Ancaman
Utang Luar Negeri Swasta
Anton Hendranata ; Ekonom Kepala PT Bank Danamon Indonesia, Tbk
|
KOMPAS,
27 Desember 2014
UTANG
luar negeri swasta Indonesia sudah sangat tinggi dan berada pada tingkat
mengkhawatirkan. Dalam lima tahun terakhir, utang luar negeri (ULN) swasta
meningkat dua kali lipat menjadi 159 miliar dollar AS (September 14) dari 74
miliar dollar AS (2009). Pesatnya kenaikan ini terlihat sejak 2012, jauh
melebihi utang pemerintah. Pada September 2014, komposisi ULN swasta 55% dari
total ULN. Sebagian besar ULN swasta tak memproteksi lindung nilai,
perusahaan swasta hanya melindung nilai sekitar 13,6%. Jika tiba-tiba ada
gejolak eksternal, Indonesia bisa saja mengalami krisis ekonomi dan moneter
seperti 1997/1998.
Itulah
salah satu alasan BI mengeluarkan peraturan terkait ULN swasta yang
diterbitkan 28 Oktober 2014. BI menerapkan prinsip kehati-hatian mengelola
ULN korporasi nirbank yang berlaku mulai 1 Januari 2015. BI mewaspadai ULN
swasta (khususnya korporasi nirbank) rentan terhadap risiko nilai tukar,
risiko likuiditas, dan risiko beban utang berlebihan. Karena itu, peraturan
itu mencakup pemenuhan rasio lindung nilai minimum, rasio likuiditas minimum,
dan peringkat utang minimum.
Krisis
1997/1998 pelajaran berharga dan menyakitkan bagi perekonomian Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi -13%, rupiah terhadap dollar AS terpuruk tajam dengan
depresiasi sekitar 244% dari 2,902 (1997) ke 9,974 (1998) dan rata-rata harga
saham anjlok -31%. Salah satu sebab kerapuhan itu adalah ULN swasta yang amat
besar dan tak terkendali disertai banyaknya utang jatuh tempo. Diduga
sebagian perusahaan tak memitigasi risiko dengan baik. Banyak perusahaan
gagal bayar dan itu berimbas pada kehancuran kestabilan sistem keuangan dan
ekonomi makro.
Pengelolaan
utang terasa sangat sulit saat itu sebab Indonesia tak punya data akurat
berapa besar utang swasta yang jatuh tempo. Menurut IMF, total ULN 160 miliar
dollar AS (1998), naik 58% dibandingkan pada 1994 yang 101 miliar dollar AS.
Cadangan devisa Indonesia kurang begitu kuat menopang rupiah, tercatat hanya
23 miliar dollar AS, atau rasio cadangan devisa terhadap total external debt
relatif rendah: 14%.
Tak
heran jika saat itu BI dan pemerintah sulit mencari obat manjur mengatasi
krisis itu. Krisis bergerak amat cepat meruntuhkan sendi perekonomian. Rupiah
bergerak liar sebab permintaan akan dollar naik signifikan.
Hati-hati mencermatinya
Melihat
perkembangan data ULN swasta ini, kita perlu berhati-hati. Apalagi mata uang
dollar AS mendominasi total ULN Indonesia. Pada 2009, 58% dari ULN dalam
bentuk dollar AS dan meningkat jadi 70% pada September 2014. Ini bisa jadi
sumber petaka bagi pelemahan rupiah.
Mari
belajar dari krisis masa lalu. Saat krisis ekonomi global 2008, Indonesia
lebih siap ketimbang negara lain di ASEAN. Perekonomian Indonesia bisa
bertahan dengan pertumbuhan positif 4,6%. Malaysia, Singapura, dan Thailand
tumbuh negatif. Rata-rata rupiah per dollar AS hanya terdepresiasi 7,4% pada
2009 dan saham hanya turun 6%. Total ULN masih terkelola sebesar 173 miliar
dollar AS dengan dukungan cukup kuat dari cadangan internasional 66 miliar
dollar AS. Artinya, rasio cadangan devisa terhadap total ULN 38% jauh lebih
baik ketimbang krisis 1997/1998 yang hanya 14%.
Pemulihan
krisis ekonomi global 2008 memaksa negara maju melakukan kebijakan ekonomi
moneter longgar dengan menurunkan suku bunga acuannya dan dipertahankan
rendah dalam waktu cukup lama. AS mempertahankan suku bunga acuannya 0,25%
hampir enam tahun. Juga Jepang (0,1%). Uni Eropa terus menurunkan suku bunga
acuannya sampai titik terendah, 0,05%, sejak Juni 2014.
Tren
suku bunga rendah ini tak diikuti penurunan suku bunga acuan BI, yang malah
naik 1,75% jadi 7,50% pada 2013 dan naik lagi 0,25% pada November 2014
menjadi 7,75%. BI berharap ini mampu memperbaiki defisit neraca transaksi
berjalan secara signifikan dan meredam ekspektasi inflasi karena kenaikan
harga BBM bersubsidi sehingga rupiah dapat bergerak stabil.
Kelihatannya
kebijakan ini tak efektif meredam pelemahan rupiah di atas level psikologis
12.500 per dollar AS, yaitu Rp 12.665 per 15 Desember 2014. Di luar dugaan,
perekonomian melambat signifikan ke 5-5,1% dari ekspektasi awal 5,6%.
Tingginya suku bunga domestik memperlambat pertumbuhan kredit dari 21%
Januari 2014 jadi 13% September 2014, dan mungkin hanya sekitar 11% pada
akhir 2014, jauh dari ekspektasi BI 15%-17%.
Situasi
ini membingungkan pelaku pasar: mengapa Indonesia menganut suku bunga tinggi
berlawanan arah dengan suku bunga rendah negara maju. Dalam 2009-2014,
rata-rata rentang suku bunga acuan BI atas suku bunga acuan AS sangat lebar:
6,4%. Rentang suku bunga kian lebar ketika BI kembali menaikkan suku bunga
pada November 2014 ke 7,75%, sedangkan suku bunga acuan AS tetap 0,25%.
Tren
pinjaman ULN swasta meningkat tajam. Logis dan wajar sebab pengusaha cari
pinjaman luar negeri dengan biaya amat murah meski risiko nilai tukarnya
cukup tinggi. Per sektor ULN terbesar di manufaktur (25%); diikuti
pertambangan dan penggalian (20%); listrik, gas, dan air minum (14%); serta
keuangan dan jasa (13%). Saat suatu sektor berorientasi ekspor, ULN yang
besar bukanlah ancaman. Yang bisa jadi ancaman, produksinya berorientasi
domestik sebab pendapatannya dalam rupiah.
Sudah tepat
Dengan
model input-output Leontief, penerima Nobel ekonomi, sektor manufaktur
Indonesia hanya mengekspor 24% dari total output, pertambangan dan penggalian
mengekspor 34%. Listrik, gas, dan air minum 100% dijual di domestik. Wajar kita
berhati-hati dengan membengkaknya ULN swasta nirbank sektor manufaktur karena
penerimaan pendapatannya lebih banyak rupiah daripada dollar.
Sektor
pertambangan dan penggalian sedikit lebih baik daripada sektor manufaktur.
Persentase ekspornya jauh lebih tinggi (34%). Namun, itu tak berarti
risikonya lebih rendah daripada sektor manufaktur. Sektor ini amat
dipengaruhi pergerakan harga komoditas dunia yang cenderung berfluktuatif.
Listrik, gas, dan air minum adalah sektor paling berisiko ULN-nya karena 100%
pendapatannya rupiah.
Dibandingkan
negara lain, risiko ULN swasta Indonesia cukup tinggi. Dalam pertemuan
tahunan makan siang para bankir disebutkan, rasio ULN swasta Indonesia atas
PDB 31,2%, lebih tinggi dari India (23,5%), Brasil (21,6%), dan Tiongkok
(8,5%). Saya kira BI cukup jeli melihat tren kenaikan ULN, terutama ULN
swasta. Kebijakan BI mengharuskan lindung nilai ULN memitigasi risiko perlu
diapresiasi positif. Mungkin dalam waktu dekat ada tekanan terhadap rupiah
karena ada peningkatan permintaan dollar AS oleh perusahaan.
Sebenarnya yang lebih penting dalam jangka menengah adalah tren suku
bunga domestik diarahkan turun. Gebrakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
mengurangi subsidi BBM sudah tepat, apalagi dananya dialihkan ke sektor produktif,
terutama pembangunan infrastruktur. Ketika infrastruktur membaik dan
keterhubungan antarpulau berjalan mulus, kita tinggal tunggu waktu bahwa
inflasi akan turun kontinu dan stabil. Peluang suku bunga rendah akan kian
besar dan ini bisa menolong rupiah bergerak ke nilai fundamentalnya dan
perekonomian lebih sehat, bersinambung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar