentang. Ada banjir di berbagai kota yang, menurut
salah seorang penyiar televisi-dengan mimik meyakinkan-disebabkan oleh hujan.
Bukan karena rupiah melemah.
Itulah
komentar saya kepada Romo Imam soal bencana. "Apakah tsunami yang
dahsyat di Aceh karena hujan pula?" tanya Romo. Saya gelagapan
disanggah. Saya jawab: "Bukan hujan sih, tetapi terjadi di akhir tahun,
sehari setelah Natal, sepuluh tahun lalu. Sekarang diperingati dengan rasa
syukur yang dalam. Sayang, Presiden Jokowi batal ke sana."
Romo
Imam tersenyum: "Ya, sebaiknya Presiden jangan datang, supaya Pak Jusuf
Kalla tak salah tingkah. Tak lazim ada dua matahari di satu tempat, apalagi
saat mendung. Jusuf Kalla sebagai wakil presiden banyak berperan di saat-saat
awal pemulihan Aceh. Kini sebagai wakil presiden pula, beliau pantas memimpin
rasa syukur setelah Aceh berhasil bangkit."
Jalan
pikiran Romo ini cenderung tak konsisten. Tadinya mau diskusi soal bencana di
akhir tahun, tiba-tiba soal peringatan satu dasawarsa tsunami Aceh.
"Lalu lumpur Lapindo yang kini mengancam lagi warga Sidoarjo apa ada
kaitannya dengan akhir tahun dan hujan?" Nah, kan sudah berganti tema
lagi, tak fokus Romo ini. "Ya, ya, Romo, karena hujan deras. Tanggul
jebol lumpur pun meluber menggenangi rumah-rumah penduduk."
Romo
batuk sesaat. "Tanpa hujan pun tanggul Lapindo pasti jebol. Betul ada
pompa yang mengalirkan lumpur cair ke Kali Porong, tetapi penduduk
mempermainkan pompa itu agar lumpur tetap meluber dan menjebol tanggul.
Penduduk sudah tak tahan lagi, delapan tahun tak menerima ganti rugi yang
dijanjikan."
Waduh,
ini soal apa lagi, pikir saya. "Romo, sekarang Presiden Jokowi sudah
mengambil alih dengan memberi talangan. Lapindo sudah tak punya uang, tetapi
juga tidak menyebut bangkrut," kata saya. Jawaban spontan ini membuat
Romo panas: "Bangkrut bagaimana? Bosnya mondar-mandir dengan jet pribadi
dan seperti tak pernah bersalah, terus mengkritik pemerintah. Kalau
bertanggung jawab, jual asetlah."
Wah,
saya harus betul-betul diam. "Pernah menonton Perjuangan Suku Naga yang
dipentaskan Bengkel Teater Rendra?" Pertanyaan Romo ini membuat saya
hampir pingsan. Kaget, kenapa sampai ke Rendra. Saya menggeleng.
"Bencana dan keberuntungan adalah sukma yang tak terpisahkan. Lumpur
Lapindo mengancam lagi dan itu bencana bagi rakyat. Jika Jokowi diam, itu
juga bencana buat pemerintahannya yang bisa disebut tak peduli pada wong
cilik. Tapi keberuntungan bagi bos Lapindo yang tak mengeluarkan duit
lagi."
Ini lucu
dan seperti dipaksakan, tapi saya takut tertawa. Romo melanjutkan, kali ini
agak kalem: "Sekarang bencana belum berakhir meski kita berharap tak
lagi datang. Puncak musim hujan terjadi akhir bulan Januari sampai Februari.
Bagi yang percaya kalender Cina, Imlek pada pertengahan Februari dan harus
hujan supaya ada keberuntungan. Mudah-mudahan Jakarta dan daerah aliran
Begawan Solo tidak banjir bandang. Tapi jika itu terjadi, para pejabat kita
pasti punya pembenaran dengan mencari kambing hitam."
"Romo
yakin akan ada kambing hitam," tanya saya. "Kan tahun depan memang
Shio Kambing," jawab Romo enteng. Ah, Romo kena bencana, tak bermutu,
mati angin di ujung tahun.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar