Pertarungan
Kepentingan di Laut
Koesworo Setiawan ; Peneliti Reading Indonesia Project
(Ripro) Universitas Paramadina
|
KOMPAS,
22 November 2014
DALAM
pidato pelantikannya, Presiden Joko Widodo berjanji menempatkan samudra,
laut, selat, dan teluk sebagai beranda depan. Presiden mengusung jargon ”tol
laut” untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan transportasi,
selain mendorong konektivitas antarwilayah. Sebagai bukti keseriusannya,
Presiden menempatkan seorang Menteri Koordinator Kemaritiman yang khusus
mengurus sektor kelautan.
Pilihan
menempatkan laut sebagai peradaban Indonesia mendatang sangat masuk akal.
Salah satu alasannya, kekayaan laut kita luar biasa melimpah. Pakar kelautan
Rokhmin Dahuri mencatat, Indonesia memiliki 11 sektor ekonomi kelautan dengan
nilai total diperkirakan 1,2 triliun dollar AS, sedikit lebih besar daripada
produk domestik bruto. Laut juga sanggup menyediakan lapangan kerja bagi 40 juta
orang (Dahuri, 2014).
Namun,
butuh cucuran keringat agar kekayaan itu benar-benar membawa kemakmuran bagi
rakyat. Presiden dan para pembantunya harus sanggup mengatasi permasalahan
laut yang teramat pelik dan multidimensional. Dari aspek penegakan hukum,
keamanan, dan keselamatan pelayaran, laut kita menjadi arena berlangsungnya
berbagai jenis tindak kejahatan, di antaranya perompakan, pencurian ikan,
pengapalan kayu dan bahan tambang ilegal. Laut juga menjadi jalur
penyelundupan bahan kebutuhan pokok, senjata, narkoba, human trafficking,
people smuggling, dan jalur lintas teroris. Kecelakaan pelayaran juga masih
jadi momok. Merujuk data Komite Nasional Keselamatan Transportasi 2007-2012,
rata-rata kecelakaan kapal setiap tahun mencapai lima kejadian. Total korban
tewas selama lima tahun terakhir sebanyak 671 jiwa atau lebih dari 55 jiwa
per tahun.
Kondisi
ini bukan karena laut kita tak bertuan. Setidaknya 15 instansi pemerintah
memiliki kewenangan mengurus laut, tujuh di antaranya memiliki satuan tugas
patroli. Tak kurang pula 23 regulasi
yang mengatur laut. Kenyataannya, benang kusut di sektor maritim tetap sulit
diurai.
Aparat
kedodoran menjaga 5,8 juta kilometer persegi luas laut kita. Dalam derajat
tertentu, keberadaan instansi maritim justru menjadi bagian dari masalah.
Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia (INSA) mengaku, sebuah kapal bisa
diperiksa beberapa kali oleh aparat dari instansi berbeda. Dengan dalih memeriksa muatan dan dokumen kapal, ujung-ujungnya
mereka minta uang.
Penyebab
paling mendasar dari berbagai masalah di atas adalah kuatnya kepentingan
sektoral setiap instansi. Tak jarang kuatnya kepentingan sektoral itu
mereduksi kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan bangsa.
Ambil
contoh, untuk menangani pencurian ikan, ada tiga instansi yang memiliki
kewenangan, yakni TNI Angkatan Laut, Polisi Perairan, serta Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Untuk mengatasi masalah, solusi yang kerap dipilih
biasanya dengan menambah kapal patroli sehingga tak terhindarkan ada jorjoran
pengadaan kapal patroli di antara mereka. Di lapangan, mereka menentukan
sendiri wilayah laut yang menjadi target operasi. Koordinasi dan sinergi
menjadi barang mewah.
Di lain
pihak, tidak jarang terjadi dua instansi atau lebih menangani tindak pidana
di laut, di waktu dan zona yang sama. Kasus-kasus benturan kepentingan
antarinstansi keamanan di laut kerap terjadi. Hal ini diperburuk oleh tata
regulasi sektor maritim yang menciptakan overlapping dan ego sektoral. Regulasi membentuk cara berpikir dan bersikap
eksklusif.
Semua
merasa menjadi raja. Permintaan peminjaman kapal untuk operasi bersama kerap
dijawab: ”Kapal tidak ada, dipakai untuk operasi sendiri.” Tingginya ego sektoral membuat oknum aparat
nakal leluasa mengeruk keuntungan pribadi—termasuk dengan pungutan
liar—karena mereka mengawasi diri sendiri.
Inilah pekerjaan rumah besar salah satu sektor maritim yang harus
diselesaikan apabila pemerintah serius menjadikan laut sebagai pilar
peradaban. Agenda krusialnya adalah menata ulang atau jika perlu memangkas
kewenangan ”para raja” yang menguasai laut di atas sehingga ego sektoral
tereduksi. Pemerintah harus siap dan berani menghadapi resistensi.
Pembentukan sea and coast guard,
sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
mendesak untuk segera diwujudkan. Dengan begitu, sinergitas kinerja instansi
maritim bisa tercipta di bawah struktur komando yang jelas. Jalesveva
jayamahe. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar