Lempad
Goenawan Mohamad ; Esais,
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
03 November 2014
Pada suatu hari, tahun 1968,
saya mengunjungi Lempad di rumahnya. Perupa jenius dari Ubud itu menemui saya
sambil berdiri di antara patung-patung batu yang disusunnya secara acak di
beranda. Usianya sudah sekitar 100 tahun. Tanpa baju, kulit tubuh bagian dadanya
tampak mengeriput. Rambutnya menipis putih hampir gundul.
Ia menunjukkan satu bundel
gambar. Dan saya terpesona. Di lembar-lembar kertas itu
Lempad menghidupkan kembali cerita sedih Jayaprana dan Layonsari. Sejak kecil
saya mengenal nasib pasangan itu: anak angkat Raja Wanakeling Kalianget yang
dibunuh baginda sendiri, ketika orang tua itu ternyata jatuh cinta kepada
menantunya, Layonsari. Syahdan, Jayaprana rela dibunuh, Layonsari bunuh diri.
Yang mempesona dari karya
hitam-putih Lempad ialah garis dan guratan penanya yang bergetar, spontan,
tapi mantap menangkap apa yang erotis dalam adegan percintaan
Jayaprana-Layonsari. Kain yang tersingkap di atas ranjang. Peluk yang
geregetan tapi halus. Gerak yang bergairah tapi elegan.
Karya itu tak pernah saya
lupakan—dan tak pernah saya jumpai kembali. Beberapa tahun kemudian saya
mencarinya di antara kertas-kertas gambar Lempad yang dikoleksi seorang
penatah perak, tapi tak saya temukan. Di Museum Neka, Ubud, saya dapatkan
karya-karya sang empu lebih lengkap, tapi tak ada Jayaprana-Layonsari.
Buku monumental yang baru
terbit, Lempad, buah tangan bersama Jean Couteau, Ana Gaspar, dan Antonio
Casanovas, juga tak menampilkannya meskipun kita beruntung mendapatkan
jejaknya. Dalam buku ini bisa kita temukan goresan pensil tentang malam
pengantin dari cerita Arjunawiwaha dan adegan sanggama Sasarata dan Kekayi,
misalnya dan kita bisa beroleh sekilas kesan betapa ulungnya Lempad dalam
mewujudkan apa yang erotis dengan puisi yang diam.
Jika kita lihat kembali kini,
ada sesuatu yang sederhana tapi berarti di gambar itu. Kini, di Indonesia,
orang sedang menampik ekspresi tentang tubuh dalam gairah dan percintaan.
Indonesia telah jadi masyarakat yang takut runtuh karena pornografi. Di saat
seperti ini, karya Lempad bisa menunjukkan yang lain.
Besar beda antara yang erotis
dan yang pornografis. Pornografi hanya menarik perhatian orang kepada
alat-alat kelamin dan hasrat seksual. Ia tak beranjak jauh dari satu tempat
dan kita sudah tahu ujungnya. Yang erotis lain: ia menghadirkan suasana,
konteks, dan perasaan yang tak terlukiskan dan, terutama dalam gambar-gambar
Lempad, seakan-akan tak sepenuhnya bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sebagian besar karyanya memang tak
hendak menghadirkan kembali, merepresentasikan, kehidupan biasa. Pengaruh
realisme dari seni rupa Eropa membekas hanya pada patung-patungnya.
Sahabatnya, Walter Spies, tamu yang baru datang dari Eropa, membuatnya tak
hanya tertarik menggambar dari adegan dongeng, atau Mahabharata, atau
Ramayana. Gambar-gambar Lempad dari tahun 1930-an melukiskan perempuan
menumbuk padi, lelaki menyembelih babi, bahkan adegan wanita melahirkan
dengan bantuan paraji pria. Tapi wajah orang-orang itu, gerak tubuh mereka yang
selalu mengandung sesuatu yang grotesque sebagai lazimnya karya seni rupa
Bali yang akrab dengan hantu, raksasa, dan makhluk ajaib lain, sama sekali
bukan sekadar bagian realitas yang diulang dalam gambar. Juga latar kosong
yang seakan-akan jadi ruang hidup itu seperti dipetik dari mimpi.
Bahkan ketika ia menggambarkan
kehidupan Pan Brayut, istri, dan kedelapan anaknya, dengan sentuhan humor dan
olok-olok, tetap terasa ada yang tak-berasal-dari-dunia-ini di tengah-tengah
kehidupan orang Sudra yang melarat itu: sesuatu yang berbeda, dengan detail
dan arah yang tak terduga-duga. Jean Couteau mengungkapkannya dengan bagus:
dalam seri gambar tentang Pan Brayut, pena Lempad tak dibimbing penyusunan
pola. Pena itu bergerak sendiri seraya menemukan-dan-menciptakan yang baru,
beraneka-ragam, tak henti-hentinya, "not
guided by patterning but by infinitely varied inventiveness".
Agaknya itulah yang menyebabkan
karya seni berarti. Karya seni sering tak dimengerti bahkan tak diakui, tapi
ia mampu mengembalikan pesona ke dalam dunia kita. Di zaman ini pesona itu
telah terkikis; manusia sibuk menyusun pola-pola, merumuskan
identitas-identitas, mengatur perbedaan dengan konsep dan klasifikasi. Karya
seni mencoba menangkis proses itu dengan merayakan perbedaan yang tak disusun
konsep apa pun différence sans concept,
kata Deleuze.
Maka selalu ada yang bergerak
berbeda dalam tiap karya seni rupa yang bagus, puisi yang menyentuh, novel
yang memukau, musik yang menghanyutkan rasa.
Bukan kebetulan bila gerak juga
terasa sebagai inti karya-karya Lempad. Setahu saya Lempad sedikit sekali
melukis alam benda. Yang ramai dalam karyanya adalah orang-orang yang
bekerja, bercakap-cakap, menari, melukis. Gerak selalu terasa dalam karya
Bali yang luar biasa ini, yang menciptakan gambar-gambar minimalis, dengan
bidang yang tak pernah diisi penuh. Semangat kreatifnya adalah gerak dan itu
juga berarti gerak yang tak berkesudahan.
Lempad menunjukkan apa yang
pernah saya sebut sebagai "estetika jeda": karyanya memberi kesan
sebagai karya yang tak rampung. Ia seperti selalu sampai pada saat jeda, hanya
berhenti sejenak. Ada kutipan yang menarik dalam Lempad, mungkin kata-kata
sang empu sendiri: "Ingatlah debu:
betapa seringnya pun kita sapu lantai, selalu akan ada sisa yang harus disapu
lagi."
Tiap karya seni dimulai dengan
gelora, berakhir dengan istirahat dan mungkin kerendahan-hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar