Kampus
Krisis Nalar Etik
Mailatun Nasiroh ; Peneliti Utama Centre for Developing Islamic
Gender
|
SINAR
HARAPAN, 20 November 2014
Publik
sempat dibuat tidak percaya dengan derasnya pemberitaan media massa tentang
keterlibatan seorang akademikus, Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, yang melakukan tindakan tidak
terpuji. Ia adalah Profesor Musakkir (M), yang diringkus aparat kepolisian
saat berpesta sabu-sabu bersama mahasiswinya, Nilam, di Hotel Grand Malibu,
Makassar.
Dunia
pendidikan tinggi, terutama kampus, kembali tercoreng akibat ulah akademikus
yang bernalar etik. Biasanya, kasus-kasus yang lumrah terjadi di kalangan
akademikus sejauh ini terjadi karena plagiarisme dan kasus korupsi yang
melanda akademikus dengan tugas sebagai pejabat publik. Nah, kasus yang
menimpa M boleh dikatakan sangat membuat prihatin dunia pendidikan sepanjang
tahun ini. Tidak mengherankan jika kasus M membuat tersentak karena menjadi
tamparan keras bagi dunia akademik.
Kasus
yang sedang menimpa M telah mencederai korps guru besar yang sejatinya
menjadi garda terdepan penjaga moral dan integritas kampus. Seharusnya,
dengan basis ilmu dan integritas yang dimiliki, guru besar menjadi role model
akademikus muda dalam mengembangkan keilmuan. Kita mesti ingat akan posisi
seorang profesor yang menempati posisi paling paripurna nan sempurna dalam
menapaki karier akademik. Ini karena tidak semua akademikus bisa meraih gelar
profesor.
Apalagi,
salah satu persyaratan mengajukan guru besar (profesor) adalah memublikasi
penelitian di sebuah jurnal internasional. Karena itu, ketatnya persyaratan
ini menjadikan guru besar lebih selektif sebagai upaya akselerasi akademik di
Indonesia.
Selain
itu, M telah menelanjangi kebobrokan kampus dengan perlahan-lahan membuka
topengnya yang selama ini berada di menara gading. M telah membuka cara
berpikir kita bahwa kampus bukan tempat para malaikat pembawa perubahan.
Berilmu
namun tidak bermoral adalah hal yang sangat miris bagi kemajuan bangsa.
Karena itu, menjadi manusia yang berilmu harus diimbangkan dengan ilmu
spiritual dan emosional sehingga ada keseimbangan kepribadian.
Apalah
arti seorang profesor jika tidak mencerminkan teladan yang baik bagi dunia,
walapun secara logika perkembangan tingkat pertimbangan seseorang amat
berhubungan dengan tingkat intelegensi pengetahuan tentang moral yang lebih
tinggi dan kecakapan seseorang dalam memahami nilai-nilai kehidupan.
Seorang
William Franklin Jr mengemukakan, “When wealth is lost, nothing is lost. When
health is lost, something is lost. When character is lost, everything is
lost” (Jika harta benda yang hilang, tidak ada sesuatu berarti yang hilang.
Jika kesehatan yang hilang, ada sesuatu yang hilang. Jika karakter hilang,
segala sesuatunya hilang).
Mengembalikan
Citra Kampus
Kampus
adalah ruang berdialektika untuk mencari kebenaran demi kebenaran dalam ruang
lingkup personal maupun sosial kemasyarakatan. Kampus juga mempunyai visi dan
nilai-nilai luhur yang dianutnya.
Kampus
tidak lain sebagai ruang pengembangan keilmuan lewat tridarma perguruan
tingginya; pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Oleh sebab itu, kampus
adalah ruang membentuk karakter kepribadian yang utuh sehingga nantinya dapat
memosisikan diri di tengah embusan angin perubahan yang kian kencang.
Tidak
bisa dimungkiri, kasus M sangat berdampak terhadap kepercayaan masyarakat
terhadap keberadaan kampus. Dengan kebebasan informasi, masyarakat sekitar
sudah semakin pintar memilih dan memilah informasi. Secara etis, kasus M
sudah membuat citra kampus dalam wajah yang tidak menguntungkan.
Kampus
kehilangan fungsi vitalnya di tengah masyarakat. Kampus mulai tergerus
cita-cita luhurnya sebagai kekuatan transformasi sosial, pusat agent of
change bagi penerus bangsa.
Mengembalikan
citra baik kampus di tengah hiruk-pikuk kasus M adalah pekerjaan yang tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Paling tidak, sivitas akademika berusaha
mengokohkan visi dan nilai luhur yang dianutnya.
Mengembalikan kepercayaan publik kepada kampus sebagai agen pembangunan
sosial rasanya menjadi agenda penting yang harus dilakukan. Salah satunya
gerakan tes urine secara temporer, mungkin bisa dilakukan untuk mengurangi
penyebaran narkoba di kampus. Kita masih percaya kampus adalah pembawa
perubahan bangsa ini ke arah yang lebih sempurna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar