Indonesia
dan MEA
Yose Rizal Damuri ; Kepala
Departemen Ekonomi,
Centre for Strategic and International Studies
|
KOMPAS,
08 November 2014
PADA tanggal 12 dan 13 November pekan depan, pemimpin
negara-negara ASEAN akan melakukan pertemuan tingkat tinggi di Myanmar.
Pertemuan ini menjadi penting mengingat pada akhir tahun depan, negara
anggota ASEAN sepakat untuk menjalankan inisiatif Masyarakat Ekonomi ASEAN
dengan sepenuhnya.
Akan tetapi, walaupun hanya tinggal setahun, informasi mengenai
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di Indonesia masih tumpang tindih dan tidak
jelas. Ada banyak ”mitos” yang berhubungan dengan MEA dan sering digunakan
dalam retorika politik dan mempertahankan kelompok kepentingan.
Mitos dan realitas dalam
MEA
Mitos pertama mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN
Economic Community (AEC) adalah adanya perubahan besar yang akan dihadapi
oleh perekonomian Indonesia pada 2015 mendatang. Kenyataannya adalah proses
integrasi telah berlangsung sejak dua dekade yang lalu dengan pembentukan
ASEAN Free Trade Area (AFTA—Zona Perdagangan Bebas ASEAN).
Proses integrasi di bawah MEA telah berlangsung selama tujuh
tahun, dengan dimulainya implementasi komitmen yang ada dalam AEC Blueprint.
Saat ini pelaksanaan komitmen tersebut telah mencapai lebih dari 80 persen.
Jadi, sangat kecil kemungkinan akan terjadi ”big-bang” di perekonomian
Indonesia.
Mitos kedua adalah berkaitan dengan penataan pasar tunggal
ASEAN. Banyak pihak khawatir produk dari negara-negara ASEAN lainnya akan
mengalir ke pasar Indonesia. Meskipun benar bahwa arus barang di antara
negara-negara
anggota saat ini sudah lebih bebas, sebagai hasil dari 20 tahun
integrasi, barang impor masih harus mengikuti semua prosedur perdagangan yang
diperlukan.
Pasar tunggal ASEAN berbeda dari pasar tunggal di Uni Eropa
karena barang, jasa, dan manusia dapat dengan bebas berpindah dari satu
negara ke negara lain. Bahkan, untuk sektor jasa hampir tidak ada
liberalisasi yang signifikan
dalam MEA. Komitmen anggota ASEAN untuk membuka pasar jasa dalam
kesepakatan ini begitu rendah sehingga tidak akan mengubah rezim peraturan
yang berlaku.
Mitos ketiga berkaitan dengan pekerja asing dari negara-negara
ASEAN yang, katanya, akan membanjiri pasar tenaga kerja Indonesia sebagai
akibat dari MEA. Kenyataannya adalah bahwa komitmen yang ada hanya terkait
dengan pergerakan tenaga kerja terampil.
Lebih jauh lagi, kesepakatan ini terbatas pengakuan atas
pendidikan dan keterampilan yang diterima delapan jenis profesi. Ini disebut
dengan mutual recognition agreement
(MRA). Agar para profesional tersebut dapat bekerja di negara ASEAN lain
secara legal, mereka masih harus mendaftarkan diri, mengambil ujian
kualifikasi dan memenuhi aturan imigrasi.
Pertanyaan yang biasa diajukan adalah apakah Indonesia sudah
siap menghadapi MEA? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat MEA
ini secara menyeluruh.
Sebenarnya ada tiga aspek utama dari MEA. Aspek pertama adalah
aspek liberalisasi. Liberalisasi ini telah berlangsung sejak 20 tahun lalu
dan untuk bea masuk setelah selesai pada 2010.
Aspek kedua adalah fasilitasi. Aspek fasilitasi ini akan
menguntungkan perekonomian Indonesia sendiri, terutama bagi usaha kecil dan
menengah (UKM). Saat ini UKM masih kurang terlibat dalam perdagangan
internasional karena mahalnya biaya terkait. Fasilitasi perdagangan, seperti
ASEAN Single Window, akan menjadikan prosedur perdagangan menjadi lebih
mudah.
Aspek ketiga adalah reformasi ekonomi. Komitmen dalam AEC
Blueprint mengharuskan negara anggota menjalankan berbagai perbaikan ekonomi
demi kebaikan negara anggota itu sendiri. Inisiatif seperti pelaksanaan
kebijakan kompetisi, penciptaan aturan investasi yang mendukung, serta
perlindungan atas hak cipta akan mendorong penciptaan struktur ekonomi yang
lebih berdaya saing, di samping juga mendukung integrasi ekonomi di kawasan.
Pembahasan mengenai MEA di media biasanya terbatas pada aspek
liberalisasi saja. MEA dianggap hanya menciptakan pasar bebas karena
Indonesia tidak dapat mengambil keuntungan secara optimal. Kita sering
melupakan bahwa MEA juga mencakup aspek fasilitasi dan komitmen yang, jika
diterapkan, akan mendorong adanya reformasi ekonomi.
Beberapa negara ASEAN, seperti Vietnam dan Malaysia, menggunakan
terbentuknya MEA sebagai pendorong reformasi ekonomi, seperti menyederhanakan
regulasi bisnis ataupun untuk kebijakan persaingan usaha. Negara-negara
tersebut mendapatkan manfaat dari MEA lebih dari sekadar akses pasar ke
negara ASEAN lainnya.
Mengoptimalkan manfaat
Jadi, pertanyaan yang tepat mungkin bukan lagi apakah Indonesia
siap atau tidak memasuki MEA, melainkan bagaimana kita mengoptimalkan manfaat
dari dijalankannya berbagai komitmen dalam MEA. Sayangnya, Indonesia masih
tertinggal dalam hal tersebut. Penerapan single
window untuk fasilitasi perdagangan, misalnya, hanya terbatas di beberapa
daerah, dengan kinerja yang di bawah harapan. Pemerintah Indonesia juga
terlihat enggan menerapkan berbagai komitmen yang akan mempermudah prosedur
investasi dan perdagangan.
Untuk dapat meraih manfaat yang optimal dari MEA, Indonesia
perlu menjalankan berbagai komitmen yang diperlukan, terutama dalam membangun
fasilitasi perdagangan dan investasi serta melakukan reformasi ekonomi.
Sentimen negatif terhadap integrasi dan kecenderungan inward
looking tidak akan membantu negara ini dalam memasuki era MEA. Lebih buruk
lagi, sikap tersebut hanya akan menghambat proses pembangunan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar