Ujian
Nasional Guru dan Kepala Sekolah
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 November 2014
MAJALAH Time (3/11) menurunkan
sebuah la poran menarik tentang betapa sulitnya memecat guru yang buruk. Di
bawah judul `Its nearly impossible to
fire a bad teacher', negara sebesar Amerika pun kesulitan untuk mengukur
performansi guru yang tidak berkualitas dan memiliki pengaruh yang kuat
terhadap performansi siswa.
Karena itu di tengah, lagilagi,
maraknya kritik terhadap penyelenggaraan ujian nasional (UN), saya malah
ingin bertanya kapan kira-kira kementerian pendidikan dan kebudayaan juga
melakukan UN yang sama terhadap guru dan kepala sekolah yang buruk? Meskipun
data dari uji kompetensi guru (UKG) terus bergerak, kemampuan pedagogis dan
profesional para guru kita secara rata-rata tak lebih dari 42,2 dari skala
1-100.Itu artinya baik penguasaan substansi mata ajar maupun penguasaan kelas
sangatlah minim, dan ini tetap tak pernah dihitung sebagai penyebab buruknya
performansi siswa.Dari sisi tersebut, semestinya pemerintah sejak lama sadar
diri, jika kompetensi profesional dan pedagogis guru sedemikian buruknya,
bagaimana mungkin kita tetap mempertahankan kebijakan UN yang standar
kelulusannya 5,5, jauh di atas rata-rata nilai UKG secara nasional? Artinya,
jika tingkat kelulusan siswa kita secara nasional mencapai angka di atas 90%,
pasti ada sesuatu yang manipulatif.
Karena itu, diperlukan cara
untuk menguji kompetensi profesional dan pedagogis guru dari jarak yang
paling dekat dengan siswa dan lingkungan sekolah. Saya membayangkan jika
kemendikbud melakukan proses pembelajaran secara real-time di tingkat sekolah
seperti yang kami lakukan di Sekolah Sukma Bangsa (SSB), pasti hasilnya
secara jangka panjang akan terlihat.
Sebagai sekolah yang mengusung
kesadaran belajar secara kolektif melalui contoh yang baik, SSB memiliki
kapasitas untuk menunjukkan perbedaan dengan sekolah lainnya. A school that
learns, sekolah yang selalu ingin belajar melalui perilaku yang baik
merupakan kesadaran seluruh warga sekolah. Di SSB kami selalu mencari cara
bagaimana sebuah proses belajar tidak hanya dirasakan oleh siswa, tetapi juga
para guru, kepala sekolah, orangtua, pengawas, dan bagian administrasi
sekalipun.
Bagi manajemen SSB, monitoring
yang paling utama justru harus dilakukan terhadap guru terlebih dahulu,
sebelum mereka menguji dan mengevaluasi para siswa. Kami beruntung memiliki
tools seperti sistem informasi sekolah terpadu online (sisto), yang digunakan
tidak hanya melacak kemampuan siswa dalam belajar, tetapi juga mendeteksi
kemampuan mengajar para guru dari waktu ke waktu. Model monitoring dan
evaluasi guru jenis ini diyakini mampu meningkatkan kapasi tas dan kemampuan
guru pada empat hal yang menjadi isu utama undang-undang guru, yaitu
kompetensi profesional, pedagogis, sosial, dan kepribadian (sikap).
Secara konseptual, empat
kompetensi yang dirumuskan pemerintah untuk mengukur kemampuan guru terbilang
ideal. Tetapi saya melihat tak ada contoh yang baik bagaimana cara mendeteksi
empat kompetensi tersebut secara terukur dari waktu ke waktu. Sebagai sekolah
yang memiliki kesadaran kritis secara kolektif-kolegial, SSB kemudian membuat
desain sederhana yang terintegrasi ke dalam modul sisto.
Untuk mengukur kompetensi
profesional seorang guru, sisto yang kami buat cukup mendata seberapa banyak
buku, artikel, jurnal, tulisan, dan sebagainya yang digunakan para guru
ketika mengajarkan materi tertentu. Guru tak hanya dibekali dengan buku teks
mata ajar tertentu yang menjadi spesialisasinya, tetapi diwajibkan membaca
bahan-bahan lain dalam rangka mendukung proses belajar-mengajar yang lebih
kreatif dan menyenangkan. Setiap minggu guru SSB diwajibkan mengisi modul
profesional guru yang ada dalam sisto secara rutin, untuk melihat berapa
banyak bahan yang dibaca guru tersebut selain buku teks.
Kompetensi pedagogis juga diukur
dan dievaluasi secara terencana dan berjenjang melalui modul supervisi dan
observasi kelas yang secara terusmenerus dilakukan direktur sekolah, kepala
sekolah, guru, dan pengawas sekolah. Melalui instrumen supervisi dan
observasi kelas, menjadi tugas dan tanggung jawab direktur sekolah dan kepala
sekolah untuk mengevaluasi apakah kemampuan implementatif guru pada aspek
metodologis dan strategi pembelajaran berkembang atau tidak. Lagi-lagi, modul
kompetensi pedagogis yang terintegrasi ke dalam sisto ini juga terbuka untuk stakeholder lain yang ingin melihat
peta perkembangan pedagogis guru secara periodik.
Model pengelolaan sekolah dalam
sebuah sistem pendidikan biasanya selalu mengacu pada dua hal, yaitu
sentralisasi dan desentralisasi. Pilihan atas keduanya harusnya merupakan
pilihan rasional berdasar kan riset dan kajian tiada henti tentang
performansi sekolah sebagai unit analisisnya.
Lant Pritchett dalam The Rebirth of Education: Schooling Ain't
Learning (2013) menengarai sistem persekolahan di banyak negara telah
gagal dalam upaya mencerdaskan masyarakat karena pilihan soal desentralisasi
tidak dianalisis berdasarkan struktur sosial-budaya tempat sekolah itu
berada. Pemerintahan Jokowi-JK harus memberikan kepercayaan terhadap sekolah
untuk menentukan apa yang terbaik dan seharusnya mereka lakukan untuk
meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar di sekolah mereka
masing-masing.
Selama
ini, meskipun kita sudah meyakini menjalankan dan mengadopsi proses
desentralisasi pendidikan, kontrol atas banyak kebijakan seperti UN dan
kurikulum nasional tetap dilakukan secara rigid oleh pusat. Akhirnya banyak
sekolah menjadi tak sehat dan miskin kreativitas karena fundamen proses
belajar-mengajar yang mencerahkan dan berkualitas menjadi terganggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar