Senin, 17 November 2014

Mewujudkan Blue Ocean Ketenagakerjaan

                Mewujudkan Blue Ocean Ketenagakerjaan

Augustinus Simanjuntak ;  Dosen Program Manajemen Bisnis FE
Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS,  17 November 2014

                                                                                                                       


TARIK-MENARIK antara buruh dan pengusaha soal upah minimum provinsi (UMP) hampir setiap tahun terjadi. Buruh terus berjuang untuk mengoptimalkan hak-haknya, sedang pengusaha terus berupaya menghemat biaya produksi dengan meminimalkan upah. Pemerintah pun dihadapkan pada posisi yang sulit dalam memenuhi keinginan kedua pihak.

Akibatnya, untuk problem ketenagakerjaan itu, seolah tidak akan ada ujung penyelesaian. Dalam dunia manajemen, realitas seperti itu sudah tergolong ke dalam kondisi red ocean of labor (samudra merah ketenagakerjaan). Di samudra itu buruh dan pengusaha seolah terus bersaing ketat dalam memenangi substansi regulasi yang menguntungkan pihaknya. Isu utamanya ialah upah dan kesejahteraan buruh. Situasi red ocean labor hanya terjadi kala permintaan tenaga kerja lebih sedikit daripada jumlah lapangan kerja.

Dalam konteks itu, pengusaha memiliki bargaining power yang kuat dalam merekrut karyawan baru atau menghentikan buruh. Kondisi tersebut diperburuk dengan daya saing sebagian produk kita yang belum mampu berkompetisi di pasar global atau memiliki nilai jual yang masih tergolong rendah sehingga pendapatan pengusaha pun belum optimal. Situasi red ocean labor kian buruk ketika pada masa lalu pemerintah terlalu sibuk dengan urusan politik untuk mempertahankan kursi kekuasaan sehingga perhatian terhadap buruh tidak bisa optimal.

Suasana politik yang penuh intrik pun bisa menular ke sebagian perusahaan. Akibatnya, ada perusahaan yang memakai intrik dalam menghadapi buruh. Kita sudah lelah dengan persoalan bangsa yang berdampak pada buruh. Artinya, persoalan buruh bukan hanya isu UMP dan kesejahteraan, tetapi juga persoalan politik dan birokrasi. Karena itu, di era pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ini, saatnya buruh dan pengusaha berjuang bersama pemerintah dalam menciptakan suasana blue ocean of labor (samudra biru ketenagakerjaan). Yaitu, kondisi hubungan industrial yang bebas dari polemik serta tarik-menarik antara buruh dan pengusaha. Buruh dan pengusaha malah saling memberi lebih dalam kewajiban masing-masing, yaitu buruh berkinerja lebih dan pengusaha mengubah lebih. Ada empat langkah menuju blue ocean of labor: Pertama, elimination (penghapusan) segala bentuk korupsi di birokrasi yang terus menggerogoti moral perekonomian dan menghambat kemajuan sumber daya manusia (SDM) kita. Pungutan liar terhadap pengusaha juga harus dihapuskan. Birokrasi yang korup selalu berdampak buruk terhadap hubungan industrial.

Produk berkualitas tinggi dan memiliki daya saing yang kuat di pasar global hanya bisa dilahirkan dari peradaban bangsa yang sangat minim korupsi. Negara-negara maju seperti Jerman, Inggris, Swedia, Jepang, Swiss, dan Singapura merupakan contoh negara yang tingkat korupsinya tergolong rendah sehingga banyak produknya pun bisa menguasai pasar internasional. Tingkat kesejahteraan buruh di negara-negara itu umumnya tinggi.

Kedua, reduce (kurangi) jenis-jenis usaha yang menghalangi buruh untuk berkembang (secara pengetahuan dan karir). Jangan sampai karir seorang buruh selama bertahun-tahun tetap stagnan gara-gara sistem kerja yang monoton atau proses produksi yang tidak memotivasi buruh untuk lebih maju. Itu bisa menjadi penghalang bagi masuknya buruh baru (membawa perubahan) di perusahaan.

Ketiga, meningkatkan (raising) kualitas produk lewat ragam inovasi demi peningkatan omzet penjualan yang bakal berdampak pada kesejahteraan buruh. Konsumen perlu ditarik ke pola pikir yang menghargai produk barang/jasa yang berkualitas tinggi, bukan malah menyukai produk-produk tiruan yang daya saingnya rendah. Buruh juga perlu terus meningkatkan skill dan profesionalitasnya supaya memiliki daya tawar upah dengan pengusaha. Sebab, biasanya pengusaha hanya bisa menekan upah buruh yang posisi tawarnya rendah.

Keempat create (ciptakan). Pemerintah dan DPR perlu menciptakan aturan tenaga kerja yang mendorong buruh dan pengusaha sama-sama bertindak progresif dalam menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Implementasi hukum secara progresif pernah dipopulerkan oleh Satjipto Rahardjo dalam menyikapi kekakuan hukum positif. Menurut Satjipto, hukum positif bukanlah produk final, melainkan sebuah tatanan yang dalam implementasinya perlu terus-menerus dibangun dengan nilai-nilai ketuhanan serta moral kemanusiaan (law in the making).

Misalnya, di negara kita ada hukum positif tentang upah minimum, tetapi ketentuan itu justru sering menjadi sumber masalah (pertentangan) antara buruh dan pengusaha. Di Singapura, tidak ada ketentuan upah minimum, tetapi daya tawar buruh tergolong tinggi sehingga buruh bisa dengan mudah pindah ke perusahaan lain yang menawarkan upah yang lebih tinggi.

Jadi, tindakan progresif pengusaha lahir dari kesadaran etis untuk mewujudkan kesejahteraan buruh, bukan karena hukum positif. Selain faktor kesepakatan dengan buruh, tingginya upah dan kesejahteraan buruh bergantung pada tanggung jawab moral pengusaha terhadap Tuhan serta sesamanya. Dengan begitu, pengusaha berani berkata, ”Kami memperoleh keuntungan yang banyak karena kami membayar upah serta penghargaan yang terbaik kepada buruh.”

Kemudian, buruh berkewajiban moral pula kepada Tuhan dengan memberikan prestasi kerja yang lebih dari harapan pengusaha demi kemajuan perusahaan. Hanya buruh yang produktif saja yang patut mendapat upah lebih. Buruh harus berani berkata, ”Kami mendapat upah dan penghargaan yang layak karena kami bekerja dengan kualitas terbaik.” Niscaya ketenagakerjaan kita suatu saat akan sampai pada zona samudra biru di mana pemerintah tidak lagi pusing mengatasi tarik-menarik antara buruh dan pengusaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar