Nelayan,
“Drone”, dan Poros Maritim
Imam Syafi’i ; Peneliti
Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
06 November 2014
DENGAN segala
pengalamannya, nelayan Indonesia seharusnya dilihat sebagai salah satu
entitas masyarakat yang paling memahami kondisi laut Indonesia. Kenyataannya,
posisi nelayan masih dianggap sebagai kelompok ekonomi subsistem yang identik
dengan kemiskinan.
Padahal, laut Indonesia
adalah poros maritim dunia: berada di posisi strategis di persimpangan utama
perdagangan laut dunia. Dari 80 persen perdagangan dunia yang melalui laut,
60 persennya—setara dengan 12.000 kapal setiap tahun—melewati laut Indonesia
(Riza, 2014).
Potensi laut Indonesia
mencapai Rp 14.994 triliun meliputi aktivitas perikanan (Rp 3.194 triliun),
wilayah pesisir lestari (Rp 5.600 triliun), tambang (Rp 664 triliun),
industri bioteknologi (Rp 4.000 triliun), pelabuhan (Rp 2.000 triliun), dan
pariwisata (Rp 200 triliun) (Kompas, 6/11/2009).
Sayang, potensi ini belum
digarap optimal. Aspek perikanan, misalnya, hanya menyumbang 3,1 persen atau
Rp 227.761 miliar untuk produk domestik bruto (PDB). Sepanjang 2007-2011,
kenaikan rata-rata nilai produksi perikanan hanya 16,20 persen atau Rp 76,357
triliun pada tahun 2007 menjadi Rp 136,567 triliun pada tahun 2011 (KKP,
2012).
Faktor penghambat
Beberapa faktor penyebab
adalah pembangunan infrastruktur pelabuhan perikanan yang tidak merata dan
kurangnya penggunaan teknologi tepat guna untuk menunjang aktivitas
perikanan.
Hingga saat ini, Indonesia
hanya memiliki 816 pelabuhan perikanan yang meliputi pelabuhan perikanan
samudra, pelabuhan perikanan Nusantara, dan pelabuhan perikanan pantai.
Dari total pelabuhan
perikanan, hanya 564 yang beroperasi penuh dan lebih banyak yang beroperasi
di bagian barat Indonesia (KKP, 2013). Padahal, potensi perikanan di bagian
Indonesia timur jauh lebih melimpah dan belum dikelola maksimal.
Kedua, luasnya wilayah
laut Indonesia merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah. Pengawasan
terhadap segala aktivitas perikanan di laut menjadi sangat penting.
Namun, pengawasan dirasa
kurang karena aktivitas perikanan ilegal (illegal
fishing) sangat tinggi. Dari 27 kapal pengawasan yang dimiliki Indonesia,
10 kapal beroperasi di bagian barat dan 11 lainnya di bagian timur.
Sementara enam lainnya
berukuran kecil, tiga beroperasi di bagian barat, dan sisanya di bagian
timur. Kapal-kapal pengawas ini tidak memiliki kemampuan teknologi memadai
sehingga tidak berdaya menghadapi kapal-kapal asing di perairan Indonesia.
Ketiga, keterlibatan
masyarakat nelayan dalam aktivitas perikanan nasional masih sangat minim.
Masyarakat nelayan kita masih dianggap sebagai obyek, bukan subyek di dalam
undang-undang sehingga peran mereka hanya terbatas pada aktivitas penangkapan
ikan semata.
Ketiga hal ini tentu
menjadi pekerjaan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintahan baru,
terutama dalam mewujudkan cita-cita menjadi poros maritim dan produsen pangan
berbasis kelautan.
Peran nelayan
Undang-undang yang sama
tentang perikanan (Pasal 1 Ayat 10), nelayan (kecil) memiliki arti orang yang
mata pencariannya menangkap ikan menggunakan kapal maksimal 5 gros ton.
Definisi ini tentu
mempersempit profesi nelayan yang dalam realitasnya memiliki banyak aktivitas
selain penangkapan ikan. Definisi ini juga tidak dapat menjelaskan tentang
nelayan tradisional yang berbeda dengan nelayan kecil.
Nelayan tradisional
berarti nelayan yang secara turun-temurun menangkap ikan menggunakan perahu
tradisional tanpa sentuhan teknologi modern.
Pemahaman ini memiliki
implikasi penting. Pertama, Indonesia pernah menandatangani MoU Box tahun
1974 dengan Australia terkait aktivitas penangkapan ikan di wilayah
perbatasan (Endang Retnowati, 2011).
Kedua negara sepakat bahwa nelayan tradisional tidak dilarang menangkap ikan
di beberapa wilayah Australia.
Namun, jika mengacu pada
pengertian nelayan menurut undang-undang, Australia menganggap nelayan
tradisional sebagai nelayan kecil (dilengkapi dengan mesin motor dan GPS)
yang jika beraktivitas menangkap ikan ilegal wajib diproses berdasarkan hukum
di Australia. Oleh karena itu, perlu perumusan kembali pengertian nelayan
kecil dan nelayan tradisional.
Kedua, para nelayan
tradisional, terutama di perbatasan, memiliki dimensi yang sangat luas.
Secara historis ataupun sosio-kultural, mereka telah melakukan komunikasi
lintas batas. Tentunya dimensi ini menjadi sangat penting untuk melihat
realitas perbatasan laut sebelum kita menghakimi bahwa aktivitas-aktivitas
mereka ilegal atau tidak.
Komunikasi nelayan lintas
batas negara justru menjadi kekuatan diplomasi dan bisa mengawal laut bersama
menghadapi ancaman aktivitas ilegal yang sesungguhnya.
Apalagi, secara ekonomi
nelayan-nelayan di perbatasan tentu masih sangat bergantung pada kapal-kapal
pengangkut ikan asing untuk menjual tangkapan. Mereka cenderung memilih
transaksi di tengah laut dengan kapal asing daripada harus mengirim tangkapan
ke pelabuhan. Apalagi, kapal asing menawarkan harga jauh lebih tinggi.
Maka, merumuskan kembali
UU No 45/2009 dapat menjadi agenda utama dengan mempertimbangkan kondisi riil
masyarakat nelayan kita.
Ini dilanjutkan dengan
menjadikan nelayan sebagai subyek utama, sumber informasi tentang perubahan
iklim, penangkapan ikan berlebihan oleh kapal-kapal besar, perdagangan ilegal
yang melibatkan sindikat kejahatan lokal hingga transnasional, serta
pencegahan arus imigran gelap melalui jalur laut.
Dengan demikian, nelayan
kita mendapat tempat strategis dalam cita-cita menjadikan Indonesia sebagai
poros maritim dunia: sebagai drone atau bahkan guardian alamiah pertahanan
maritim Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar