Pemilu
Sela dan Akhir Rezim Obama
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
|
JAWA
POS, 07 November 2014
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Barack Obama bisa dipastikan akan
kehilangan kontrol atas kongres setelah Partai Republik berhasil memenangi
pemilu sela. Meski pemerintahan Obama baru berakhir pada 2016, tanda-tanda
akhir kekuasaannya sudah tampak. Misalnya, paket-paket kebijakannya cenderung
ditolak dan dijegal kongres AS.
Seorang pengamat politik, Godfrey Grima, dalam The Observer
pernah mengemukakan, AS terkesan mengalami pergantian rezim tiap dua kali
kepemimpinan politik. Seperti kita ketahui, Obama adalah representasi Partai
Demokrat AS yang sudah dua periode memimpin pemerintahan. Sebelumnya, George
W. Bush yang merepresentasikan Partai Republik juga memerintah dua periode.
Siklus itu, menurut pengamat, akan kembali berputar. Yakni,
setelah Partai Demokrat menguasai dua periode, periode berikutnya sangat
mungkin dikuasai Partai Republik. Artinya, presiden AS pasca-Obama cenderung
dimenangi representasi Partai Republik.
Beda presiden, beda pula kebijakan nanti. Kecenderungan
kepemimpinan di AS, representasi Partai Demokrat cenderung menerapkan
antiperang. Sebaliknya, representasi Partai Republik cenderung menerapkan
politik ofensif atau kebijakan perang. Misalnya, yang sering terjadi di
kawasan Teluk atau perang melawan terorisme.
Jalan perang AS seakan mengamini arsitek demokrasi AS
berkebangsaan Prancis, Alexis de Tocqueville, yang pernah berkata, ’’There are two things which a democratic
people will always find very difficult –to begin a war and to end it’’ (Democracy in America, 1831). Bahwa
memang negara-negara ’’demokratis’’ sekalipun sangat menyukai peperangan dan
jika sudah perang sulit untuk mengakhirinya.
Pada 2001, misalnya, ketika Bush berkuasa, pascaperistiwa 11
September, AS memulai perang melawan terorisme. Afghanistan menjadi daerah
pertama gempuran AS. Selain itu, ketika AS diperintah penguasa Partai
Republik, pada 2003, Bush menggempur Iraq. Semua jalan perang AS lumrahnya
ditujukan untuk mencari sumber-sumber minyak mentah.
Misalnya, pernah suatu ketika headline harian terkemuka The New
York Times menyebutkan, satu tim dari AS yang terdiri atas pakar geologi dan
pejabat Pentagon menemukan sumber mineral yang sangat besar di Afghanistan.
Antara lain, sumber tembaga, litium, besi, dan emas. Nilai cadangan mineral
yang belum tersentuh itu diperkirakan mencapai USD 1 miliar atau lebih dari
Rp 9 triliun.
AS kemudian ’’menjaga’’ wilayah Afghanistan pasca kekuasaan
Taliban diambil alih. Selama ini, alasan utama campur tangan militer AS
adalah soal keamanan nasional Afghanistan. Selama ini, dalih AS ’’menjaga’’
Afghanistan adalah soal jaringan terorisme Al Qaeda yang bersarang di
perbukitan antara Afghanistan-Pakistan.
Lewat argumentasi itu, militer AS melenggang dengan damai
memasuki daerah-daerah perbatasan di dua wilayah tersebut. AS, tampaknya,
menggunakan ’’politik terorisme’’ untuk membangun jaringan bisnis baru, jika
tidak mau dikatakan sebagai senjata ’’kolonialisme baru’’ untuk memasuki
sebuah wilayah negara-bangsa.
Di satu sisi, terorisme memang menjadi sebuah ’’fakta’’ lewat,
misalnya, tragedi 11/9 atau lainnya, meski sejumlah analis menyangsikannya.
Dalam pandangan awam, isu terorisme telah dinyatakan final. Menurut sebagian
besar masyarakat Barat, misalnya, akibat serangan 11/9 telah mendominasi
politik AS selama sembilan tahun terakhir. Karena itu, ketika Bush menawarkan
kebijakan antiteror, kebijakan itu dianggap sebagai kebijakan strategis yang
tidak boleh tidak harus diterima semua lapisan masyarakat dunia.
Jika mau melihatnya secara kritis, terorisme sebenarnya melebihi
sekadar fakta. Dalam arti, ada politik terorisme yang memiliki agenda lebih
jauh dan luas. Di antaranya, persoalan ekonomi. Dalam bahasa Noam Chomsky
yang tulisannya tentang terorisme dipublikasikan sejak 1991, telah
diidentifikasi bahwa dalam terorisme ada istilah reality and image. Terorisme
memiliki standar ganda. Di satu sisi merupakan fakta dan sisi lain memiliki
agenda terselubung.
Chomsky telah mengatakannya jauh hari sebelum isu terorisme
dikaitkan dengan Islam dan dunia Islam muncul pada 2001: ’’There are two ways to approach the study of terrorism. One may
adopt a literal approach, taking the topic seriously, or a propagandistic
approach, construing the concept of terrorism as a weapon to be exploited in
the service of some system of power’’ (Harus ada dua jalan untuk mendekati isu terorisme. Pertama secara
literal atau sebagaimana fakta yang terjadi. Kedua harus dengan pendekatan
propaganda karena di situ terorisme hanya dijadikan sebagai alat untuk
melayani ambisi-ambisi dan sistem kekuasaan) (Noam Chomsky, International Terrorism: Image and Reality, Routledge
1991).
Jelaslah, penemuan sumber mineral baru di Afghanistan, misalnya,
menguatkan bahwa politik terorisme tengah berlangsung dan dimainkan AS di
Afghanistan dan mungkin juga di negara-negara lain. Sebab, isu terorisme bagi
AS sebenarnya isu usang yang sengaja dimainkan lagi dalam rangka memenuhi
ambisi politik-ekonominya di negara-negara berbasis Islam.
Pada dekade 80-an, sebenarnya AS juga memainkan politik
terorisme itu di sejumlah negara Amerika Latin seperti Nikaragua, Kuba, dan
Meksiko. Hanya, bentuk subjeknya berbeda. Jika di Amerika Latin subjek
terorisme dikaitkan dengan isu-isu kriminalitas dan pemberontakan, subjek
terorisme di negara-negara berbasis Islam dikaitkan dengan isu-isu militansi
keagamaan dan fundamentalisme Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar