Pemberontakan
Bre Redana ; Penulis kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
23 November 2014
Bagaimana
agama dari waktu ke waktu dijadikan komoditas politik sudah banyak orang melihat
dan memendam jengkel. Hanya saja, jangan-jangan pada diri agama sebenarnya
memang melekat unsur keresahan? Sebagaimana hati sebagai unsur badan, dari
sananya pada diri agama melekat sifat tenang, damai, cinta, rindu, resah,
marah, dan seterusnya?
Simaklah,
terhadap informasi apa saja entah itu mengenai kekerasan, percabulan,
penyelewengan, korupsi, yang akan ikut resah dipastikan agama. Dosis agamanya
dianggap kurang. Keresahan semacam itu, dilihat dari perspektif politik tubuh
adalah semata-mata gejala tubuh yang kehilangan keseimbangan. Tanggapan
terhadap suatu hal menjadi ngaco.
Minggu
lalu, di Magelang, Jawa Tengah, dilangsungkan Borobudur Writers and Cultural
Festival (BWCF). Tema: Ratu Adil, Kuasa, dan Pemberontakan. Penyelenggara,
melalui Mbak Yoke Darmawan yang manis itu, meminta Guru Besar Persatuan Gerak
Badan Bangau Putih, Gunawan Rahardja, menjadi salah satu nara sumber.
Gunawan
mewakilkan kehadirannya kepada sejumlah murid. Mengikuti tema yang ditetapkan
penyelenggara, dia meminta murid-murid yang disuruhnya hadir di acara itu
untuk menjabarkan secara konkret tema tadi dalam respons tubuh.
Ratu
Adil, dalam pengertiannya adalah tubuh. Manusia lahir ditandai dengan
keberadaan tubuhnya, yang tidak disadari keberadaannya. Ada tapi tiada. Sangkan
paran. Eksistensi mengenai diri baru muncul tatkala ada kesadaran, pikiran,
atau dalam contoh paling sederhana, ketika si bayi diberi nama oleh orangtua.
Oh ini aku: Adi Wicaksono, Tanto, Luna Maya, atau apa pun nama yang Anda
pakai untuk bereksistensi.
Hubungan
antara Ratu Adil dan kuasa atau kekuasaan terletak di sini. Ratu Adil berubah
menjadi sesuatu yang imanen, empirik, kadang sulit dikendalikan. Kecerdasan
tubuh, termasuk manifestasi kepasrahannya, timbul tenggelam dikarenakan
adanya kuasa pikiran, yang pada dirinya melekat niat, hasrat, nafsu, ego.
Begitu
tubuh dikuasai nafsu, tubuh sebagai Ratu Adil mengalami distraksi. Jantung
berdebar-debar, atau tubuh gemetaran karena kondisi di luar, taruhlah ada
cewek cantik melintas. Disejajarkan dengan tema Ratu Adil, Kuasa, dan
Pemberontakan tadi, itulah pemberontakan. Pemberontakan terjadi pada tubuh.
Harmoni di dalam tubuh sebagai jagat kecil manusia guncang. Muncul kecemasan,
keraguan, ketakutan.
Dipraktikkan
dalam olah gerak bersama-sama para peserta BWCF di Magelang, terlihat, orang
yang sehari-hari berkutat dengan dunia pemikiran amat sulit melaksanakan
perintah untuk melakukan gerak yang sederhana sekalipun. Tubuh selalu
melakukan resistensi, atau pemberontakan. Disuruh ke kanan malah ke kiri,
disuruh melangkah malah meloncat, dan seterusnya.
Oleh
karenanya, kalau harus menyebut apa pemberontakan paling radikal abad ke-20,
jawabnya tak lain counter culture
kalangan muda pada era 1960-an. Mereka menafikan kebudayaan yang dianggap
membelenggu, dengan mencoba mengumbar tubuh sebebas-bebasnya. Lelaki mulai
memanjangkan rambut. Cewek tidak mengenakan bra. Pikiran dan halusinasi juga
coba mereka merdekakan. Caranya dengan ganja dan mariyuana. Oh Grateful Dead...
Syukur
era yang runyam-runyam manis itu segera berlalu. Harmoni tubuh tak bisa
dicapai dengan zat-zat adiktif. Banyak di antara kaum hippies kemudian
berubah menjadi yogis, spiritualis, ahli olah tubuh, dan semacamnya.
Era
sekarang ini, ada yang menengarai sebagai abad aquarius: the age of aquarius. Oleh para ahlinya, abad aquarius ditandai
dengan suburnya gerakan spiritualitas. Ingat, bedakan antara spiritualitas
dengan agama. Dalam hal ini, agama kelihatannya bahkan menjadi yang paling
resah. Ia memanifestasi dalam gerakan-gerakan ekstrem, radikal, kadang juga
tampak bodoh.
Di tengah perubahan besar yang dibawa teknologi komunikasi, pada abad
aquarius orang ditantang untuk menentukan pilihannya sendiri. Mau tiap hari teriak-teriak di jalan,
monggo. Mau cari damai dan harmoni, mari.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar