Mufakat
Budaya
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
KOMPAS,
29 November 2014
Mari lupakan masalah politik.
Lupakan koalisi merah dan koalisi hebat. Tak semua merah itu pertanda hebat.
Buktinya tim nasional sepak bola kita, yang sering mengenakan baju merah,
jarang menang.
Sejenak kita pergi ke Taman
Impian Ancol. Di sana ada seratusan lebih budayawan dan agamawan yang
berkumpul untuk sebuah acara yang disebut Temu Akbar II Mufakat Budaya.
Mereka bermufakat untuk merumuskan masalah kebudayaan yang sesungguhnya
menjadi inti persoalan kenapa negeri ini karut-marut.
Dengan penanggung jawab Radhar
Panca Dahana, para budayawan itu datang dari berbagai daerah. Ada penyair,
pelukis, sejarawan, tokoh agama, juga pemikir berbagai ilmu sosial. Ada
Taufik Abdullah, Franz Magnis Suseno, Azyumardi Azra, Thamril Amal
Tomagola-untuk sekedar menyebut keanekaragaman mereka. Dibuka oleh Menteri
Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan, temu akbar ini
menampilkan tiga pembicara kunci (keynote
speaker) : Ishak Ngeljaratan, Daud Yusuf, dan Pandita Mpu Jaya Prema
Ananda. Ada guru besar, ada mantan menteri, dan nama terakhir itu pendeta
Hindu yang di media sosial namanya lebih pendek: Mpu Jaya Prema. Mungkin tak
asing bagi pembaca Cari Angin.
Apa yang mau dirumuskan? Ide
dasar bagi sebuah strategi kebudayaan dalam kaitan dengan pengembangan sains
dan teknologi. Merumuskan strategi integrasi kebudayaan, sains, dan teknologi
sebagai landasan atau basis pembangunan peradaban Indonesia.
Ini temu akbar yang kedua. Yang
pertama lima tahun lalu, yang dikenal dengan Deklarasi Cikini. Saya mau kutip
kalimat awal dari Mukadimah Deklarasi Cikini. Bunyinya: "Apa yang terjadi di Indonesia masa kini adalah kebingungan dan
kekeliruan yang akut di semua level dan elemen kehidupan kita. Hal itu
diakibatkan oleh peran negara, dalam hal ini pemerintah, yang terlampau
dominan dan menafikan publik dalam semua proses pengambilan keputusan."
Setelah lima tahun, apa yang
terjadi? Kata Mpu Jaya Prema, bukannya tambah baik, malah kebingungan dan
kekeliruan itu semakin akut dalam semua kehidupan kita. Kekerasan atas nama
agama terjadi, ormas-ormas garis keras dibiarkan dan seolah dipelihara
pemerintah. "Ini menular ke
daerah-daerah, karena keteladanan yang buruk lebih mudah ditiru, televisi
kita sangat berjasa dalam hal ini," kata saya, eh, kata Mpu. Di
Bali, yang selalu dikesankan adem tentram, pun muncul ormas-ormas yang tak
jelas untuk apa, dan balihonya bertebaran di setiap tikungan jalan. Foto
pengurus ormas itu dipampangkan dengan gaya pesilat, dan banner-nya:
"Menjaga Keamanan Bali". Sejak itu, orang Bali merasa tidak aman,
sudah beberapa kali antar-ormas itu bentrok.
Misalkan para budayawan yang
berkumpul di Ancol (sejak Jumat lalu dan berakhir hari ini) malas membuat
rumusan baru, Deklarasi Cikini tinggal didaur ulang. Cukup menambahkan
kata-kata yang lebih pedas. Tapi budayawan tak mau, mereka tetap asyik
berdiskusi membuat rumusan baru. Mereka tetap berdebat meski pun tak ada
gelas yang pecah, apalagi meja yang sampai dirobohkan.
Deklarasi
Ancol yang sampai hari ini masih dirumuskan, sepertinya masih tetap dalam
napas Deklarasi Cikini. Tentu dengan kalimat yang lain, budayawan bukanlah
tukang contek. Meski suara para budayawan seperti gonggongan anjing yang tak
membuat kafilah berhenti berlalu, mereka tetap bersemangat menyumbangkan
pikiran untuk Indonesia yang lebih baik. Mereka mengajak mencontoh kearifan
para leluhur dari berbagai pulau yang kian tak dipedulikan dalam mengatur
negeri. Indonesia harus tetap merah putih dan makin hebat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar