Asuransi
Dampak Bencana
Effnu Subiyanto ; Pengkaji Transformasi Teknologi dan
Infrastruktur
|
KORAN
JAKARTA, 17 Desember 2014
Bencana
alam negeri ini silih berganti. Longsor Banjarnegara (12/12) menjelang akhir
pekan yang mengubur satu desa benar-benar sangat menyedihkan.
Korban
tewas sementara 50 orang dan terus bertambah karena diperkirakan ada sekitar
100 penduduk Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, di lokasi,
pada malam kejadian.
Untuk
diingat bahwa tahun 2006 dusun tetangga Dusun Jemblung yakni Dusun Sijeruk
juga mengalami hal sama. Sekitar 90 warga tewas terkubur pada kejadian
tersebut. Titik bencana seketika terisolasi karena akses jalan dipenuhi material
longsoran. Bantuan dari Semarang, Banyumas, Purwakarta, dan Pekalongan tidak
bisa mencapai lokasi.
Alat
berat yang sangat diperlukan seperti backhoe dan buldoser dengan sangat pelan
merayap dari arah luar. Jika pun sampai ke titik bencana, pertolongan sudah
sangat terlambat. Rangkaian bencana lain seperti banjir, erupsi Gunung
Sinabung, gempa 6,5 SR di Kebumen, letusan Gunung Kelud memunculkan gagasan
untuk mengasuransikan kondisi kahar.
Umumnya force majeur selalu menjadi
pengecualian dalam kontrak asuransi jika tidak disebut khusus tidak ada yang
bisa dipersalahkan. Jika melihat korban-korban bencana ada beberapa kelompok
yang harus diperhitungkan seperti korban jiwa di episentrum dan daerah
sekitarnya.
Kemudian
harta benda, rusaknya tanaman pertanian, infrastruktur, handling, dan
pemulihan mental korban. Persoalannya, berapa menilai angka kerugian
kehilangan nyawa setiap korban bencana yang layak.
Perhitungan
minimal kewajarannya adalah ahli waris harus mendapatkan penghasilan yang
sama dengan yang didapatkan korban saat masih hidup ditambah dengan kenaikan
inflasi per tahun dengan asumsi harapan hidup sampai dengan rata-rata usia
produktif umumnya setiap penduduk Indonesia.
Jika
misalnya BNPB setempat pada tahun ini merilis korban meninggal berusia 30
tahun dengan penghasilan 300.000 rupiah per bulan, maka yang diterima oleh
ahli waris adalah 300.000 dikalikan kenaikan indeks inflasi per tahun
dikalikan angka harapan hidupnya sampai usia 56 tahun. Maka, ahli waris untuk
korban tersebut harus menerima 959.477 dengan asumsi inflasi 4,4 persen per
tahun.
Jika
akan diasuransikan, maka pemerintah harus memberikan nilai asumsi jumlah
korban meninggal setiap bencana. Ini tentu saja diperlukan untuk menghitung
nilai kewajaran premi yang harus dibayarkan kepada asuransi.
Berikutnya,
nilai klaim terhadap harta benda yang tetap atau bergerak dihitung. Harta
tanah juga perlu dihitung karena bencana tidak jarang menghilangkan hak
milik. Misalnya kasus lumpur Lapindo atau longsor ini sebagai klausul totally
lost ataupun partially lost seperti bencana Gunung Kelud.
Jika
diasumsikan totally lost dengan
nilai yang harus dikembalikan kepada setiap kepala keluarga (KK) diandaikan
500 juta rupiah untuk harta tetap dan maksimal 100 juta harta bergerak, maka
premi bisa dikuantifikasi.
Untuk
kerugian tanaman pertanian karena bencana relatif mudah dihitung karena
tampak dari luar. Pemerintah dapat menggunakan asumsi produksi pertanian
tahun sebelumnya atau dengan penggalian data langsung dari penduduk setempat.
Perkiraan
nilai kerugian infrastruktur juga lebih mudah penghitungannya. Pengalaman
dari bencana banjir 2014, misalnya, ditemukan kerusakan jalan nasional di
Pantura Jawa sepanjang 274 km dengan biaya rekondisi minimal 1,5 triliun
rupiah. Longsor atau gempa bumi akan merusakkan jembatan, jalan, pelabuhan,
dan infrastruktur penting lainnya.
Pada
bencana longsor Banjarnegara, akses jalan dipastikan rusak karena terendam
lumpur dan kayu-kayu besar. Term berikutnya yang harus dikover mobilisasi dan
demobilisasi korban kembali ke tempat semula setelah aman.
Biaya
ini relatif mudah diestimasikan, yakni jumlah korban mengungsi dengan
kebutuhan alat transportasi dikalikan hari yang dibutuhkan. Yang agak sulit
dikalkulasi biaya pemulihan psikologi terhadap korban.
Diperlukan
tim untuk memulihkan kondisi psikis korban atau anak-anak korban bencana dan
korban lain yang rentan masalah kejiwaan. Tim harus bekerja berbulan-bulan.
Jika diasumsikan setiap kejadian diperlukan dana sampai 1,0 triliun untuk
menyelesaikan problem sosial dengan premi 1 persen, maka pemerintah perlu
biaya 10 miliar.
Dalam
setahun dicadangkan untuk 12 kali bencana, maka APBN harus membayar premi 120
miliar. Nilai premi ini lebih kecil dibanding dana siaga bencana dalam APBN
2014 sebesar 3 triliun yang dianggarkan untuk BNPB.
Pemerintah
dituntut tangguh dalam menegosiasi premi asuransi agar biayanya rendah namun
mendapat manfaat maksimal. Data bencana Indonesia sebetulnya bisa
diperkirakan dengan perencanaan serius karena siklusnya relatif tetap
sepanjang tahun. Bahkan, adakalanya tidak terjadi bencana sama sekali. Ini
adalah benefit perusahaan asuransi yang tidak bisa diungkit-ungkit.
Akurat
Untuk
membangun asuransi bencana diperlukan data dan informasi kependudukan yang
sangat akurat. Setiap organ pemerintah sejak sel terkecil seperti RT sampai
pemerintah kabupaten harus sangat intensif meng-update data kependudukan
warga.
Ini
menyangkut jumlah, usia, mata pencaharian, sampai nilai hartanya. Setiap
penduduk tidak boleh berpangku tangan pasif menunggu update data KK-nya
dikerjakan pemerintah. Harus inisiatif melaporkan legalitas KK sampai
mendapatkan dokumen kependudukan benar-benar sesuai dengan kondisi terakhir.
Di sisi
lain, organ pemerintah tidak sepatutnya mempersulit update data kependudukan
atas inisiatif rakyat. Jangan sampai terulang kejadian data kependudukan
bencana lumpur Lapindo Sidoarjo yang masih terkatung-katung sampai 8 tahun
ini. Data itu sulit diverifikasi keotentikannya karena berbagai alasan.
Ujung-ujungnya rakyat menjadi korban.
Menjadi
korban berkepanjangan, namun tidak memperoleh ganti rugi untuk mempertahankan
hidup. Ini adalah perbuatan kejahatan sangat berat. Inilah gunanya
pemerintah.
Jika
mengasuransikan korban bencana bisa direalisasikan, tidak hanya kepastian
yang bisa diperoleh, namun trust akan lahir kembali.
Pemerintah
akan mampu memberikan harapan kepada rakyatnya meski dalam kondisi bencana.
Duka korban bencana akan sedikit terobati dan tidak akan turun ke jalan
meminta-minta sedekah. Kementerian Sosial kali ini harus mengerjakan sesuatu
yang berguna dalam jangka panjang.
Tanggap bencana yang diklaim sangat cepat sebetulnya hanya pendirian
dapur umum, membagi selimut, obat-obatan yang sebetulnya tidak kualifikasi
Kementerian Sosial. Betapa pun, di samping langkah jangka pendek itu,
strategi jangka panjang juga diperlukan agar perlindungan kepada rakyat
semakin kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar