Metakognisi
Nenek Fatimah
Rhenald Kasali ; Guru Besar FE UI
|
KOMPAS,
29 November 2014
KETIKA
para elite sibuk membuktikan soal perkalian, Nenek Fatimah (dan juga politisi
Senayan) justru kesulitan memecahkan ”soal bagi-bagian”. Harta suami Nenek
Fatimah (tanah 3.600 m2) sudah dijual, lalu dibagi-bagi untuk keempat
anaknya. Sisa uang dipakai untuk membeli tanah dari menantu seluas 397 m2 dan
ditempati bersama kedua anaknya. Ia tak habis pikir, di usia tuanya (90
tahun) dituntut anak dan menantunya senilai Rp 1 miliar dari tanah yang kini
ditempatinya.
Sang
mantu punya pandangan berbeda. Uang katanya belum diterima. Gugatan Rp 1
miliar pun diajukan. Tetapi, uang bukanlah tujuan, ujar sang mantu. Ia ingin
pengakuan. Nenek renta pun diseret ke pengadilan. Pengacara menunjukkan
dalilnya ada.
Di
parlemen, hal serupa kita saksikan. Sebanyak 44 jabatan pada 11 komisi
ditambah empat badan (Baleg, BURT, Banggar, dan Majelis Kehormatan) harus
bisa dibagi dengan adil. Tetapi, orang-orang pandai itu gagal membagi. Ada
apa sebenarnya di negeri ini? Kian terdidik, mengapa kian sulit berbagi? Tak
banyak sarjana yang paham bahwa untuk menggunakan kecerdasan dibutuhkan
kecerdasan juga.
Metakognisi lemah
Jika di
atas langit ada langit, di atas kognisi juga ada kognisi. Itulah kecerdasan
untuk menggunakan kecerdasan (metakognisi), yang kalau dipakai dengan baik
bisa melahirkan manusia-manusia bijak yang lidahnya lembut dan kacamatanya
bening. Secara matematika Anda benar 25 dibagi lima adalah lima. Tetapi,
dalam kehidupan ada kebajikan, keadilan, empati sosial, rasa persatuan,
kekeluargaan, hubungan jangka panjang, dan pertimbangan lain di samping nafsu
angkara dan keserakahan. Tanpa metakognisi, orang yang kognisinya kuat jadi
terlihat bodoh. Belas kasih, keadilan, rasa hormat, dan kebijaksanaan
disingkirkan demi ”dalil kemenangan”.
Para
penegak hukum dan wakil rakyat juga terperangkap dalam waham kognisi yang
sangat kuat dengan dalil-dalil dan rumus kekuasaan. Padahal, hukum ditegakkan
bukan untuk kebenaran logika dan siapa yang menguasai atau yang benar semata.
Ia bukanlah sebuah simbolic game
seperti matematika kognisi yang menyederhanakan representasi dan keberalasan.
Hukum ditegakkan untuk membentuk keadilan, dan begitu kita gagal
melakukannya, ia dapat membahayakan struktur bangunan demokrasi bak sebuah
bendungan besar yang alih-alih memberi manfaat bagi pertanian, malah
menyumbat arus perubahan sosial (Martin
Luther King, Jr).
Nurhalim
(menantu Fatimah) dan istrinya (Nurhana) mungkin saja benar dan tahu dalil
hukum lebih baik dari ibunya yang buta huruf. Tetapi, ia tak cukup cerdas
untuk menaklukkan kecerdasannya di tengah-tengah empati sosial yang
menempatkan ibu sebagai sosok yang dihormati. Apalagi kita hidup dalam
peradaban kamera yang serba terbuka.
Sama
saja dengan para aktor politik yang berkuasa. Mereka yang memegang palu dan
duduk di barisan pemimpin bisa menetapkan siapa saja yang boleh duduk di
jabatan yang akan dibagikan. Tetapi, arogansi dan kebencian bukanlah sesuatu
yang diinginkan pemberi suara.
Metakognisi dari bawah
Ada yang
menyatakan kognisis tentang kognisi itu didapat para bijak bestari di usia
lanjut. Saya menyatakan, metakognisi justru dibentuk sedari muda, dari kanak-kanak
hingga remaja dan saat seseorang menggali ilmu di perguruan tinggi. Justru
dengan menyaksikan si mulut-mulut besar bertengkar di panggung politik atau
anak yang mengadili ibunya di ruang sidang pengadilan, kita bisa membaca
seberapa baik mereka dididik di usia muda. ”Seberapa baik” itu berbeda dengan
seberapa pintar menurut ukuran-ukuran yang ada di dalam rapor atau ijazah. Ia
tak tecermin dalam nilai matematika, bahasa, sejarah, atau IPA kalau
pendidikan tidak kita ubah. Ia juga tak didapat dengan memberi les Kumon
kepada anak-anak secara intensif atau memenangi olimpiade-olimpiade sains.
Pendidikan
itu bukan memisah-misahkan kognisi dengan non-kognisi sehingga menambah mata
ajaran atau jumlah guru. Seharusnya, sambil berhitung, anak-anak mengingat
aturan permainan. Sambil membuat work
sheet keuangan, seorang calon akuntan diajak melihat pergulatan rakyat
kecil mengais sampah. Dan sambil mendalami dalil-dalil hukum, seorang calon
sarjana diajak berdialog dengan keluarga narapidana (apalagi salah sasaran)
dan hartanya habis untuk membayar pengacara.
Di atas hukum ada keadilan, di atas kertas ada kebenaran, dan di atas
ilmu pengetahuan ada kebijaksanaan. Para ilmuwan harus mulai terbiasa
mengajarkan cara-cara berpikir di atas dalil-dalil kognisi untuk mencetak
politisi-politisi berbudi luhur dan anak harimau yang tak menerkam ibunya
sendiri di kala lapar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar