Asam-Garam
Bertemu dalam Belanga
Putu Fajar Arcana ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
14 Desember 2014
Asam
gunung dan garam laut bertemu dalam belanga. Pepatah tua ini jadi ajaran geografik
yang mengalirkan kesadaran bahwa gunung dan laut sudah sejak dahulu kala
menjadi ruang hidup manusia Nusantara. Mengapa laut kemudian berkonotasi
menakutkan, seram, dan cuma jadi halaman belakang?
Pameran
para kurator Bentara Budaya, 11-20 Desember 2014,
di
Bentara Budaya Jakarta, secara sadar mengambil tema ”Asam Garam Bentara”.
Para perupa, yang sehari-hari adalah kurator Bentara, seperti Ipong Purnama
Sidhi, Hari Budiono, Hermanu, GM Sudarta, dan Wiediantoro, adalah para
seniman yang berkubang ”asam-garam” dan ”pahit-getir” sejarah perjalanan
Bentara. Mereka sudah hadir bersama lembaga kebudayaan Kompas itu sejak
terlahir tahun 1982 dengan berdirinya Bentara Budaya Yogyakarta.
Faktor
kesejarahan itulah yang membuat kurator pameran ini, Efix Mulyadi,
mengontekskan praktik seni rupa para seniman dengan situasi dan kondisi
sosial politik negara Indonesia kontemporer. Setidaknya, dalam setiap
kampanye, Joko Widodo (kini Presiden RI) selalu mendengungkan pentingnya
keberadaan laut. Bahkan, ia bertekad membuat tol laut yang menghubungkan
pulau-pulau besar di Indonesia dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Reproduksi cerita
Kemunculan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjadi cerita yang
terus-menerus diproduksi media massa dan media sosial, lalu direproduksi di
warung-warung kopi atau kafe-kafe, bahkan lahir sebagai ”mitos” di tangan
para seniman. Perupa Hari Budiono setidaknya memajang tiga karya yang memakai
Susi sebagai modelnya.
Karya
berjudul ”Susi Duyung” berwujud sosok mitologis seperti para superhero di
Amerika, memiliki sayap, tetapi berekor seperti ikan, dengan menyandang
pedang dan menggenggam senapan otomatis. Ia dihasratkan sebagai sosok yang
menyelamatkan laut dari serangkaian pencurian ikan yang sudah terjadi bertahun-tahun.
Peristiwa penenggelaman kapal-kapal asing pencuri ikan di tangan Susi rupanya
menoreh begitu dalam di hati Hari Budiono.
Tak
tanggung-tanggung, budayawan Sindhunata membuatkan narasi khusus pada karya
”Susi Duyung”. Begini penggalannya //…Ombak
pun datang bergulung-gulung/tiba-tiba dari badan wanita berbadan duyung
itu/mengepaklah sepasang sayap, dan ia pun melesat/terbang tinggi ke
angkasa/Dari balik awan, ia menembakkan senjatanya/dan hancur dan
tenggelamlah kapal-kapal para maling/dan jahanam yang mau merampok kehidupan
lautan…//
Ipong
Purnama Sidhi yang memainkan kuasnya secara liar membuat sesuatu yang ironis.
Pada karya bertajuk ”Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, ia menggambarkan tubuh
sosial (istilah Efix Mulyadi) seorang nelayan yang kere, tak berdaya, dan
kurang gizi. Seekor ikan yang lewat di depan matanya hanya mampu ia pandang,
tanpa pernah bisa dijamahnya. Bukankah itu situasi yang melanda semua nelayan
kita saat ini? Laut boleh kaya, tetapi kehidupan sebagian besar para nelayan
kita miskin, senantiasa dikuasai para tengkulak yang ganas.
GM
Sudarta bahkan melukiskannya dalam ”Di Laut Kita Jaya (Katanya Lho!) sebagai
sesuatu yang lebih mengenaskan. Para nelayan kita dan perahu-perahunya
terjaring pukat harimau oleh para bajak laut, sementara kapal patroli TNI
kita dengan persenjataan yang loyo tampak di sampingnya.
Meski
karya-karya ini menggunakan idiom laut sebagai tema utamanya, tetapi ia tetap
hadir secara satire. Realitas kita di laut selalu jadi bahan olok-olok karena
ketidakmampuan kita mengelola kekayaan hayati ini secara baik.
Filosofi
masa lalu, seperti penyatuan ”Segara-Giri”, ”Jaya Giri-Jaya Bahari”, atau
”asam-garam bertemu dalam belanga”, tak pernah benar-benar menjadi pegangan
di dalam setiap pengambilan kebijakan di negeri ini. Laut tetap saja menjadi
halaman belakang, tempat segala kekotoran dan sampah dibuang. Pameran ini
menjadi upaya simbolik para seniman untuk menggedor kesadaran tentang
pentingnya berkiblat ke laut, di mana kekayaan itu sekarang banyak dicuri. Dan,
harapan itu ditumpukan kepada Menteri Susi Pudjiastuti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar