Pangan
dan Regenerasi Petani
Ngadi ; Peneliti Ketenagakerjaan pada Pusat Penelitian
Kependudukan LIPI, Jakarta
|
KOMPAS,
27 November 2014
SALAH
satu target Presiden Joko Widodo dalam sektor pertanian adalah swasembada
pangan dicapai dalam tiga tahun ini. Target yang sangat bagus sebab betapa
penting swasembada pangan bagi Indonesia. Akan tetapi, pemerintah perlu
merobohkan berbagai kendala. Salah satu kendala itu: regenerasi petani di
Indonesia.
Minimnya
regenerasi petani akan berdampak pada produktivitas lahan dan berujung pada
kesulitan mencapai swasembada pangan. Jangankan swasembada, ketergantungan
pada impor bahan pangan bisa lebih besar jika tidak ada regenerasi petani
yang berkesinambungan.
Problem regenerasi
Regenerasi
petani sudah perlu mendapat perhatian sebab jumlah petani terus turun dalam
10 tahun terakhir. Data statistik menunjukkan dalam kurun 2003- 2013 terjadi
penurunan jumlah rumah tangga petani sekitar 5,10 juta (16 persen). Rumah tangga petani di
Indonesia pada 2003 berjumlah 31,23 juta dan menurun menjadi 26,14 juta pada
2013. Jumlah rumah tangga petani menurun lantaran yang keluar dari sektor
pertanian, meninggal, dan berpindah kerja ke sektor lain lebih besar
dibandingkan dengan tenaga kerja baru yang menjadi petani.
Tiga
provinsi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap penurunan rumah tangga
petani adalah Jawa Tengah (1,31 juta), Jawa Timur (1,14 juta), dan Jawa Barat
(1,12 juta). Pesatnya urbanisasi di ketiga provinsi itu diduga sebagai
penyebab utama penurunan jumlah rumah tangga petani. Urbanisasi berakibat
pada beralihnya sebagian lahan pertanian menjadi daerah permukiman dan
fasilitas umum. Angkatan kerja baru juga lebih memilih bekerja di sektor
nir-pertanian karena merasa lebih menjanjikan dari sisi upah dan kelayakan
kerja.
Masalah
regenerasi petani semakin kentara jika dilihat dari penurunan jumlah tenaga
kerja muda di pertanian. Jumlah petani usia muda (15-24 tahun) mengalami
penurunan lebih besar dibandingkan dengan jumlah petani usia tua. Jumlah
petani usia muda pada 2004 sebesar 5,95 juta menurun menjadi 5,02 juta pada
tahun 2012 (BPS, 2005 dan 2013). Angkatan kerja muda tidak lagi berminat
bekerja sebagai petani dan memilih bekerja di sektor lain yang dianggap lebih
menjanjikan secara ekonomi. Suatu keputusan logis karena pertanian memang
tidak memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi pekerja.
Penurunan
jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia berkon- sekuensi positif dan
negatif bagi pertanian. Konsekuensi positifnya: peningkatan luas lahan dan
penurunan jumlah petani gurem. Hasil sensus pertanian menunjukkan rerata luas
lahan petani meningkat cukup signifikan. Rerata luas lahan pertanian pada
2003 sebesar 0,35 ha menjadi 0,86 ha pada 2013. Jumlah petani gurem menurun
dari 19,02 juta pada 2003 menjadi 14,25 juta pada 2013. Keadaan ini
memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatan.
Konsekuensi
negatifnya: ketahanan pangan terganggu di Indonesia. Meskipun secara kuantitas
jumlah tenaga kerja di pertanian masih relatif besar, produktivitas lahan
akan menurun. Pertama, sebagian besar petani di perdesaan umumnya sudah
berumur tua. Meskipun jumlah mereka besar, produktivitas mereka sudah
menurun. Kegiatan pertanian tidak bisa maju karena tidak bisa mengikuti
perkembangan teknologi pertanian.
Kedua,
keturunan petani yang memilih bekerja di luar sektor pertanian umumnya adalah
keturunan petani yang berhasil. Keberhasilan mereka ditunjukkan dengan
kemampuan menyekolahkan anak sampai jenjang pendidikan tinggi. Dengan
pendidikan tinggi itu, anak-anak petani tidak mau lagi bertani dan memilih
bekerja di sektor lain.
Alternatif terakhir
Yang
tetap menjadi petani akhirnya hanya mereka yang berpendidikan rendah dan
kalah bersaing mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian. Pertanian
dijadikan sebagai alternatif terakhir setelah seseorang tidak bisa mendapat
pekerjaan di luar sektor pertanian. Kebijakan pemerintah yang kurang
mendukung kemajuan di sektor pertanian
menjadi penyebab utama mereka tidak lagi mau bekerja di sektor pertanian.
Keengganan ini pun didukung orangtua yang sebagian besar bercita-cita anak
mereka tak bekerja di sektor pertanian.
Ketiga,
kegiatan pertanian bagi sebagian besar petani dianggap sebagai pekerjaan sampingan
meski mereka mengaku bekerja sebagai petani. Alokasi waktu kerja sebagian
besar digunakan untuk kegiatan nir-pertanian. Pada waktu panen, petani ini
akan menggarap pekerjaan di pertanian. Namun, pada waktu tertentu mereka
memilih bekerja sebagai tukang bangunan, pedagang asongan, atau buruh harian
di perkotaan. Pekerjaan yang tak fokus ini menjadi penyebab kurang terurusnya
lahan pertanian sehingga memiliki produktivitas rendah.
Masalah
regenerasi dapat menjadi hambatan utama untuk implementasi program swasembada
pangan di Indonesia. Masalah ini berpangkal pada tidak kompetitifnya upah dan
pendapatan di sektor pertanian. Upah tenaga kerja di perdesaan tak ada
setengahnya dibandingkan dengan upah tenaga kerja nir-pertanian di daerah
perkotaan.
Petani
juga berhadapan dengan impor produk pertanian yang berharga lebih rendah. Tak
ada perlindungan memadai terhadap kehidupan petani agar dapat bersaing dan
menangkal membanjirnya produk pertanian dari luar. Petani seperti dibiarkan
berjalan sendiri, bahkan subsidi bagi petani kian berkurang.
Oleh sebab itu, kebijakan yang mendukung peningkatan kelayakan hidup bagi petani mutlak
diberikan agar pertanian tetap menjadi
pekerjaan menarik, khususnya bagi generasi muda. Perlindungan terhadap petani
dari produk impor, permainan harga tengkulak, ketertinggalan teknologi juga
perlu dilakukan. Tanpa regenerasi yang baik, program swasembada pangan
canangan Presiden hanya akan jadi wacana yang tak pernah terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar