Jokowi-Indonesia
Berhijrah
Saratri Wilonoyudho ; Dosen
Universitas Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 27 Oktober 2014
TANGGAL pelantikan Jokowi-JK mendekati 1 Muharam. Berbeda dari
tahun baru Masehi, tahun baru Islam tidak ditandai dari tanggal kelahiran
Rasulullah tapi berdasarkan tahun hijrah Bani saw ke Madinah. Periode Madinah
inilah yang merupakan tonggak sesungguhnya pengamalan Islam mengingat di kota
itu Rasulullah berhasil menata masyarakat madani yang demokratis, dan dengan
semangat pluralisme mampu membangun peradaban baru.
Ada satu pemikiran Nabi saw yang terkenal, yakni Piagam Madinah,
perjanjian agung yang menyatukan kaum Nasrani, Yahudi, Majusi, dan Islam. Mereka
saling menghargai, untuk urusan dunia selalu bersahabat dan bahu-membahu
membangun peradaban. Sebaliknya untuk urusan akhirat mereka menghormati
dengan menyerahkan kepada pribadi masing-masing.
Di Madinah, Rasulullah mewakafkan sebagian besar hartanya untuk
membangun infrastruktur dan sarana perekonomian lainnya seperti (dalam
istilah sekarang) koperasi, UMKM, irigasi, pertanian, dan sebagainya.
Hasilnya adalah peradaban baru yang diwarnai nilai-nilai religiositas.
Dari peristiwa itulah mestinya tiap kali kita memperingati tahun
baru Islam maka semangat untuk berhijrah perlu terus ditanamkan dan
diupayakan kenyataannya. Kita sering terjebak hanya sebatas perayaan seremoni
tak bermakna, bahkan dihubungkan dengan hal-hal mistis 1 Syura.
Mengapa kita harus berhijrah? Pasalnya saat ini kita berada di
titik nadir sebagai bangsa yang selalu kalah. Sikap kalahan ini terlihat dari
pembiaran bangsa lain ”menjajah” kita dengan mendikte perekonomian. Mereka
habis-habisan mengeruk sumber daya alam Indonesia tanpa kompensasi yang
memadai.
Padahal pada zaman dulu Bung Karno gigih melawan kapitalisme
asing yang tidak adil terhadap bangsa ini. Go to hell with your aid, kata
Bung Karno yang berprinsip biarkan hasil tambang tersimpan dulu sebelum
bangsa ini sanggup menggali dan mengolahnya sendiri.
Demikian pula kemembanjiran barang impor yang tidak dapat
dicegah, membuktikan kekalahan telak bangsa ini. Hanya sekadar buah, sayur,
bahkan garam pun kini produksi asing, terutama dari Tiongkok, Taiwan,
Thailand, dan Amerika Serikat. Padahal tanah bocoran surga ini sangat kaya
hasil bumi.
Kita memerlukan pemimpin seperti Gandhi yang cerdas, berani, dan
memiliki etika-spiritualistik tinggi. Untuk melawan penjajah Inggris, dia
melancarkan jurus swadesi, alias memproduksi barang-barang sendiri. Gandhi
memberi contoh bagaimana ia merajut sendiri benang dan membuat tekstil tanpa
harus bergantung Inggris. Gandhi tidak mengajarkan kekerasan karena itu akan
kontraproduktif. Melalui ahimsa, Gandhi yakin dengan kekuatan sendiri maka
bangsanya bisa menjadi hebat dan jaya.
Bung Karno pun punya jurus Berdikari, akronim dari berdiri di
atas kaki sendiri. Dulu, untuk melancarkan jurus penaklukan, Belanda
menggolongkan pribumi sebagai warga kelas tiga di bawah bangsa Eropa dan
bangsa Timur Jauh (Arab, Tiongkok, dan India). Kaum pribumi digambarkan malas
dan dicitrakan suka mencambuk kerbau atau sapi, yang juga disimbolkan sebagai
hewan malas (Brooshooft dalam Het Leven in Indie atau Kehidupan di
Hindia/Indonesia).
Bangsa Kuli
Para pekerja Inlander selalu diletakkan pada kasta paling bawah
dalam setiap urusan. Kalaupun bekerja di kantor pemerintah kolonial, pangkat
maksimal hanya sampai juru ketik atau klerk rendahan yang tidak memerlukan
kecerdasan otak. Lebih ”jahat” lagi politik pencitraan kolonial sebagaimana
dikatakan Brooshooft tersebut, kaum pribumi disebutnya bangsa kuli.
Dalam berhijrah, harus ada upaya kembali membangkitkan bangsa
ini. Dalam bahasa ilmiah harus ada ”etos kerjaî yang mengacu orientasi kepada
dunia batin dan duniawi-material. Penyeimbangan dua hal itu akan memunculkan
kepuasan batin.
Dalam istilah Gordon Allport dan David Reisman, motivasi kuat
untuk meraih cita-cita akan membawa pada perasaan penuh optimisme. Manusia
adalah the center of human action — meminjam istilah Megawangi (1995)— yang
mencurahkan segala energinya untuk mewujudkan mimpinya.
Etos kerja dapat dibangkitkan lewat dunia pendidikan. Di tengah
kemerebakan tawuran pelajaran, kasus pelecehan siswa di ajang MOS, rendahnya
hasil uji kompetensi guru dan sebagainya harus ada upaya komprehensif. Dunia
pendidikan tidak hanya menanamkan aspek kognitif yang diukur dari
keberhasilan dalam ujian nasional, tapi juga aspek etos kerja lain seperti
kreativitas siswa, disiplin, tanggung jawab, tahan banting, dan aneka
keterampilan psikomotorik lain yang mendukung terbentuknya etos bangsa.
Kasihan nenek moyang kita yang dulu jaya di era Majapahit dan
Sriwijaya, yang sanggup memimpin bangsa lain sembari mengembangkan budaya
kerja melintasi dari Asia sampai Afrika. Namun kini anak cucunya menjadi
bulan-bulanan bangsa lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar