Tantangan
Kebijakan Pajak
Yustinus Prastowo ; Direktur Eksekutif
Center for Indonesia Taxation
Analysis (CITA) Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 04 November 2014
Pajak adalah sumber penerimaan negara terbesar. Lima tahun
terakhir, rata-rata kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan APBN
mencapai 74 persen. Target penerimaan pajak dalam APBN-P 2014 adalah Rp 1.246
triliun. Hal yang memprihatinkan, dalam kurun 2005-2013, tax ratio
(perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto) hanya naik 0,1
persen dan target penerimaan pajak hanya tercapai sekali, yaitu pada 2008.
Bahkan pada 2013 pencapaian penerimaan hanya 94 persen atau terjadi shortfall
Rp 88 triliun.
Sejak 2011, perbandingan realisasi penerimaan pajak terhadap
potensi (tax coverage ratio)
cenderung stagnan, dan perbandingan pertumbuhan penerimaan pajak terhadap
pertumbuhan ekonomi (tax buoyancy ratio)
cenderung menurun. Hal ini diperparah dengan menurunnya tingkat kepatuhan
wajib pajak. Dalam situasi demikian, amat sulit bagi pemerintahan baru untuk
membiayai program-program pembangunan jika tidak ditempuh langkah-langkah
terobosan yang fundamental. Paparan berikut berupaya menimbang visi-misi
pajak Presiden dan memberi beberapa usul programatik.
Berdasarkan visi dan misi calon presiden yang disampaikan ke
Komisi Pemilihan Umum (KPU), kita dapat menerka dan memetakan tiga hal
penting: target, strategi kelembagaan, dan strategi kebijakan. Jokowi mematok
target pencapaian tax ratio (perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB)
sebesar 16 persen pada 2019. Tentu saja ini bukan hal baru. Bahkan Presiden
Yudhoyono pada 2004 mematok target tax ratio menjadi 19 persen dalam waktu
lima tahun. Faktanya, tax ratio
kita tak pernah beranjak pada kisaran 12-13 persen. Artinya, tanpa strategi
yang jelas dan terukur, janji peningkatan tax
ratio tak ubahnya sebuah jargon kosong makna. Jika demikian, bagaimana
Presiden Jokowi menawarkan strategi pencapaian target?
Pada tataran strategi kelembagaan, Jokowi menempatkan strategi
kelembagaan dalam konteks lebih luas yang menempatkan pajak dalam lanskap
kebijakan fiskal. Ada dua hal yang ditawarkan. Pertama, desain ulang
arsitektur fiskal dan merancang ulang lembaga pemungutan pajak. Kedua, Jokowi
menegaskan niat awalnya merealisasi pembentukan Badan Penerimaan Pajak yang
otonom (di luar Kementerian Keuangan) dengan tiga kewenangan penting, yaitu
anggaran, manajemen sumber daya manusia, dan tata kelola organisasi. Strategi
kelembagaan tersebut diturunkan dalam strategi kebijakan.
Jokowi menempatkan penerimaan pajak dalam dialektika
partisipasi-manfaat. Kinerja penerimaan pajak dievaluasi seiring dengan
potensi pajak dan saat yang bersamaan dilakukan sinkronisasi dengan alokasi
anggaran yang berfokus pada belanja publik, seperti pembangunan
infrastruktur, pengelolaan pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Menariknya,
Jokowi juga mengemas isu penanganan korupsi sektor pajak dan bea-cukai serta
pelibatan pemerintah daerah dalam kebijakan pemungutan pajak nasional. Ia
tampaknya yakin bahwa kepercayaan (trust)
merupakan pilar penting keberhasilan pemungutan pajak.
Lalu, bagaimana visi-misi itu terwujud? Tiga hal penting harus
dipahami. Pertama, tax ratio yang masih rendah menunjukkan sulitnya memungut
pajak di Indonesia. Potensi pajak yang sangat tinggi (setidaknya Rp 400
triliun/tahun belum terpungut), merupakan tantangan tersendiri. Penerimaan
PPh Orang Pribadi sangat jauh di bawah potensi. Dibutuhkan kepemimpinan yang
berani tanpa kompromi melakukan penegakan hukum, terutama menghadapi
pengemplang pajak. Sumber potensi penerimaan pajak ada di sekeliling kita,
bukan korporat asing di seberang sana.
Kedua, reformasi perpajakan hanya akan berhasil apabila dapat
membawa sekaligus mereformasi kebijakan pajak, Undang-Undang Perpajakan, dan
administrasi perpajakan (Bird:2003;
Tanzi:2007). Tiga aspek ini harus dilambari visi keadilan yang kuat dan
hanya akan terwujud jika presiden yang visioner, DPR yang kompeten, dan
partisipasi publik yang luas bahu-membahu. Dan ketiga, transformasi
kelembagaan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, dan sebagian pengelola PNBP
menjadi Badan Penerimaan Negara. Prasyarat kelembagaan ini mutlak dibutuhkan
untuk membangun lembaga pemungutan yang kuat, kapabel, dan akuntabel (Talierco:2003; Crandal:2010).
Mencermati proses reformasi perpajakan yang telah dan sedang
terjadi persoalan pokoknya adalah defisit kepemimpinan. Bak sebuah orkestra,
belum tercipta perpaduan yang anggun. Kita butuh dirigen yang mampu memandu
dan mengarahkan. Persoalan pajak yang amat penting sangat bergantung pada
kemauan politik dan keberanian seorang presiden untuk berdiri di garis paling
depan dengan kualifikasi: seorang wajib pajak yang patuh, berani memimpin
pemberantasan korupsi termasuk penghindaran dan pengelakan pajak, dipercaya
rakyat karena mampu mengagregasi dukungan sosial-politik, dan menjadikan
kesejahteraan rakyat di atas segalanya.
Modal sosial itu dimiliki oleh Presiden Jokowi. Langkah besar
ini akan diuji dengan tantangan di depan mata, yakni membangun tim yang kuat.
Maka ujian pertama, jangan salah memilih Direktur Jenderal Pajak, Pak
Presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar