Pemuda,
Bersumpah Lestarikan Bahasa Daerah
Fanny Henry Tondo ; Peneliti
pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (PMB-LIPI) Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 01 November 2014
Baru-baru ini kita memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 28
Oktober. Marilah kita berefleksi dalam perspektif kekinian. Sumpah Pemuda
yang diikrarkan para pemuda 86 tahun silam memang perlu didengung-dengungkan
terus dalam rangka persatuan bangsa. Namun, kalau dahulu mereka berikrar
“menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia” maka tampaknya di era
kekinian apalagi dengan adanya pengaruh globalisasi, jangan sampai melupakan
pula bahasa etnik atau bahasa daerah.
Bahasa-bahasa daerah yang merupakan identitas para pemuda dewasa
ini sudah semakin tergerus. Bahkan, puluhan bahasa diperkirakan mengalami
kepunahan.
Tampaknya dalam konteks perkembangan zaman sekarang akibat
pengaruh globalisasi yang makin kencang perlu dipertanyakan eksistensi bahasa
daerah di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 700 bahasa (Lewis 2014).
Di satu sisi, bahasa Indonesia sudah semakin maju dan mendapat
perhatian baik di tingkat domestik maupun regional dan bahkan global.
Sayangnya, di sisi lain bahasa-bahasa daerah yang merupakan jati
diri para pemuda dan pemerkaya khazanah bahasa Indonesia itu sudah semakin
ditinggalkan generasi muda di berbagai pelosok Tanah Air. Tampaknya para
pemuda perlu bersumpah lagi, tidak saja menjunjung tinggi bahasa persatuan,
tetapi juga bersumpah untuk mulai melestarikan bahasa daerah secara lebih
serius!
Realitas Kekinian
Pada zaman prakemerdekaan, saat para pemuda mengikrarkan Sumpah
Pemuda, kebutuhan akan bahasa persatuan sangat diperlukan, terutama dalam
mencapai kemerdekaan.
Itulah sebabnya bahasa Indonesia dijadikan perekat para pemuda
yang berasal dari berbagai latar belakang kebahasaan yang berbeda-beda. Ada
yang dari Jawa, Sumatera, Ambon, dan sebagainya.
Di era kekinian, bahasa Indonesia sudah semakin maju. Bahkan,
dalam struktur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdapat Badan Bahasa
yang memiliki jaringan luas di seluruh provinsi dengan balai-balai bahasa dan
kantor-kantor bahasa yang tugas pokoknya mengembangkan bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan bahasa daerah? Memang, terdapat kajian-kajian
terhadap bahasa-bahasa daerah tersebut, tetapi tidak semuanya dapat
tersentuh. Itu karena kendala dana dan luasnya cakupan geografis para penutur
bahasa-bahasa daerah tersebut, apalagi di kawasan timur Indonesia yang sangat
sulit dijangkau lantaran medannya yang berat.
Ada kecenderungan kuat bahwa sebagian bahasa-bahasa daerah di
Nusantara berada dalam proses kepunahan, baik bahasa-bahasa yang berumpun
Austronesia maupun non-Austronesia. Kondisi tersebut sangat dirasakan
terutama di kawasan timur negara kita yang sebagian besar, termasuk rumpun
non-Austronesia dengan jumlah penutur bahasa yang minim.
Minimnya jumlah penutur tersebut merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan bahasa-bahasa berada di ambang kepunahan. Faktor lain yakni
adanya migrasi penduduk antardaerah dengan berbagai orientasi seperti untuk
memperbaiki kondisi ekonomi, pendidikan, atau ada juga karena kawin campur.
Kondisi-kondisi ini menyebabkan kontak antarbahasa tak
terhindarkan. Dalam fenomena kontak bahasa ini, pada umumnya masyarakat
termasuk generasi muda lebih cenderung menggunakan bahasa pergaulan
antaretnik. Bahasa pergaulan atau disebut juga lingua franca biasanya bahasa
Melayu lokal.
Di kawasan timur Indonesia pada umumnya masyarakat lebih memilih
menggunakan bahasa Melayu setempat dalam komunikasi sehari-hari. Di Papua,
misalnya, ada Melayu Papua, di Maluku ada Melayu Ambon dan Melayu Ternate, di
Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah ada Melayu Manado, di Nusa Tenggara Timur
ada Melayu Kupang, dan lain sebagainya. Bahasa-bahasa Melayu lokal tersebut
menjadi bahasa pergaulan dalam komunikasi masyarakat yang beragam latar belakang
bahasa dan budayanya.
Pergeseran Bahasa
Fenomena kontak bahasa telah menyebabkan masyarakat menjadi
penutur bilingual atau bahkan multilingual. Artinya, menguasai dua atau
lebih. Kondisi tersebut dapat menyebabkan pergeseran bahasa (language shift)
apabila para penutur berpindah ke bahasa-bahasa Melayu lokal. Pergeseran ini
banyak terjadi dalam realitas empiris.
Pergeseran tersebut terjadi karena ranah-ranah pemakaian bahasa,
seperti keluarga dan ketetanggaan tidak lagi didominasi bahasa daerah, tetapi
didominasi bahasa Melayu lokal. Sebagai contoh yang terjadi di wilayah Maluku
Utara. Umumnya, dalam kedua ranah tersebut digunakan bahasa Melayu Ternate.
Sementara itu, di ranah pendidikan biasanya digunakan bahasa Indonesia.
Sungguh sangat disayangkan apabila terjadi pergeseran bahasa
dalam masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kemajemukannya, terutama
dalam aspek kebahasaan.
Pergesaran bahasa yang terjadi akibat perpindahan berbagai
penutur bahasa daerah ke bahasa Melayu lokal sangat berkontribusi terhadap
percepatan kepunahan bahasa-bahasa daerah.
Padahal, bahasa-bahasa daerah menyimpan banyak pengetahuan lokal
(local knowledge) yang mengandung
nilai-nilai yang berguna bagi pemecahan masalah bangsa. Misalnya, persoalan
kebencanaan (disaster) tentunya
memerlukan cara pemecahan yang dapat melibatkan berbagai perspektif.
Salah satu di antaranya dapat didekati melalui aspek budaya
terkait pengetahuan lokal yang ada dalam sebuah masyarakat. Artinya,
bagaimana pengetahuan lokal tersebut digunakan khususnya terkait pencegahan
dan manajemen bencana. Hanya melalui bahasa kita dapat mengetahui nilai-nilai
yang terkandung dalam sebuah kebudayaan etnik.
Hal lain yang menjadi signifikansi keberpihakan terhadap bahasa
daerah karena tiap bahasa memiliki hak untuk hidup (linguistic right) dan UNESCO telah menetapkan bahasa sebagai
warisan (heritage) yang harus
dijaga. Oleh karena itu, marilah kita melestarikan bahasa daerah kita sebagai
jati diri bangsa, terutama para generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet
pembangunan ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar