Undang-Undang
Perlindungan Umat Beragama
Benny Susetyo ; Pemerhati
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 03 November 2014
Kementerian Agama (Kemenag) menyiapkan draf Rancangan
Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama untuk diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. RUU ini diharapkan menjadi turunan dari UUD 1945 yang
menjamin kebebasan warga negara dalam memeluk agama dan beribadah sesuai
agama dan kepercayaannya.
“Dalam enam bulan ke depan, kami menyiapkan RUU Perlindungan
Umat Beragama. Ini merupakan salah satu rekomendasi dari focus group
discussion tentang masalah-masalah keagamaan yang diikuti tokoh semua agama,
termasuk di luar enam agama resmi,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
di Jakarta.
Lukman Hakim menjadi satu-satunya menteri Kabinet Indonesia
Bersatu II di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kembali dipilih
menduduki jabatan yang sama pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Menurut
Lukman Hakim, RUU Perlindungan Umat Beragama akan mendorong perbaikan semua
peraturan terkait kehidupan umat beragama di Indonesia.
Implikasi RUU ini banyak.
Isu pendirian rumah ibadah, misalnya, perlu peraturan lebih
jelas yang disepakati semua pihak. Perlu juga perlindungan kepada mereka yang
menganut agama di luar enam agama yang resmi diakui pemerintah. Selama ini,
mereka merasakan adanya kebijakan yang diskriminatif.
Kebijakan merancang undang-undang perlindungan umat beragama
harus direspons secara hati dan bijaksana karena kerukunan buah dari kearifan
secara alamiah tumbuh subur di bumi nusantara ini. Fokus utama undang-undang
memperkuat Pasal 29 UUD 1945, negara memberikan jaminan bebas menjalankan ibadah
dan memberikan fasilitas rumah ibadah, dan memberikan perlindungan terhadap
warga negara menjalankan ibadahnya dengan mentindak pelaku kekerasan yang
mengangu jalannya ibadah. Rancangan undang-undang perlindungan beragama bukan
mengatur hal sifatnya ritual, upacara keagamaan, tempat pemakaman, adopsi
anak, perkawinan, bantuan luar negeri, rumah ibadat, hal ini diatur akan
menimbulkan keretakan dalam hidup berbangsa.
Harus diingat bahwa Indonesia adalah negara yang menjadi
barometer pluralisme dunia. Karena itu, kekeliruan cara pandang terhadap
relasi agama justru akan menjadi bumerang di masa mendatang. Hal ini akan
menimbulkan ketegangan baru. RUU yang dipaksakan justru membuat disharmoni
relasi dan tidak bersatunya umat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
besar bangsa, seperti korupsi, kemiskinan, dan kebodohan. Kita harus
merefleksikan begitu banyak UU. Namun, UU yang dibuat justru tidak mampu
menjawab kebutuhan dasar masyarakat dan tidak mampu memecahkan persoalan yang
ada.
Bahkan kehadiran aturan baru justru identik dengan permasalahan
baru. Inilah yang harus diwaspadai bersama agar keinginan untuk menjaga
kerukunan beragama tidak melahirkan situasi kontra produktif yang lain,
apalagi bila UU dibuat dengan semangat antiperbedaan.
Keberagamaan Kita
Terkait keberadaan RUU ini, ada baiknya kita merefleksikan
situasi dan kondisi keberagamaan itu sendiri. Sejauh ini, begitu banyak
korban kekerasan yang mengutuk bahwa negeri ini adalah negara munafik.
Negeri yang begitu pandai menyusun aturan-aturan manis, tapi
tidak mampu merealisasikannya di lapangan. Aturan-aturan itu hanya dibuat
sebagai pemanis bibir. Kenyataannya, ada sebagian kelompok masyarakat yang
berusaha memaksakan kehendaknya sendiri dan negara mengabaikan situasi itu.
Para korban pun kesulitan mencari rasa aman, kepada siapa lagi mereka
mengadu.
Kekerasan merupakan pengingkaran terhadap martabat kemanusiaan
dan wajah bopeng yang merusak peradaban. Negara gagal menjaga rasa aman yang
sudah diamanatkan konstitusi dan melindungi masyarakatnya yang membutuhkan
pertolongan ketika ia diserang. Buktinya, korban sudah tak lagi percaya pada
jaminan-jaminan itu.
Jaminan yang hanya manis di mulut: “Negara memberi jaminan
kebebasan beragama dan menjalankan ibadah bagi warga”. Jaminan kebebasan
beragama itu melekat pada diri setiap warga dan seharusnya negara
sungguh-sungguh memberikan perlindungan tidak peduli siapa pun dia.
Walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama ini sudah
sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, praktiknya tidaklah semudah
yang dipikirkan dan dibicarakan. Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan
Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan
slogan itu.
Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui
dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat
beragama di Indonesia. Minoritas semakin tidak mendapatkan tempat di negeri
“Bhinneka Tunggal Ika” ini dengan beragam alasan.
Banyak peristiwa yang bisa dirujuk sebagai contoh tentang
dicederainya kemajemukan bangsa ini. Akibatnya, berbagai kepentingan menyusup
di balik sensitifnya hubungan agama di Indonesia. Dibutuhkan kebijaksaan dan
jiwa negarawan agar dalam mengatur hal sifat alamiah jangan sampai menimbulkan perpecahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar