Mengubah
Arah Fiskal
A Pasetyantoko ; Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
05 November 2014
Tanda-tanda kenaikan harga bahan bakar minyak mulai tampak
dengan diluncurkannya Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan
Kartu Keluarga Sejahtera. Baik kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) maupun
pelaksanaan kartu sakti memiliki kerumitan masing-masing. Karena itu, kita
sering luput melihatnya dalam konteks kebijakan yang lebih besar. Keduanya
harus diletakkan dalam konteks perubahan arah kebijakan fiskal kita.
Perubahan arah fiskal tak terhindarkan mengingat sisi pasokan
dalam perekonomian sudah begitu lama ditelantarkan. Salah satu kelemahan
pokok kebijakan ekonomi sepanjang 2004 hingga 2014 adalah absennya
pembangunan sisi pasokan. Dinamika lebih digerakkan konsumsi, sementara
sektor produksi nyaris tak berkembang. Mendorong sisi pasokan (supply side) tak mungkin dilakukan
tanpa perubahan arah fiskal.
Dengan demikian, salah satu agenda besar pemerintah baru ini
adalah merombak tatanan ekonomi dengan membangun lebih banyak sisi pasokan
melalui kebijakan konkret dan praktis tetapi terarah. Kenaikan harga BBM
hanyalah langkah awal untuk mengubah arah fiskal guna lebih banyak mendorong
sisi penawaran.
Struktur ekonomi
Rata-rata pertumbuhan ekonomi kita sejak kuartal I-2010 hingga
kuartal II-2014 sebesar 6 persen. Namun, sejak 2013 pertumbuhan terus berada
di bawah kinerja dengan rata-rata pertumbuhan tahunan 5,78 persen. Tahun ini,
pertumbuhan diperkirakan 5,1-5,2 persen, sedangkan pada 2015 diperkirakan
berada di kisaran 5,3-5,5 persen. Mengapa pertumbuhan kita terus menurun
kinerjanya dan kapan akan balik lagi (rebound)?
Salah satu penyebab penurunan kinerja pertumbuhan ekonomi adalah
kealpaan kita membangun sisi pasokan dan terlalu terlena dengan dinamika
pasar global. Terutama dalam kurun lima tahun terakhir, praktis kita hanya
mengandalkan dorongan angin global. Kebijakan likuiditas ultra-longgar di Amerika
Serikat dan negara maju telah mendorong dinamika perekonomian kita menjadi
lebih cepat melalui efek angin buritan (tailwinds)
yang ditimbulkan. Termasuk di dalamnya, efek kenaikan harga komoditas yang
menggelembungkan neraca perdagangan kita.
Begitu efek kenaikan harga komoditas selesai, gelembung neraca
perdagangan mulai susut dan dimulailah fase defisit transaksi berjalan yang
akut. Defisit transaksi berjalan menandakan aktivitas perekonomian domestik
masih perlu dukungan dari sumber daya eksternal. Jika tahun ini pertumbuhan
kita 5,2 persen dengan defisit transaksi berjalan 3,1 persen terhadap produk
domestik bruto, bisa dibayangkan betapa rapuh struktur perekonomian kita.
Salah satu tantangan pokok tahun depan adalah berhentinya efek angin buritan
ini seturut rencana The Fed akan mulai menaikkan suku bunga. Jika suku bunga
di negara maju mulai naik, jumlah aliran modal ke negara berkembang akan
semakin berkurang sehingga likuiditas akan semakin langka. Karena itu, energi
untuk mendorong pertumbuhan juga semakin berkurang.
Selain tantangan global, ada pula tantangan domestik yang
bersumber pada meningkatnya defisit neraca minyak dan gas. Terhitung sejak
kuartal IV-2011 neraca migas kita mengalami defisit konstan dengan jumlah
kian membesar. Jika pada kuartal IV-2011 defisit migas 25 juta dollar AS,
pada kuartal III-2014 sudah mencapai 2,6 miliar dollar AS. Puncak defisit
migas terjadi pada kuartal III-2013 senilai 2,8 miliar dollar AS. Nilai impor
migas terus melonjak karena dua hal, peningkatan konsumsi dan depresiasi
nilai tukar.
Apakah kebijakan kenaikan harga (BBM) akan menyelesaikan
persoalan struktur neraca transaksi berjalan dan struktur perekonomian kita?
Tentu saja tidak. Maka dari itu, ada dua hal pokok yang perlu dipahami
terkait kenaikan harga BBM. Pertama, kenaikan harga sebenarnya hanyalah efek
dari perubahan arah fiskal. Jadi jangan fokus pada soal kenaikan, tetapi pada
perubahan arah fiskal itu sendiri. Kedua, kenaikan harga BBM merupakan
kebijakan yang kita butuhkan, tetapi tidak akan pernah cukup (necessary but
not sufficient).
Kebijakan fiskal adalah instrumen pemerintah untuk memengaruhi
dinamika perekonomian. Keengganan melakukan ekspansi akan berakibat
merosotnya dinamika perekonomian. Namun, memacu pengeluaran juga tak bisa
dilakukan jika neraca transaksi berjalan masih defisit dalam jumlah besar.
Maka dari itu, perlu konteks makro yang lebih seimbang agar peran fiskal bisa
lebih dimaksimalkan.
Arah fiskal
Kenaikan harga BBM dalam arti tertentu tak lagi bisa dihindari
sebagai langkah awal untuk mengubah arah fiskal menuju struktur perekonomian
yang lebih solid. Pertama, untuk mengurangi tekanan pada neraca transaksi
berjalan sehingga perekonomian domestik bisa didorong lebih dinamis
investasinya dengan tujuan memperkuat pertumbuhan ekonomi. Selama transaksi
berjalan masih defisit cukup besar, kebijakan suku bunga juga tersandera. Tak
mungkin Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan 7,5 persen jika defisit transaksi
berjalan tak diarahkan pada angka 2,5 persen.
Perbankan juga dikondisikan untuk tak memacu laju kredit
sehingga tahun ini pertumbuhan kredit dijaga di kisaran 15 persen. Selain
karena persoalan likuiditas perbankan yang ditandai dengan meningkatnya rasio
kredit terhadap dana pihak ketiga (loan
to deposit ratio) yang sudah di atas 90 persen, otoritas moneter memang
juga memagari agar kredit jangan mengucur supaya investasi tak meningkat
sehingga ujungnya memperlebar defisit transaksi berjalan. Kenaikan harga BBM
tentu saja tak akan membuat struktur neraca transaksi berjalan berubah
drastis. Konsumsi tak akan merosot dengan kenaikan harga, tetapi ada
mekanisme alamiah sehingga konsumsi tak melonjak. Tahun lalu konsumsi BBM
bisa dijaga di kisaran 46 juta kiloliter karena ada kenaikan harga. Tahun
ini, sulit mempertahankan tingkat konsumsi yang sama sehingga dipastikan
jebol dari target konsumsi yang dipatok Undang-Undang APBN-P 2014.
Kenaikan harga BBM hanya bersifat mitigasi terhadap neraca
transaksi berjalan. Namun, pada sisi anggaran bisa mengubah arah karena pola
pengeluaran yang terlalu terkonsentrasi pada pengeluaran rutin dan subsidi
perlu didobrak. Sepanjang 2004 hingga 2014, nilai anggaran kita mengalami
kenaikan sekitar 4 kali lipat, sementara kenaikan belanja modal 5 kali lipat,
tetapi pengeluaran subsidi hampir 12 kali lipat. Arah fiskal yang salah ini
harus dikembalikan pada substansinya, sebagai stimulus pembangunan sektor
riil. Maka dari itu, hasil penghematan akibat kenaikan harga BBM harus
dialihkan utamanya pada pos belanja modal.
Pendekatan yang digunakan bukanlah sekadar menutup kebutuhan
subsidi. Jika itu masalahnya, penghematan di kementerian dan lembaga serta
keberhasilan meningkatkan pendapatan pajak dengan mudah menyelesaikan masalah
subsidi. Persoalan subsidi bukan karena kita tak memiliki cukup dana untuk
menutupnya, melainkan mengubah agar belanja subsidi menjadi lebih
proporsional.
Karena itu, kenaikan harga BBM saja jelas tak cukup. Mekanisme
pengalihan pada pos belanja modal jauh lebih penting. Dan mekanisme
pengalihan tersebut tak boleh terlalu lama, karena semakin lama ditahan tak
segera menimbulkan efek stimulus pada perekonomian. Hal pokoknya, bagaimana
kenaikan beban masyarakat akibat kenaikan harga BBM harus segera ”disubsidi”
melalui pembangunan sisi pasokan dalam ekonomi. Dengan demikian, daya beli
masyarakat secara agregat akan meningkat. Persoalannya, memang ada kelompok
masyarakat yang begitu rentan terhadap guncangan harga. Dalam konteks inilah
kartu sakti yang diluncurkan Presiden Joko Widodo di Kantor Pos Besar,
Jakarta Pusat, menjadi penting.
Memang ada persoalan dengan pelaksanaan di lapangan, tetapi itu
juga bagian lain yang harus direformasi total, mulai dari soal pendataan
penduduk di bawah Kementerian Dalam Negeri hingga pengawasan birokrasi di
akar rumput oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Maka dari itu,
kenaikan harga BBM harus dimasukkan dalam paket reformasi struktural
perekonomian dan birokrasi yang hanya bisa dilakukan oleh kabinet yang benar-benar
bekerja. Dan ini menjadi ujian pertama pemerintah baru, apakah mampu
melakukan program kebijakan yang berkelindan satu sama lain secara cepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar