Keanekaragaman
dalam Pembelajaran
Iwan Pranoto ; Pengamat Pendidikan
|
KORAN
TEMPO, 20 November 2014
Cara
menyampaikan pelajaran rumus luas segitiga dan luas cakram tentu berbeda.
Walau sama-sama bertema luas, ciri dan sifat kedua konsep tersebut berbeda.
Rumus luas segitiga melibatkan penghitungan eksak semata dan terkait dengan
persegi panjang, sedangkan rumus luas cakram pada tingkat SD melibatkan
penghitungan yang harus dinyatakan dalam penaksiran.
Tanpa
memahami perbedaan ini, pemahaman tentang gagasan luas dan keterampilan
berhitung eksak serta penaksiran murid mungkin tak bisa dikuasai. Guru yang tak
memahaminya sangat mungkin akan menyampaikan kedua rumus tersebut bak turun
dari langit dan harus dipercaya. Ketakpahaman guru tentang konsep keilmuan
merupakan cikal-bakal pembelajaran dogmatis. Sebaliknya, pemahaman keilmuan
guru yang mendalam akan menghasilkan kelas dengan suasana ilmiah dan toleran.
Profesor
H. Wu dari Universitas Berkeley menegaskan bahwa content dictates pedagogy in mathematics education atau bahan
ajar mendikte pedagogi dalam pendidikan matematika (Wu, 2004). Dapat
dibayangkan, pelajaran geometri dan pengukuran yang sama-sama membahas luas
saja begitu berbeda cara penyampaiannya, apalagi cara mengajarkan ilmu hayat
dan sejarah.
Keanekaragaman
metode pembelajaran merupakan keniscayaan. Tak mungkin ada satu metode
pembelajaran yang sama dan dapat dijejalkan ke semua mata pelajaran di
seluruh Indonesia. Bahkan, sementara pada hari ini seorang guru memilih
sebuah metode pembelajaran tertentu, sangat mungkin pada hari lain guru
tersebut menerapkan metode lain.
Namun,
walau berbineka dalam pembelajaran, pendidikan Indonesia tetap mempunyai
unsur kebersatuan, yakni prinsip. Misalnya, pembelajaran matematika di
Merauke dan pembelajaran seni di Nias berbeda. Alat bantu ajar keduanya
berbeda, tapi harus berprinsip sama, yakni berpusat pada murid. Kedua
pendidik yang mengelola dua mata pelajaran yang berlainan itu perlu
berprinsip sama: tindakan pembelajaran dilakukan terutama demi perkembangan
murid. Keduanya juga perlu berprinsip sama, bahwa perkembangan setiap murid
hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang menempatkan siswa sebagai
pelaku aktif utama dan dengan cara sukacita. Prinsiplah yang mempersatukan
pendidikan Indonesia. Semoga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat
segera merumuskan prinsip pendidikan Indonesia.
Adapun
anggapan bahwa penyeragaman kecakapan anak merupakan pemersatu pendidikan
Indonesia harus ditanggalkan. Justru keanekaragaman kecakapan setiap anak
yang perlu dirayakan dan didorong. Jika keanekaragaman berkecambah di negara
kepulauan dengan panjang dari London sampai Turki ini, sungguh tak masuk akal
jika kecakapan warga harus diseragamkan, terutama dengan alat pemangkas
keanekaragaman sistematis seperti ujian nasional. Barang yang diproduksi
pabrik memang perlu distandarkan, tapi pendidikan umum tak boleh
menyeragamkan satu pun anak manusia dan kecakapannya. Pendidikan umum tidak
sama dengan pelatihan profesi yang memang menyeragamkan keterampilan khusus.
Satu
kurikulum nasional yang tak cuma berisi pengetahuan-tapi juga menetapkan
suatu cara untuk menyampaikannya kepada seluruh sekolah di Indonesia-tentu
aneh. Di samping keanekaragaman keilmuan seperti diterangkan di atas, keadaan
lingkungan dan masyarakat Indonesia juga sangat beragam.
Sejalan
dengan kenyataan ini, idealnya kurikulum setiap mata pelajaran dirancang dari
bawah, yang artinya perlu berangkat dari keunikan keilmuan. Misalnya, mata
pelajaran sejarah tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan mata
pelajaran ilmu pengetahuan alam. Proporsi pengembangan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dalam setiap mata pelajaran juga berbeda.
Dengan
dasar itu, Kemendikbud sebaiknya tidak bertindak sebagai penentu kurikulum sekolah,
seperti pesan UU Sisdiknas. Kemendikbud sebaliknya mendorong setiap sekolah,
bahkan setiap pendidik, agar berinovasi mengembangkan kurikulum mata
pelajaran yang menurut nalar mereka paling sesuai. Penghargaan atas
kemandirian ini merupakan pengejawantahan penghargaan bagi profesionalisme
guru.
Kemendikbud
cukup menetapkan kerangka kurikulum serta pengetahuan atau keterampilan
paling minimum yang harus diajarkan sampai akhir jenjang SD, SMP, dan SMA.
Ini dapat merujuk pada standar isi buatan BSNP untuk sementara waktu. Soal
kapan harus mengajarkan materi tertentu, serahkan kepada pendidik.
Kurikulum 2013 sebaiknya dianggap sebagai sebuah pilihan kurikulum
saja. Tak perlu menghabiskan dana, tenaga, dan waktu lagi untuk membuat
penggantinya. Sudah ada beberapa kurikulum nasional. Dari yang sudah ada saat
ini, berikan kebebasan kepada sekolah dan pendidik untuk memilih kurikulum
dan memodifikasinya agar sesuai dengan keadaan siswa dan sekolah mereka.
Perlu pula anjuran soal keanekaragaman sumber belajar, misalnya dengan
anjuran penggunaan lebih dari satu sumber buku ajar (gratis dan elektronik).
Dengan cara ini, keanekaragaman benar-benar mengejawantah hingga ke inti
praktek pendidikan. Bukankah keanekaragaman itu yang diangankan Presiden Joko
Widodo dalam bidang pendidikan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar