Seruan
kepada Menristek dan Dikti
Sulistyowati Irianto ; Guru
Besar Fakultas Hukum UI; Direktur Pascasarjana UI
|
KOMPAS,
06 November 2014
DIPISAHKANNYA urusan pendidikan tinggi dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan karena ada berbagai persoalan pendidikan tinggi
yang serius dan kurang mampu ditangani oleh kementerian ini. Akibatnya,
prestasi akademik ilmuwan kita tertinggal dari ilmuwan negara tetangga ASEAN
sekali pun meski ada banyak cendekiawan hebat di negeri ini. Dampaknya bagi
masyarakat sangat jelas, yaitu ketiadaan kedaulatan pangan, energi, dan
teknologi; kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan utang luar negeri; serta
ketergantungan kepada negara lain dalam banyak aspek. Apabila sumber daya
manusia kita tak memiliki daya saing dalam persaingan global, kita akan jadi
bangsa ekstraktif: yang hanya mampu menjual barang mentah. Nilai tambahnya
dinikmati negara lain, bahkan kita hanya jadi pasar bagi produk bangsa lain.
Para ilmuwan mengharapkan persoalan pendidikan tinggi (dikti)
dapat prioritas yang memadai dan perguruan tinggi (PT) bisa jadi motor
penggerak pembangunan bangsa dalam mengatasi ketertinggalan. Namun, tampaknya
dalam kabinet Joko Widodo- Jusuf Kalla, persoalan dikti lebih ditanggapi
sebagai persoalan organisasi, belum disentuh esensinya. Jika yang terjadi
hanya pindah organisasi, hambatan birokrasi dan administrasi akan tetap ada.
Nomenklatur ”ristek” yang mendahului ”pendidikan tinggi” juga membingungkan karena
seharusnya ristek adalah bagian dari dikti, bukan sebaliknya.
Beberapa usulan
Pertama, deregulasi. Kementerian ini harus meninjau ulang
berbagai regulasi yang berdampak pada hilangnya kesempatan bagi PT
merencanakan dan mewujudkan potensi pengembangan Tri Dharma seluas-luasnya.
PT adalah lembaga khusus yang berbeda dengan lembaga politik dan bisnis
karena fungsinya memproduksi ilmu pengetahuan. Jangan menjadikan rektor PT
sebagai bawahan menteri. Akan tetapi, jadikan dia kolega, dan dukung
sepenuhnya agar lembaganya bisa berprestasi gemilang untuk kemajuan bangsa.
Hindarkan homogenisasi PT. Berikanlah ruang kebebasan kepada PT
untuk merancang kurikulumnya sendiri sesuai konteks kesejarahan, geografis,
struktur masyarakat dan kebudayaannya. Selama ini pemerintah memaksa PT
mendesain rencana kerja dan kurikulum yang seragam, mengabaikan konteks
lokalitas dan karakter pengembangan keilmuan khas. Berarti, evaluasi dan
akreditasi terhadap kinerja PT juga harus dilakukan secara esensial dan
kontekstual, bukan sekadar terpenuhinya persyaratan administratif.
Dalam penentuan guru besar, hendaknya pemerintah hanya berperan
mengesahkan karena yang paling tahu kebutuhan bertambahnya profesor dan
kompetensi kelayakan seorang dosen untuk diangkat adalah universitas.
Kelayakan dimaksud soal akademik, integritas, dan kontribusi dosen bagi
universitas. Saat ini, karena kesulitan memenuhi persyaratan administratif,
banyak program studi, departemen, dan fakultas defisit profesor. Hal ini
sangat membahayakan estafet dan keberlanjutan suatu tenure keilmuan.
Kedua, perlu perubahan paradigma dalam melihat pengembangan ilmu
masa depan. Perkembangan masyarakat yang cepat akibat revolusi teknologi
informasi, menuntut para ilmuwan, membuka diri atas tumbuhnya ilmu
multidisiplin dan transdisiplin, yang bukan saja lintas ilmu, tetapi rumpun
ilmu.
Nomenklatur dikti yang ada bersifat tidak membebaskan dan
ketinggalan zaman. Dikti bisa memberikan nilai buruk lembaga di bawah PT,
yang dinilai tidak memiliki pohon ilmu dan tidak ada nomenklaturnya.
Celakanya, pandangan semacam ini diikuti sebagian profesor pemangku
kepentingan di PT. Mereka bahkan memandang rendah ilmu multidisiplin, padahal
tumbuhnya ilmu-ilmu baru itu justru karena kegagalan teori dan metodologi
ilmu konvensional yang tidak memungkinkan ilmuwan merespons secara cepat
kebutuhan masyarakat.
Ketiga, cara meningkatkan produktivitas penelitian para dosen
harus diubah total. Harus ditumbuhkan budaya kasmaran terhadap kerja
penelitian, inovasi yang nobel, dan berkontribusi terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan global. Selama ini dosen lebih disibukkan dengan urusan
pertanggungjawaban administratif dana penelitian pemerintah daripada proses
penelitian. Evaluasi terhadap penelitian yang dilakukan pemerintah pun lebih
pada soal terpenuhinya persyaratan administrasi, bukan hasil penelitiannya.
Tak mengherankan penelitian dijadikan sekadar persyaratan kenaikan pangkat,
bahkan tambahan penghasilan.
Keempat, penerapan sistem pengelolaan dana PT sebagai badan
layanan umum (BLU) menjadi hambatan besar karena tidak bisa mengakomodasi
gerak cepat kegiatan akademik. Atas nama prosedur formal, lalu lintas
keuangan tidak memudahkan penyediaan kebutuhan dasar penyelenggaraan Tri
Dharma. Sudah saatnya diterapkan pendanaan dengan model block grant, yang
membuat fakultas dan lembaga di bawah PT leluasa menggunakan dana untuk
semata kepentingan akademik. Asal saja prinsip tata kelola, transparansi, dan
akuntabilitas dipegang kuat.
Kelima, mendukung terciptanya konektivitas antara universitas
dan lembaga pemerintah, masyarakat dan industri. Selama ini ada banyak hasil
penelitian berupa prototipe atau rekomendasi akademik yang berhenti di
perpustakaan.
Agar bisa menjadi ”barang jadi” yang bisa dinikmati masyarakat,
ilmuwan di universitas harus bekerja sama dengan ilmuwan di lembaga
pemerintah, masyarakat, dan industri. Dunia industri modern saat ini juga
memiliki banyak doktor dan ilmuwan, sebagai penggerak kemajuan; dan hendaknya
otak-otak cerdas dari para ilmuwan universitas dan industri bisa bekerja sama
menghasilkan temuan yang paling bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat.
Kemajuan berbasis ilmu Menjelang abad Asia 2050, orang kaya baru
akan bertambah 3 miliar dan masyarakat Asia semakin berkembang menjadi
masyarakat berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Apakah Indonesia akan bisa ikut menikmati dan berperan? Bisa,
apabila setiap kebijakan pembangunan dan regulasi dalam bidang apa pun
didasarkan pada rasionalitas ilmiah, hasil penelitian yang berkualitas dan
kredibel. Bukan penelitian pesanan yang dibuat ”asal bapak senang”. Tanggung
jawab Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi adalah memastikan
bahwa para ilmuwan dapat berkembang dan berkontribusi seluasnya untuk masa
depan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar