Memahami Keilmuan
Mutlak dalam Mengajar
Iwan Pranoto ; Guru Besar Matematika ITB
|
KOMPAS,
24 November 2014
DATA capaian literasi membaca, matematika, dan
IPA pelajar kita saat ini sudah lengkap dan cukup untuk melakukan diagnosis. Data
sejak 2000 dari Programme for
International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Matematics and Science Study (TIMSS),
bahkan ujian nasional yang rutin tahunan, semua tersedia. Artinya, untuk
memahami bagian mana pendidikan di tiga bidang tersebut yang harus dibenahi,
sebenarnya tak terlalu sulit. Yang dibutuhkan sekarang adalah kajian dan
perumusan tindakan strategis guna memperbaikinya.
Paham keilmuan
Beberapa
edukator menunjuk masalah pengajaran sebagai penyebabnya. Bagi yang rutin
mendatangi dan mengamati pengajaran di persekolahan, memang umumnya terlihat
murid mendengar pasif dan kurang aktif membangun pemahaman di kelas.
Keterampilan mengajar mungkin saja penyebabnya. Namun, ada kemungkinan
rendahnya keterampilan mengajar justru merupakan dampak ketimbang penyebab
masalah.
Pada
program magister untuk mengajar matematika di Universitas Harvard, AS,
dituliskan keyakinannya bahwa guru matematika yang baik menggabungkan pemahaman
mendalam dan gairah mengajar. Ini yang sering dilupakan: pemahaman keilmuan
merupakan kunci, selain gairah mengajar.
Bukankah
justru di dua area itu kita (baca: pendidik) butuh berbenah? Temuan Kemdikbud
yang diberitakan Kompas edisi 17 Maret 2012 menunjukkan rata-rata kompetensi
guru rendah. Bukankah ini juga merupakan data sahih untuk menunjuk pemahaman
sebagai sumber kelemahan pengajaran? Namun, yang cukup aneh, sampai hari ini
justru rendahnya pemahaman keilmuan ini yang tidak pernah disinggung pengambil
kebijakan pendidikan.
Seberapa
pun pahamnya seseorang pada metode mengajar, jika dia tidak memahami makna
pembagian 1/3 : 2/5, pengajaran matematikanya akan menjadi sebuah ceramah.
Dia akan menuangkan pengetahuan mutlaknya ke benak para murid.
Murid
yang seperti busa penyerap akan dipaksa mematuhi prosedur cara menghitung
tanpa paham alasan di balik perhitungan itu. Guru yang tak paham akan enggan
menciptakan perdebatan dan diskursus. Akibatnya, pengajaran matematika jadi
dogmatis. Prosedur perhitungan dan rumus bak turun dari langit yang harus
dipuja. Rumus menjadi nirmakna dan mati, tak bersuara indah lagi. Siklus
pengajaran pun jadi ritual: beri rumus, beri contoh, latihkan soal. Tak akan
ada diskusi dan kajian mendalam. Yang tertinggal adalah ”pokoknya begitu”.
Sebaliknya,
jika seorang guru memahami keilmuannya serta bergairah mengajar, tentunya dia
akan termotivasi mempelajari teori belajar dan metode mengajar. Dia akan
bersemangat meningkatkan pemahaman pedagoginya. Terlebih, berlatih diri dalam
metode mengajar menjadi masuk akal karena dia ingin mengajak muridnya belajar
sekaligus menikmati kasmaran belajar yang dialaminya. Syarat utama, guru
harus memahami keilmuannya. Logikanya, bukankah untuk menjadi seorang guru
renang, seseorang harus cakap berenang dahulu?
Membenahi
Ada dua
area yang perlu dibenahi. Pertama, pada program penyiapan guru perlu
dikembangkan sebuah kurikulum baru yang memberikan porsi besar pada pemahaman
keilmuan. Calon guru mutlak perlu mengalami kasmaran belajar keilmuannya.
Yang akan mengajar sejarah harus pernah merasakan nikmatnya kasmaran
menyelami sejarah dan menelitinya.
Juga
dalam kurikulum baru itu perlu diberikan teori belajar yang memadai, selain
teori mengajar. Jika diharapkan pengajaran berpusat pada proses belajar
murid, tentunya guru harus paham teori belajar. Guru harus cakap mengenali
gaya belajar yang cocok bagi murid.
Membenahi
kurikulum program guru ini jauh lebih penting ketimbang membenahi kurikulum
murid. Namun, dengan pemisahan pendidikan tinggi dari Kemdikbud, apakah
Kemdikbud masih berwenang berpendapat dalam pengembangan kurikulum institusi
penyiapan guru? Ini yang harus segera dituntaskan di tingkat kabinet.
Kedua,
pada program pengembangan profesi bagi guru yang sudah bertugas, ada kendala unik
dihadapi Indonesia. Yang utama adalah kendala geografis. Banyak guru dan
sekolah berada di daerah amat terpencil dan terisolasi. Juga banyak sekolah
diajar oleh satu atau dua guru. Jika guru diundang mengikuti program
pengembangan profesi di tempat lain, akan terganggu proses belajar muridnya,
sulit, dan amat mahal.
Oleh karena itu, penggunaan internet sebagai wahana guru berlatih,
berinovasi, serta berbagi merupakan satu-satunya cara saat ini. Dengan
membuat video klip lima menitan yang langsung menunjukkan bagaimana
membelajarkan bahan ajar tertentu, cara mengajar itu akan segera dapat
diterapkan guru di kelasnya. Dengan langkah ini, selain guru tersebut
meningkatkan kecakapan mengajarnya, para muridnya pun langsung dapat
merasakan perbaikan layanan pendidikan. Ini jauh lebih efektif daripada
mengubah kurikulum maupun buku ajar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar