Kerbau
Nur Haryanto ; Wartawan
Tempo
|
KORAN
TEMPO, 08 November 2014
Namanya Bagong. Nama tenar dari tokoh punakawan dalam kisah
pewayangan ini disematkan kepada seekor kerbau milik Keraton Kasunanan
Surakarta. Pekan lalu, Bagong meninggal, atau lebih tepatnya mati.
Kematiannya cukup tragis, karena Bagong ditusuk dengan tombak oleh seseorang
dua pekan sebelum mengembuskan napas terakhir.
Bagong adalah kerbau albino yang disebut orang Jawa sebagai kebo
bule. Meski keturunan "darah biru" dari kerbau Keraton Surakarta,
yakni Kyai Slamet, Bagong dipelihara bersama kerbau warga di area persawahan
di Sukoharjo, Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari keraton. Sebagai
penghormatan terakhir, Bagong dikubur di Siti Hinggil halaman keraton.
Alangkah istimewanya kerbau ini. Sebenarnya budaya
mengistimewakan kerbau bukan milik orang Jawa saja, tapi juga orang Toraja.
Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dalam upacara Rambu Solok-upacara
kematian-yang agung dan sakral, ratusan kerbau dipotong. Salah satu kerbau
yang menjadi favorit adalah Tedong Bonga, kerbau yang mempunyai warna belang
hitam dam putih. Harga kerbau jenis ini bisa mencapai Rp 350 juta, untuk
dipancung dalam upacara itu. Mungkin orang Jawa memilih untuk membeli mobil
dengan uang sebesar itu.
Tanduk kerbau yang tersisa dalam upacara itu kemudian disusun di
depan tongkonan, sebutan rumah adat Toraja. Tanduk kerbau ini menjadi
perlambang status sosial warga Tana Toraja. Semakin banyak susunan tanduk
kerbau di depan tongkonan, semakin tinggi pula status sosial maupun ekonomi
seseorang.
Tak kurang 95 persen populasi kerbau di dunia ada di Asia,
termasuk di Pakistan, India, Bangladesh, Bhutan, Nepal, Cina, dan kawasan
Asia Tenggara. Hewan ternak ini tak cuma membantu petani membajak sawah, tapi
juga rata-rata diambil daging dan susunya.
Ada dua subspesies kerbau yang hidup di Asia, yaitu kerbau
sungai yang dapat dijumpai di Nepal pada ketinggian 2.800 meter dan kerbau
rawa yang ada di Danau Panggang, Kalimantan Selatan. Untuk kerbau rawa di
tempat ini, harganya sekitar Rp 10 juta-kalah jauh dibanding harga kerbau di
Toraja. Namun peternak kerbau rawa di Kalimantan Selatan rata-rata memiliki
40-100 ekor. Jika pemiliknya hendak naik haji, tinggal jual 3-4 kerbau.
Khasanah kerbau sebagai hewan istimewa juga telah ada dalam
masyarakat muslim di Kudus, Jawa Tengah, sejak abad ke-14. Saat Idul Adha,
umat muslim di Kudus memilih untuk memotong kerbau dibanding sapi atau
kambing.
Konon, Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus melarang pengikutnya
menyembelih sapi sebagai hewan kurban. Mayoritas penduduk Kudus yang menganut
agama Hindu meyakini sapi sebagai hewan suci. Untuk menghormati umat Hindu,
Sunan Kudus menganjurkan umat Islam menyembelih kerbau sebagai hewan kurban
pada hari raya Idul Adha.
Soal kerbau, masih ada lagi kisah uniknya. Dalam sebuah demo 100
hari pemerintahan SBY-Boediono, 28 Januari 2010, para pengunjuk rasa menyeret
kerbau besar dengan tanduk panjang ke Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Tubuh kerbau itu dicat dengan tulisan "SiBuYa".
Berselang beberapa hari setelah demo, Presiden SBY di sela-sela pengantar
pembuka rapat kerja mengatakan: "Ada
yang bawa kerbau, SBY badannya besar, malas, dan bodoh…."
Bagong, Tedong Bonga, atau SiBuYa, bagi saya hanyalah kerbau
dalam keseharian kita. Ia mewakili kelas dan profesi: menjadi bangsawan, hartawan, atau demonstran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar