Kenaikan
BBM dan Derita Wong Cilik
Tom Saptaatmaja ; Teolog
|
KORAN
SINDO, 19 November 2014
“Menangislah dengan yang menangis!” (St
Paul)
Bila
kita jeli membaca tanda- tanda zaman, nurani kita pasti akan terusik melihat
makin keruhnya nasib para buruh. Keputusan pemerintah Jokowi menaikkan BBM
yang diumumkan Senin (17/11) jelas menjadi kado pahit bagi wong cilik atau
kaum lemah. Jelas keputusan itu membuat hidup wong cilik kian menderita. Aneh
bahwa penderitaan kaum lemah justru tengah terjadi di negeri, yang melimpah
ruah dengan sumber daya alam.
Logika
sederhana kaum buruh hanya melihat, sumber daya alam melimpah negeri ini
sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama, sesuai amanat
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Apalagi kabarnya harga minyak dunia juga turun
sehingga menjadi sekitar Rp6.000 per liter. Namun, mengapa di sini harga BBM
(premium) justru naik dari Rp6.500 menjadi Rp8.500?
Ada
ekonom yang menulis 10 alasan Jokowi menaikkan BBM, tapi kaum lemah tidak
boleh punya alasan, karena mau tak mau, kaum lemah hanya bisa patuh pada
kebijakan penguasa. Seharusnya dengan melimpahnya sumber daya alam, hal ini
bisa membuat rakyat, khususnya kaum lemah, bisa diangkat derajat dan
martabatnya sehingga menjadi lebih sejahtera.
Tapi
yang terjadi justru kekayaan alam kita, lewat berbagai regulasi, justru
diskenariokan untuk hanya menyejahterakan investor asing dan segelintir elite
kita yang tahu mekanisme dan seluk-beluk jual beli BBM. Bukan hanya kenaikan
BBM yang mencemaskan kaum lemah, tapi terlebih efek domino kenaikan BBM yang
langsung banyak mendongkrak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok.
Bisa
dipastikan UMK atau upah yang dinaikkan sejak Januari 2014, misalnya, akan
merosot lagi nilainya dan tidak cukup untuk memenuhi standar minimal hidup
layak. Jangan lupa juga ada banyak pekerja di berbagai sektor informal, masih
digaji di bawah ketentuan UMK. Bahkan di Surabaya masih banyak pekerja yang
diupah Rp800.000 per bulan.
Tak
mengherankan bila berbagai elemen wong cilik seperti tukang ojek, satpam, dan
buruh di berbagai penjuru Tanah Air pasti menentang kenaikan BBM. Dalam
beragam unjuk rasa, misalnya banyak buruh berteriak dan berorasi. Namun,
sejatinya, di lubuk hati yang terdalam para buruh sedang menangis.
Bahkan
sudah cukup banyak air mata yang terkuras. Sayang, teriakan, orasi atau
tangisan wong cilik itu hanya membentur dinding keangkuhan para penguasa,
yang tidak punya empati lagi pada rakyatnya sendiri. Memang wong cilik
seperti buruh mengalami kenaikan UMK dalam beberapa tahun terakhir, termasuk
untuk UMK 2015 mendatang.
Namun,
kenaikan itu sesungguhnya menjadi sia-sia akibat kenaikan BBM. Bagaimana,
kenaikan BBM jelas memicu inflasi dan kenaikan harga. Presiden memang sudah
membagi jutaan kartu sakti untuk jutaan kaum lemah, yang per kartunya senilai
Rp 200.000 per bulan. Pertanyaannya, apakah kartu itu bisa menghentikan
inflasi dan kenaikan harga yang sudah sedemikian mencekik leher kaum lemah.
Maka
jangan bertanya, apakah dengan UMK yang berlaku tahun ini atau awal tahun
depan, para buruh atau wong cilik yang berpenghasilan pas-pasan mampu
memenuhi standar hidup yang layak? Simak saja, mengingat tidak mencukupi
lagi, banyak anak buruh harus dititipkan pada kakek nenek atau kerabat di
kampung halaman, sehingga relasi dan interaksi dengan orang tuanya menjadi
kian jarang dan dalam beberapa hal, memicu kenakalan pada anak.
Maklum
proses tumbuh kembang mereka menjadi terganggu karena ketidakhadiran orang
tua mereka yang memilih bekerja sebagai buruh di kota dengan gaji yang tidak
seberapa. Kenaikan BBM, jelas bisa mempengaruhi relasi kaum lemah dengan
pasangan hidupnya. Selama ini saja, tingkat perceraian di kalangan kaum
menengah ke bawah tidak bisa dikatakan rendah.
Memang
ketika suami istri sama-sama bekerja, sementara anak-anak dititipkan atau
berada jauh dari keluarga, kohesivitas atau keterikatan pada nilai-nilai dan
komitmen pada keluarga bisa memudar. Dunia kerja pun tidak membawa sukacita.
Filosof Yunani kuno, Sophocles, menulis ”Without
labor nothing prospers.” (Tanpa
pekerja atau buruh, tak akan ada kemakmuran).
Tentu,
ada yang kian makmur, seperti para elite di Senayan dan mereka yang di dalam
Istana. Tapi apa artinya makmur, jika harus ada kaum lemah yang kian
babak-belur? Akibat kenaikan BBM, pasti menyengsarakan kaum lemah seperti
buruh, nelayan, petani, para pekerja informal dan ”wong cilik” lainnya.
Betapa
mudahnya kaum lemah di manapun dipinggirkan lewat sebuah kebijakan penguasa.
Kaum lemah juga bisa terus dipermainkan, terlebih lewat praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme. Simak saja, para pemimpin dari pusat hingga daerah
hanya memperkaya diri sendiri, kelompok atau parpolnya. Persetan jeritan pilu
para buruh, petani atau wong cilik! Ini jelas mengingkari citacita luhur
politik, yakni “bonum commune” (kesejahteraan
bersama).
Peran Pemimpin
Padahal,
jika ada pemimpin yang mau membuat kebijakan pro “poor” seperti mendiang Hugo
Chevez di Venezuela, sesungguhnya masih mungkin untuk mengurangi penderitaan
kaum lemah. Selain Chavez, kita mungkin perlu memiliki pemimpin seperti
mantanPresiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.
Seperti
diketahui, Lula lahir pada 1945 dari keluarga miskin. Saking miskinnya dia
sempat tak lulus SD, mengingat dia terpaksa harus bekerja sebagai buruh
pabrik pada umur 14 tahun. Terdorong cita-cita luhur mengentas para buruh
yang terjerat kemiskinan, Lula memilih menjadi aktivis serikat buruh.
Karena
kerap bersuara lantang menentang ketidakadilan, dia pernah merasakan
pengapnya penjara militer. Mengingat jalan perubahan secara signifikan dan
masif, hanya bisa dilakukan lewat politik, Lula mendirikan Partido dos
Trabalhadores (Partai Buruh Brasil) pada 1980 dan terpilih menjadi anggota
parlemen enam tahun kemudian.
Prestasinya,
di tengah proses transisi ke demokrasi (dari era militer sebelumnya),
berhasil memperkuat hak buruh tatkala UUD diamendemen, tentu dengan kekuatan
partainya. Lula selalu menjadi capres dari partainya pada Pemilu 1990, 1994,
dan 1998, tapi terus kalah. Akhirnya kemenangan pun diraih dalam Pemilu 2002
dan dipilih lagi empat tahun kemudian.
Sebagai
presiden yang berlatar belakang miskin, Lula mampu mengentas jutaan warga
miskin Brasil lewat kebijakan yang diambilnya. Yang terkenal adalah program
tunjangan keluarga (bolsa familia),
berupa bantuan untuk keluarga miskin yang punya anak bersekolah. Juga ada
program melawan kelaparan atau gizi buruk yang disebut “fome zero”. Banyak buruh sungguh terbantu.
Kemiskinan
berhasil diatasi, karena yang berpendapatan di bawah USD1,25 per hari
(kriteria kemiskinan ekstrem) berkurang dari 10% pada 2004, menjadi 2% pada
2009. Malah menurut Bank Dunia, ekonomi Brasil kini nomor tujuh di dunia.
Jelas ini berkat Lula yang tidak hanya beretorika, tapi langsung membuat
perubahan nyata untuk mengentas kaum lemah khususnya buruh, petani, dan
nelayan.
Oleh sebab itu, kita yang kuat, tidak boleh semena-mena pada yang
lemah. St Paul di awal tulisan ini sudah mengajak yang kuat untuk berempati
pada yang lemah. Apalagi, dalam pemilu, banyak kaum lemah telah mengantar
orang untuk meraih kekuasaan. Tapi mengapa setelah duduk di kursi kekuasaan,
ada kebijakan yang membuat leher kaum lemah kian tercekik? Sakitnya tuh di sini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar