Mengelola
Desa Pesisir
Yonvitner ; Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Kelautan
Institut Pertanian Bogor (KSPL-IPB); Tim Pokja ICM Desa Kementerian Dalam
Negeri
|
KOMPAS,
04 November 2014
IMPLEMENTASI UU Desa harus
dilakukan secara cermat dan hati-hati terkait dengan klausul pemanfaatan
sumber daya pesisir dan lautan, terutama dalam implementasi UU No 27 jo UU No
1/2014 tentang Pesisir, Lautan, dan Pulau-pulau Kecil.
Setidaknya ada beberapa fakta
yang harus diutamakan, yaitu pertama, keberadaan masyarakat desa pesisir
sebagai bagian dari komunitas masyarakat desa. Kedua, pengelolaan sumber daya
pesisir yang dilakukan secara terpadu dalam hierarki tata kelola pemerintahan.
Ketiga, sumber daya yang dikelola harus mampu memberikan manfaat ekonomi,
ekologi, dan sosial kepada masyarakat pesisir.
Pengertian wilayah pesisir
didefinisikan sebagai wilayah peralihan (pertemuan) antara ekosistem darat
dan laut. Desa pesisir secara geografis menempati kawasan pada batas wilayah
laut sampai 12 mil dengan batas darat mencakup kecamatan pesisir dan
pulau-pulau kecil.
Menurut Grand Design
Pembangunan Desa (2009), jumlah desa-desa pesisir di Indonesia 14 persen dari
seluruh desa atau 9.326 desa dengan luas 35.949.021,30 hektar atau 19 persen
dari keseluruhan desa-desa di Indonesia.
Namun, dalam konteks UU Desa,
yang dimaksud desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan hak asal-usul, adat-istiadat, dan sosial budaya
setempat dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini jelas sekali
terdapat dua cara pandang otonomi yang berbeda. Rezim UU Pesisir dan laut
otonomi desa masih di bawah kontrol kabupaten, sedangkan rezim UU Desa
otonomi ada di desa sendiri, hanya ada hubungan koordinasi dengan
kabupaten/kota dalam hal pembiayaan pembangunan desa.
Kepala desa memiliki kewenangan
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang dilimpahkan oleh
pemerintahan kabupaten/kota. Jadi, sangat jelas bahwa hak pemberian izin
sudah berada di level desa.
Cara pandang
Dalam UU Desa, kewenangan desa
diakui kabupaten/kota (poin b Pasal 16), pusat, provinsi dalam pengelolaan
sumber daya pesisir. Desa memiliki hak untuk mendapatkan sumber-sumber
pendapatan desa dari sumber daya yang ada.
Pendapatan ini dapat berasal
dari pendapatan asli desa (PAD). PAD desa pesisir (Pasal 57 Ayat 1) dapat berasal
dari tambatan perahu, pelelangan ikan, hutan milik desa, dan tanah kas desa.
Di dalam tanah kas desa kita
akan mendapati lahan pesisir yang menjadi obyek wisata, pelabuhan perikanan,
dan hamparan pantai. Di hutan desa pesisir terdapat hutan mangrove.
Selanjutnya, setiap aktivitas perikanan, pelelangan, dan pelabuhan akan
dikelola langsung kepala desa.
Dalam UU Pesisir No 27, suatu
daerah kabupaten/kota dapat memberikan izin dalam pengelolaan wilayah
pesisir.
Izin usaha perikanan (tangkap)
terhadap kapal di pelabuhan dikelola Kementerian Kelautan Perikanan (Permen
No 05/2008 KP), pelabuhan perikanan, dan perizinan usaha industri perikanan
di kawasan pelabuhan.
Jika dalam praktiknya tata
pemerintahan desa terlaksana, kewenangan kabupaten/kota atas desa pesisir
dengan sendirinya akan hilang. Dengan demikian, seorang kepala desa dalam
mencari dana dapat memberikan izin lokasi usaha.
Kondisi dalam UU Desa akan
sangat berbeda dengan UU Pesisir dan Laut. Desa tidak boleh memberikan izin
lokasi pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan,
dan pantai umum karena harus dilakukan oleh menteri.
Desa pesisir
Dengan adanya perbedaan yang
berisiko multitafsir terhadap UU No 27/2007 jo UU No 01/2014 dengan RUU Desa
yang diusulkan jadi UU Desa, pengelolaan desa pesisir harus didesain dalam
sebuah kerangka pengelolaan yang sinergis dan berkelanjutan.
Kerangka kerja pembangunan
berkelanjutan di wilayah desa pesisir dan laut paling tidak mempertimbangkan
tiga elemen penting (PEMSEA, 2003), yaitu tata kelola (governance),
pembangunan berkelanjutan, dan status wilayah pesisir.
Tata kelola mencakup
perencanaan, kelembagaan, legislasi, informasi, pendanaan, dan pengembangan
kapasitas. Pembangunan berkelanjutan mencakup perlindungan sumber daya alam,
pemulihan habitat, penyediaan sumber daya air, dan ketahanan pangan (food
security and livelihood).
Dalam status pesisir paling
tidak mengacu pada konsep Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). UU Desa dan UU
Pesisir harus satu konsep dalam mewujudkan ketiga hal ini.
Untuk tingkat desa, meski tidak
ada kewajiban, perencanaan pengelolaan wilayah pesisir sangatlah baik untuk
memperkuat perencanaan desa.
Untuk itu, perlu penguatan
kebijakan terhadap pola pengelolaan sumber daya wilayah pesisir, pemberdayaan
masyarakat desa pesisir, penataan otonomi desa, dan penguatan kapasitas
pemerintahan desa.
Menyadari kegagalan pendekatan
pembangunan yang sentralistik, diperlukan pelibatan masyarakat dalam
mengelola sumber daya pesisir dan laut di desanya.
Dengan demikian, pengelolaan
pesisir desa berlangsung secara terpadu melalui implementasi pengelolaan
terpadu desa pesisir (integrated
coastal village management) yang dinakhodai oleh direktorat pemerintahan
desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar