Ulama
dalam Tradisi Muhammadiyah
EH Kartanegara ; Wartawan
|
KORAN
TEMPO, 19 November 2014
Ini
sebuah anekdot yang pernah populer di kalangan para santri Muhammadiyah pada
dekade 1950-1960-an: "Tak ada
ulama atau kiai di Muhammadiyah, kecuali ilmunya."
Anekdot
itu sejatinya nasihat bagi warga Muhammadiyah dan sindiran halus bagi orang
luar Muhammadiyah, yang kala itu lebih memandang secara mendongak pada
karisma seorang ulama atau kiai ketimbang memuliakan ilmu dan tingkah
lakunya. Ini sejalan dengan ucapan bijak Ali bin Abi Thalib: "Jangan pandang siapa yang
mengucapkan, tapi dengarlah apa yang diucapkan."
Dalam
tradisi Muhammadiyah, sejak awal berdirinya, 8 Zulhijah 1330 H, bertepatan
dengan 18 November 1912 (hari genap 102 tahun), ulama bukanlah figur yang
didatangi, meski tentu saja datang--dalam bahasa Jawa halus,
sowan--berkunjung, bertamu, dan terlebih berguru kepada seorang ulama atau
kiai tidak dilarang. Pendiri Perserikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan,
dikenal rajin berdakwah, turun ke kampung-kampung, berkeliling dari satu kota
ke kota lain, yang dalam bahasa populer sekarang disebut blusukan.
Blusukan,
bagi seorang ulama, kiai, dai, atau mubalig, wajib hukumnya. Itu termasuk
sunah Nabi. Rasulullah, kemudian diikuti para khalifah, sahabat, dan umatnya,
bahkan blusukan sampai ke pasar-pasar. Tak ada dalam sejarah Rasulullah
mendakwahkan agama hanya duduk manis di kursi empuk di menara gading.
Dalam
praktek keseharian, anekdot di atas menyiratkan bagi warga Muhammadiyah,
bahwa ulama dan kiai ada di tengah warga. Bukan hanya di mimbar, di
panggung-panggung dakwah, atau di zaman sekarang tampil secara keren di layar
televisi, yang bahkan dipahami pula dengan logika media massa sebagai tokoh
pujaan, menjadi idola. Mengidolakan ulama selebritas, dalam bahasa Majelis
Tarjih Muhammadiyah, masuk pasal gawat; bisa menggelincirkan umat pada perbuatan
sirik.
Dalam
Refleksi atas Persoalan Keislaman; Seputar Filsafat, Politik, dan Ekonomi
(Mizan,1993) KH Ahmad Azhar Basyir, Ketua PP Muhammadiyah (1990-1995),
menuliskan, demi menghindari pengidolaan tokoh, kultus individu, atau
pemujaan, sekali waktu warga Muhammadiyah dilarang memasang gambar KH Ahmad
Dahlan. Sebuah keputusan kontroversial yang tidak sepenuhnya dipahami dasar
hukumnya oleh warga Muhammadiyah sendiri.
Itulah
salah satu keputusan "keras" para ulama Muhammadiyah dalam Majelis
Tarjih. Azhar Basyir, salah seorang ulama Muhammadiyah lulusan Ulum Islamiyah
Universitas Kairo, Mesir, menilai itu sebagai sikap hati-hati ulama
Muhammadiyah dalam merespons berbagai problem kontemporer keumatan. Dalam
studi Islam, tiap problem selalu ada latar belakang dan konteksnya, yang
tidak selalu dapat dibaca oleh umat. Dan, itulah tugas serta kewajiban ulama.
Dalam
Muhammadiyah, meminjam bahasa Azhar Basyir, keberadaan ulama adalah mutlak.
Para ulama ini bertugas mengawasi dinamika organisasi, jangan sampai
terkotori oleh berbagai pengaruh atau ajaran yang bertentangan dengan Islam.
Inilah inti pemikiran Muhammadiyah yang diaktualisasi oleh sejumlah ulama
dalam Majelis Tarjih.
Dalam
sejarah Muhammadiyah, majelis ini--sekarang digandengkan dengan Tajdid
(Majelis Tarjih dan Tajdid), salah satu dari 13 majelis dalam struktur
Pimpinan Pusat Muhammadiyah--merupakan bentuk pembaruan dalam tubuh
organisasi keagamaan, sosial, dan pendidikan yang dalam anggaran dasar
awalnya bernama "Mohammadiah". Gagasan awalnya berasal dari
pemikiran KH Mas Mansyur (Ketua Muhammadiyah 1937-1941) yang kemudian
diputuskan dalam Kongres ke-16 di Pekalongan, 1927. Namun kepengurusannya
baru diputuskan pada 1928 dalam Kongres ke-17 di Yogyakarta.
Lahirnya
Majelis Tarjih ini menjadi momen bersejarah penting bukan hanya dalam
lingkungan Muhammadiyah, tapi juga dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia
di tingkat ulama. Buah sejarah panjang pemikiran Islam dalam ilmu kalam,
sosiologi (dengan tokoh Ibnu Khaldun), dan pemikiran fikih yang melahirkan
mazhab Syafi'i, Hambali, Maliki, dan Hanafi.
Berbagai
aliran pemikiran sejumlah tokoh itu kemudian mengilhami para tokoh yang
dikenal reformis, dari Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Rasyid Ridha,
sampai Muhammad Iqbal. Lewat berbagai kepustakaan, buah pemikiran mereka
itulah yang, antara lain, bersenyawa dengan berbagai pemikiran Barat,
mempengaruhi pemikiran para tokoh pembaru di Indonesia yang, menurut
sejarawan Kuntowijoyo, menyulut gagasan "kemadjoean" pada awal abad
ke-20.
Sihir
"kemajuan" dan "pembaruan" menjadi semangat Ahmad Dahlan,
yang jauh sebelum mendirikan Muhammadiyah, melakukan studi dan bergaul luas
dengan para intelektual yang kelak dikenal sebagai tokoh reformis. Para
penerus Ahmad Dahlan hingga periode Azhar Basyir adalah juga para ulama yang
memiliki keilmuan dan pemikiran mumpuni melakukan pembaruan.
Sejak kepemimpinan Amien Rais (1995-1998), para petinggi Perserikatan
bergeser dari ulama ke profesor dan doktor. Tanpa meremehkan keilmuan mereka,
ulama Muhammadiyah, menurut bahasa Azhar Basyir, menjadi makhluk langka.
Padahal, sesungguhnya, dari pemikiran ulama inilah pembaruan Muhammadiyah
dikenal sejak awal sejarahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar