Pajak
Perusahaan Tambang
Ferdy Hasiman ; Peneliti Indonesia Today
|
KOMPAS,
20 November 2014
PEMERINTAHAN
Joko Widodo-Jusuf Kalla bertekad menaikkan penerimaan negara dari pajak untuk
pendanaan infrastruktur publik. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak
berjanji akan menaikkan rasio pajak dari 12 persen menjadi 16 persen.
Namun,
pada kesempatan berbeda, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Busyro Muqoddas (10/11/2014) menegaskan, KPK akan mengambil alih investigasi
berbagai kasus manipulasi pajak yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar
dan menindak tegas perusahaan yang abai membayar pajak. Dalam tulisan ini,
saya ingin mengulas perusahaan tambang yang abai membayar pajak.
Yang
tidak tertib membayar pajak di republik ini bukan rakyat kecil, melainkan
korporasi besar. Ambilan contoh, tunggakan pajak perusahaan tambang Bakrie
Group. Tahun 2009, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak di bawah kepemimpinan
mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap BUMI Resources, Kaltim Prima
Coal (KPC), dan Arutmin terindikasi penghindaran pajak senilai Rp 2,176
triliun. Menurut laporan Ditjen Pajak, tunggakan pajak paling besar adalah
KPC senilai Rp 1,5 triliun, sementara Bumi Resources Rp 376 miliar dan
Arutmin
Rp 300
miliar.
Utang
pajak perusahaan itu belum dibayar. Itu bisa dicermati dari dokumen surat
ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) dan surat paksa penagihan pajak dari
Ditjen Pajak. BUMI Resources, misalnya, pada 15 Februari 2014 menerima SKPKB
terkait pendapatan pajak merujuk artikel 23 dan artikel 26, untuk tunggakan
pajak tahun fiskal 2006 senilai Rp 33 miliar. Sementara Arutmin (Desember
2010-Mei 2011) masih menunggak 33 juta dollar AS dan KPC (Januari-Oktober
2012) masih menunggak 165,6 juta dollar AS.
Masih
banyak korporasi yang memanipulasi pajak dan tak tersentuh aparat penegak
hukum. Korporasi-korporasi itu ratusan jumlahnya, sudah disebut Gayus HP
Tambunan di pengadilan. Banyak lagi perusahaan swasta dan asing yang disebut
Gayus belum tersentuh aparat penegak hukum. Belum lagi jika menghitung
manipulasi pajak ribuan korporasi global-lokal di daerah yang mendapat izin
konsensi dari bupati/wali kota.
KPK
(2014) menemukan, dari 12.000 perusahaan tambang di daerah, ada 4.000
perusahaan yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Direktorat
Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) bekerja sama dengan KPK memang
sedang gencar melakukan verifikasi izin usaha pertambangan (IUP) agar ada
penambahan penerimaan pajak. IUP yang jumlahnya mencapai angka puluhan ribu
di daerah tak membayar pajak. Apalagi, kebanyakan IUP di daerah adalah
perusahaan privat yang sulit dilacak neraca keuangannya.
Lantas,
bagaimana publik mengakses informasi ke perusahaan-perusahaan itu? Berapa
kapasitas produksi, berapa penjualan perusahaan setiap tahun, sehingga bisa
mengetahui secara pasti berapa yang masuk ke kas negara? Mereka dibebaskan
dari pembayaran pajak ke negara.
Padahal,
ribuan korporasi itu sudah menjarah kekayaan alam republik ini. Cadangan
terbukti nikel tersisa 1,028 miliar ton, tembaga 3,044 miliar ton, bijih besi
173.810 juta ton, dan bauksit 302.316 juta ton (Badan Geologi, 2012). Sungguh
ironis, negara kaya sumber daya alam (SDA), tetapi rakyat tak sejahtera. Buktinya,
pendapatan per kapita kita hanya 3.452 dollar AS tahun 2011. Padahal,
negara-negara yang tak punya cadangan SDA, rakyatnya sejahtera. Pendapatan
per kapita Singapura, misalnya, 48.595 dollar AS minus impor, Malaysia 9.659
dollar AS, dan Thailand 5.046 dollar AS. Padahal, ekspor-ekspor pertambangan
kita begitu tinggi. Tahun 2012, ekspor nikel dari pemegang IUP sebesar 41
juta ton, pasir besi 10,5 juta ton, tembaga 8.000 ton, dan bauksit 30 juta
ton. Lantas, mengapa lonjakan ekspor sebesar itu tak memberi kontribusi
berarti bagi penerimaan negara.
Manuver akuntansi
Amanat
Pasal 23 (A) UUD 1945 mengatakan, pajak dan pungutan lain bersifat memaksa.
Mereka sudah mengakumulasi modal dari kekayaan rakyat dan pada gilirannya
harus membayar pajak untuk membiayai infrastruktur publik, asuransi
kesejahteraan, dan subsidi bagi rakyat miskin. Amanat konstitusi bisa
ditegakkan jika aparat negara tertib menagih pajak.
Persoalannya,
korporasi-korporasi ini memiliki jaringan bisnis amat luas, mampu membayar
pegawai pajak, akuntan publik, bahkan para elite politik. Sistem pajak kita
memang terhitung canggih. Demokratisasi keuangan, seperti tuntutan
transparansi dan akuntabilitas perusahaan, sudah diterapkan. Standar
akuntansi perusahaan sudah bagus. Pajak perusahaan asing sudah ada aturan tax
treaty. Paradigma perpajakan self-assessment adalah terbaik. Namun, sistem
canggih itu menjadi ringkih karena petugas pajak bersekutu dengan korporasi
yang ingin lolos dari pembayaran pajak.
Korporasi
kerap bekerja sama dengan akuntan publik dan konsultan pajak untuk melakukan
manuver akuntansi. Di tengah pengejaran keuntungan, mereka memiliki andil
besar menutup akses informasi dengan cara manipulasi akuntansi agar mendapat
keringanan beban pajak. Itulah yang menyebabkan data dan informasi penting
terkait mafia pajak menjadi sulit diakses.
Kesulitan
mengakses data dan informasi, disebut ekonom J Stiglitz (2002), sebagai
asimetris informasi. Asimetris informasi adalah informasi yang tidak sejajar
diterima publik atau pihak yang menangani kasus. Asimetris informasi
menyebabkan informasi yang kita terima hanya potongan-potongan fakta yang
tidak dapat dijadikan rujukan melangkah ke proses hukum selanjutnya. Dalam
proses hukum, tidak bisa hanya bersandar pada kepingan-kepingan data yang
tingkat probabilitas kebenarannya masih diragukan.
Persoalannya,
banyak wajib pajak (WP) korporasi adalah donatur partai politik. Pemilik
perusahaan-perusahaan itu telah berinvestasi melalui jalur politik untuk
kepentingan bisnis. Tidak hanya itu, WP yang lalai membayar pajak adalah anak
usaha perusahaan yang pemiliknya terkait partai politik. Hal itulah yang
menyebabkan partai politik gagal menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja
eksekutif.
Menurut
J Stiglitz, tidak ada asimetris informasi tanpa ada asimetris kekuasaan.
Kekuasaan itulah yang mengontrol arus informasi sehingga ada pihak yang
diuntungkan dan dirugikan. Pihak yang diuntungkan adalah WP yang telah
mengais banyak keuntungan bisnis. Sementara yang dirugikan adalah seluruh
rakyat karena penerimaan negara dari pajak berkurang. Pertanyaannya, mengapa
pemerintah tidak berpihak kepada rakyat sebagai pemberi mandat kedaulatan?
Tanpa
berpihak pada kepentingan WP, kekuasaan tidak dapat berjalan. Di tengah
politik uang, elite-elite kekuasaan dan elite-elite bisnis tak bisa
dipisahkan satu sama lain. Pebisnis memiliki kepentingan mengakumulasi modal,
sementara elite-elite kekuasaan berkepentingan melanggengkan kekuasaan.
Perselingkuhan pebisnis-penguasa inilah yang jadi musuh permanen sepanjang sejarah
republik ini. Demokrasi yang sejatinya bertujuan memajukan kesejahteraan umum
jadi tempat bersembunyi para mafia. Akibatnya, transparansi dan akuntabilitas
dalam demokrasi macet. Kemacetan ini mempersulit jalan menuju tata
pemerintahan baik.
Akibatnya,
pajak tidak bisa diandalkan untuk keperluan pembangunan dan negara harus
berutang. Utang akan jadi berkah jika pemerintah memanfaatkannya untuk
membangun investasi. Namun, ia menjadi celaka jika utang tak dikelola dengan
baik karena negara bisa bangkrut. Korupsi anggaran oleh DPR dan pemerintah
hanya untuk kepentingan politik adalah lonceng maut menuju kebangkrutan
negara. Bangkrut karena pemerintah hanya menyisihkan sedikit porsi belanja
modal—infrastruktur dan investasi—sehingga utang lebih besar daripada
pendapatan.
Reformasi birokrasi
Tak ada
resep lebih jitu selain meningkatkan reformasi birokrasi dan transparansi
badan publik untuk meningkatkan penerimaan pajak. Maka, wacana lelang jabatan
direktur jenderal pajak yang digagas pemerintahan JKW-JK perlu didukung agar
petugas pajak tertib menagih pajak perusahaan.
Presiden
mesti memimpin langsung reformasi perpajakan dengan cara memberikan garansi
keamanan politik bagi Kementerian Keuangan untuk menyodorkan data perusahaan
tambang yang tak patuh membayar pajak kepada KPK. Garansi Presiden penting
agar menjadi pegangan politik bagi Kemenkeu untuk membongkar kasus mafia
pajak. Sementara untuk perusahaan-perusahaan publik, Menkeu memerintahkan
Bursa Efek Indonesia agar memeriksa laporan perusahaan terbuka secara teliti,
apakah laporan keuangan perusahaan sesuai kondisi riil atau hanya manipulasi.
Informasi yang disodorkan otoritas pasar modal penting bagi Ditjen Pajak dan
aparat penegak hukum untuk menilai besaran pajak perusahaan.
Perusahaan tambang yang berseliweran di daerah perlu diverifikasi,
tempatkan petugas pajak, bea cukai, aparat kepolisian, dan KPK di setiap
daerah agar mengamankan penerimaan pajak. Jika perlu, pemerintah menggunakan
persyaratan pembayaran pajak untuk mengevaluasi dan merenegosiasi kontrak
karya (Freeport, Newmont, Vale) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara (KPC, Arutmin, Adaro). Perusahaan tambang yang abai membayar pajak
selama beberapa tahun, kontraknya tidak perlu diperpanjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar