Nihilnya
Sikap Melayani
Adli Usuluddin ; Pemerhati Masalah Sosial
|
KORAN
TEMPO, 19 November 2014
Revolusi
mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo seharusnya dimulai dari sikap
bersedia melayani. Sayangnya, justru sikap itu belum terlihat dalam pelayanan
publik di negeri kita.
Pada
awal November lalu, saya mengurus asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Dari tiga anggota keluarga, istri saya ditolak ketika mendaftar.
Kenapa? Menurut petugas, Nomor Induk Kependudukan (NIK) milik istri saya tak
terdaftar dalam database kependudukan.
Usut
punya usut, kesalahan memang terletak pada NIK istri saya. Yang tercatat
dalam database kependudukan adalah NIK baru yang disesuaikan dengan e-KTP.
Sialnya, akibat ketidakakuratan proses input, justru NIK pada KTP elektronik
itu salah.
Kita
tahu, setiap penduduk memiliki satu NIK dan itu melekat seumur hidup. NIK
terdiri atas 16 digit angka. Enam digit pertama merupakan kode wilayah, 6
digit kedua tanggal lahir (dd/mm/yy atau hari/bulan/tahun), sedangkan 4 digit
terakhir adalah nomor urut. Untuk warga negara berjenis kelamin perempuan,
tanggal lahir ditambah bilangan 40.
Istri
saya lahir pada 6 Mei 1955. KTP lama mencatat tanggal lahir istri saya itu
dengan benar. Dengan metode pencatatan dd/mm/yy, pada KTP lama tanggal lahir
istri saya itu dicatat "460555". Maka, NIK istri saya: XXXXXX
460555 XXXX. NIK inilah yang dipakainya selama berpuluh tahun.
Pada
2011, pada saat pembuatan e-KTP, tanggal lahir istri saya yang seharusnya
dituliskan dengan "0605" di-input-kan "0506".
Ketidaktelitian membuat letak digit itu seolah-olah hanya sedikit meleset,
tapi akibatnya sangat besar. NIK pun berubah: XXXXXX 450655 XXXX.
Saya
mencoba melakukan koreksi. Di sebuah kantor kecamatan di Provinsi Banten,
tempat saya tinggal, saya disarankan mendatangi Dinas Kependudukan Kota.
Ternyata, Dinas Kependudukan tidak bisa mengubah NIK dan memberi saran yang
sangat janggal: pakai saja NIK yang telanjur salah itu.
Dinas
Kependudukan pun membuat surat keterangan: istri saya adalah penduduk dengan
"NIK baru tapi salah" itu. Rupanya, "NIK baru tapi salah"
itulah yang tersimpan dalam database kependudukan dan dipakai sebagai acuan
oleh BPJS. Itu sebabnya, "NIK lama tapi benar" istri saya dalam KTP
lama (yang masih berlaku sampai 2017) ditolak BPJS.
Saya tak
percaya proyek e-KTP yang menghabiskan triliunan rupiah itu tak menyediakan
sistem koreksi. Yang tak ada dalam kasus ini: kesediaan melayani.
Ada
cerita lain. Seorang teman mengisahkan uang pensiun ibunya tiba-tiba tak bisa
ditarik. Penyebabnya, teller sebuah bank di Jakarta tidak melakukan input
atas pembayaran pensiun bulan sebelumnya dengan proper. Akibatnya, pembayaran
pada bulan ini terblokir. Singkatnya, setelah berdebat panjang dan makan
waktu, bank bersedia membayar dengan dana cadangan bank. Kesepakatan yang
telat itu menyisakan kekecewaan mendalam.
Personal
attitude pegawai negeri, ujung tombak pelayanan publik, masih jauh dari
harapan. Pejabat dan pegawai negeri selama ini kelihatannya memperlakukan
rakyat sebagai "tangan di bawah". Rakyat harus menerima apa pun
kualitas kerja mereka, tak boleh protes, dan kalau perlu bersedia membayar
jasa itu.
Revolusi mental wajib membalik pola pikir itu: karena rakyat yang
"mempekerjakan", pejabat dan pegawai semestinya bekerja seperti
melayani bos mereka. Perbaikan sistem insentif dan dis-insentif, penilaian
karya yang adil, remunerasi, seharusnya menjadi bagian awal revolusi mental
itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar