Koalisi
Politik Itu Rapuh
Victor Silaen ; Dosen
FISIP Universitas Pelita Harapan
|
KORAN
SINDO, 30 Oktober 2014
Ketika koalisi partai-partai politik pendukung Prabowo-Hatta
yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PPP,
PAN, dan PBB dideklarasikan pada 14 Juli lalu dan diklaim sebagai koalisi
permanen, banyak kalangan yang menyatakan keraguannya.
Mereka tak percaya bahwa koalisi tersebut akan utuh, solid, dan
abadi, setidaknya sampai 2019. Benarlah, dalam perjalanannya kemudian, Partai
Demokrat kerap memperlihatkan sikap setengah hati bahwa mereka merupakan
bagian yang integral di Koalisi Merah Putih (KMP) itu. Presiden SBY yang juga
merupakan ketua umum Partai Demokrat misalnya pada 15 September lalu
menyatakan bahwa partainya bukan anggota KMP. Ia mengungkapkan, partai yang
dipimpinnya telah menolak tawaran koalisi yang dipimpin Partai Gerindra
tersebut.
Tawaran itu diberikan dengan sangat konkret dan jelas. “Partai
Demokrat memang diajak kedua kubu dengan cara yang berbeda-beda,” kata SBY
dalam wawancara khusus yang diunggah ke media sosial You-Tube (14/9/2014).
“Kami punya prinsip dan etika politik sendiri,” kata SBY. Demokrat, menurut
SBY, memilih masuk ke wilayah yang konstruktif yaitu menjadi partai
penyeimbang dan tak berada baik di kubu pemerintah maupun KMP.
Demokrat memastikan diri akan mendukung jika kebijakan
pemerintah Jokowi memihak rakyat. Namun, Demokrat akan menolak dan melawan
jika Jokowi-Jusuf Kalla mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat
atau tak realistis. Sikap nonkoalisi SBY tersebut, 3 Oktober lalu, secara
konkret dikonfirmasi dengan keluarnya dua perppu sebagai pengganti UU Pilkada
(Tidak Langsung) yang sepekan sebelumnya disahkan DPR berdasarkan hasil
voting yang dimenangkan kubu KMP.
Dua perppu tersebut tentu dapat dibaca sebagai ketidaksetujuan
SBY selaku ketua umum DPP Partai Demokrat. Tak heran jika kemudian Ketua
Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono langsung menyikapinya secara
positif. “Poinnya (perppu itu) adalah untuk kebaikan bangsa. Semua fraksi
pasti setuju untuk kebaikan bangsa,” katanya (3/10/2014).
PPP, yang sejak masa kampanye pileg pertengahan Maret lalu telah
memperlihatkan kedekatannya dengan Partai Gerindra hingga kemudian menjadi
bagian di KMP, akhirnya juga memutuskan untuk menyeberang ke Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung presiden dan wakil presiden terpilih
Jokowi JK pada sidang paripurna pemilihan ketua dan para wakil ketua MPR, 8
Oktober lalu. Terlepas dari motivasi PPP hijrah ke KIH, yang jelas fakta
tersebut memperkuat keraguan akan utuh, solid, dan abadinya sebuah koalisi
politik. Itulah politik yang selalu dinamis. Itu sebabnya dalam politik
nyaris tak ada satu pun hal yang ideal.
Semua serbapraktis karena nilai utamanya memang pragmatisme.
Bukan kebaikan dan kebajikan yang menjadi keutamaan dalam politik, melainkan
manfaat. Manfaat itu sendiri terutama dicari dan dikejar untuk diri sendiri,
baru kemudian untuk kelompok sendiri, dan akhirnya untuk satuan sosial yang
lebih luas lagi seperti rakyat.
Begitulah, sudah sejak lama filosof politik Inggris pada abad
ke-19 Lord Palmerston berkata begini: “Tak ada kawan dan lawan yang abadi
dalam politik karena sesungguhnya yang abadi adalah kepentingan itu sendiri.”
Tesis itu benar, bahkan bernilai kekal, sehingga menjadi salah satu adagium
dalam literatur ilmu politik. Kali ini mungkin menjadi kawan senasib-
sepenanggungan, sebarisan-seperjuangan. Tapi, kali lain bisa jadi beroposisi,
menjadi lawan yang berpunggungan.
Kalau perlu, bahkan bisa saling menjegal dan menghancurkan. Atas
dasar itu, sulit diterima jika KMP diklaim sebagai koalisi yang permanen.
Koalisi bukanlah persahabatan ataupun sejenis hubungan sosial yang minus orientasi
laba. Sebaliknya, koalisi adalah pertemuan antarkekuatan politik yang saling
mencari keuntungan berdasarkan kepentingan-kepentingan yang diemban setiap
kekuatan politik itu.
Maka itu, selama kepentingan antarkekuatan politik itu sama,
hubungan pun dapat terus berjalan. Tapi, jika tidak, pelan tapi pasti
hubungan mereka akan retak atau bahkan rusak. Dengan begitu, koalisi politik
mana pun selalu rapuh. Ia mudah retak dan bahkan rusak kapan saja, bergantung
ada atau tiada kepentingan yang mempertemukan kekuatan-kekuatan politik yang
berhimpun di dalamnya. Gambaran seperti itu lazim terlihat di pelbagai ajang
kontestasi politik rebutan posisi semisal pilkada dan pilpres.
Pada 2012 dalam Pilgub DKI saat menjelang putaran I semua
pasangan cagub-cawagub hampir selalu “menyerang” Foke-Nara dalam kampanye-kampanye
mereka. Masuk ke putaran II setelah kontestannya tinggal Foke-Nara dan
Jokowi-Ahok, semua pasangan calon lainnya (kecuali pasangan independen
Faisal-Biem dan Adji-Riza) malah berbalik 180 derajat mendukung Foke-Nara.
Itulah politik, yang sangat memesona karena menawarkan kekuasaan. Manfaat
kekuasaan itu sendiri sangat besar karena membuat pelbagai kepentingan
menjadi mudah untuk diraih.
Logika itulah yang menjelaskan kebenaran adagium Lord Palmerston
tadi. Logika yang sama juga dapat menjelaskan mengapa makhluk manusia disebut
sebagai political animal (Aristoteles) atau zoon politicon (Plato). Memang,
umumnya orang cenderung rakus kekuasaan, dan jika kekuasaan itu sudah
didapatkan, orang itu ingin mempertahankan dan bahkan memperbesarnya. Pemikir
politik lain, Harold Lasswell, pernah mengatakan bahwa politik adalah “siapa
mendapat apa, kapan, dan bagaimana”.
Dipadukan dengan adagium Palmerston di atas, tak heranlah jika
politik kerap terlihat kompromistik sebagaimana yang diperlihatkan oleh
partai-partai yang berkoalisi sebentar ke sini sebentar lagi ke sana. Koalisi
politik memang niscaya penuh kompromi dan karena itu tak mungkin tanpa
syarat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar