DPR
dan Pertaruhan Demokrasi
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Visiting
Researcher di University of Western Sydney
|
KORAN
SINDO, 04 November 2014
Beberapa hari ini, di tengah aktivitas akademis yang sedang
dilakukan di University of Western Sydney (UWS), penulis menyimak pemberitaan
tentang politik Indonesia melalui media-media Australia terutama televisi.
Salah satu topik hangat beberapa televisi Australia menyangkut Indonesia
adalah soal munculnya pimpinan DPR “tandingan”. Mereka bisa memaklumi konteks
DPR yang terbelah menjadi kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi
Merah Putih (KMP).
Meskipun demokrasi selalu melibatkan kontestasi, jelas tergambar
keheranan mereka terkait munculnya pimpinan DPR “tandingan” tersebut. Ulasan
berita bernada sinis terkait hal ini, sesungguhnya sangat bisa dimaklumi,
karena fenomena yang sama juga disikapi secara kritis di berbagai media dalam
negeri. Jika dibiarkan terus-menerus, hal ini menjadi pertaruhan berisiko
bagi demokrasi Indonesia dan reputasi kita di dunia internasional.
Wakil Rakyat?
Indonesia memang memasuki fase pemerintahan terbelah (divided government). Satu kondisi yang
merujuk pada apa yang kerap terjadi di Amerika Serikat. Partai yang menguasai
Kongres adalah partai yang berseberangan dengan partai yang mengusung
presiden. Hal berisiko dari situasi semacam ini adalah zero-sum game. Kedua
belah pihak sama-sama ngotot, dan lebih mementingkan kelompoknya
sendiri-sendiri dan berprinsip “kalah jadi abu, menang jadi arang”.
Salah satu contoh tak simpatik mengemuka di DPR lewat drama
pimpinan DPR “tandingan”. Memang kekesalan dalam pertarungan perebutan
pimpinan DPR, MPR, dan alat kelengkapan Dewan lainnya pasti berimbas pada
suasana di DPR, terlebih polarisasi tajam di DPR itu sudah terbentuk lama
terutama saat rangkaian proses pemilu presiden dimulai. Titik kulminasi
politik nasional sempat mencair, terutama saat Jokowi-JK dilantik sebagai
presiden dan wakil presiden. Ada perjumpaan politik Jokowi dan Prabowo
beserta sejumlah elite lain di DPR maupun MPR. Namun saat itu, penulis
memprediksi bahwa suasana kekitaan antarelite tersebut tetap tidak akan
menghilangkan rivalitas tajam antara KIH dan KMP.
DPR sejatinya adalah wakil rakyat bukan wakil elite politisi!
Artinya sejak mereka ditahbiskan sebagai wakil rakyat yang terhormat, maka
sejak itu pula mereka harus berkhidmat pada urusan rakyat bukan semata
golongan. Dalam ranah intelektualitas, terdapat perbedaan mendasar berkenaan
dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632–1704) dan Montesquieu
(1689–1755). Locke dalam karyanya Two
Treatises of Government melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan
dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif dan federatif. Legislatif
merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Namun demikian, masyarakat yang
dimaksud bukan masyarakat umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat kecil atau
masyarakat biasa tak termasuk kategori struktur masyarakat yang layak dibela
dan diperjuangkan.
Dengan demikian, perwakilan rakyat dalam perspektif Locke ini
merupakan perwakilan kepentingan bangsawan untuk berhadap-hadapan dengan
penguasa yakni raja atau ratu. Rakyat kecil atau masyarakat biasa dibiarkan
untuk berjuang sendirian, tanpa akses pada proses pembuatan undang-undang.
Sementara dalam perspektif Montesquieu dalam mahakaryanya
Spirits of the Laws, membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Konsep yang kemudian dikenal dengan Trias Politika ini lantas
menjadi rujukan penting negara-negara di dunia.
Kekuasaan legislatif dalam versi Montesquieu membentuk struktur
politik yang fungsinya membentuk undang-undang. Ini merupakan lembaga
perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung
aspirasi masyarakat, sehingga lembaga yang mengacu ke kekuasaan legislatif
ini diberi label House of
Representative (Amerika Serikat), House
of Common (Inggris) atau juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Versi Locke tampak lebih elitis dan tersegmentasi di kaum
bangsawan sementara Montesquieu lebih melihat konsep perwakilan secara luas
dan merata hingga ke rakyat jelata. Secara konseptual, sistem perwakilan DPR
kita mengacu pada konsep Trias Politikanya Montesquieu. Hal ini kita buktikan
dengan sistem Pemilu langsung yang telah kita gelar. Artinya setiap politisi
partai yang ada di DPR mewakili sejumlah konstituen di dapil masing- masing.
Lebih maju lagi, tak semua politisi yang memperoleh suara di dapil bisa
langsung melenggang ke Senayan jika partainya tak lolos parliamentary threshold (PT).
Namun demikian, dalam praktik politik sejak Orde Baru hingga
sekarang, DPR kita lebih mirip dengan konsep perwakilan versi Locke yakni
sebagai perwakilan bangsawan. Sejumlah hal yang kini diperjuangkan DPR nyaris
kepentingan elitis yang jauh dari kehendak untuk melindungi atau
menyejahterakan rakyat, meski kata rakyat kerap dijadikan komoditi. Yang
menonjol justru sejumlah agenda dan kepentingan kelompok menengah dan menengah
atas, yang menghendaki perlindungan hukum di balik sejumlah produk
perundang-undangan serta fungsi pengawasan dan penganggaran DPR.
Manajemen Kehormatan
Seharusnya, DPR meminjam pendapat John van Mannen dan Stephen
Barley (1985) mampu mengatur manajemen kehormatan organisasi minimal di empat
domain. Domain pertama ialah ecological
context yang merupakan dunia fisik, termasuk di dalamnya lokasi, waktu
dan sejarah, serta konteks sosial. Lingkungan fisik DPR di Senayan sudah
cukup representatif, periodisasi waktu menjabat pun sudah diatur jelas, hanya
saja DPR periode lalu tak mampu menghadirkan outputkinerja yang menyejarah
dalam konteks sosial bangsa Indonesia kekinian. DPR baru pun lebih banyak
diramaikan hanya oleh perebutan posisi, kubu-kubuan dll. Hal yang harusnya
diubah segera oleh para anggota DPR baru adalah menunjukkan komitmen dan
kehormatan sebagai wakil rakyat. Sehingga, DPR benar-benar menjadi wakil
rakyat.
Domain kedua, menyangkut jaringan atau interaksi diferensial (differential interaction). Dalam
konteks ini, DPR harus mau dan mampu memetakan interaksinya dengan pihak
lain. Yang menarik adalah, jika DPR periode ini mampu menghadirkan kekuatan
checks and balances melalui kekuatan efektif oposisi di parlemen. Hanya yang
mengkhawatirkan, para politisi DPR tak cukup dewasa berpolitik sehingga
saling menyandera satu dengan lainnya.
Dua domain terakhir adalah pemahaman kolektif dan tindakan
individual. Anggota DPR baik pribadi maupun kolektif, harus paham dan
konsisten memerankan sosok wakil rakyat, bukan sebaliknya memperkukuh
elitisme. Amanah rakyat telah dipegang oleh mereka untuk dioptimalkan menjadi
kerja nyata dalam satu periode jabatan. Kehormatan tak muncul serta-merta,
melainkan harus diatur dan dikendalikan melalui berbagai tindakan individual
yang relevan dengan fungsi mereka sebagai wakil rakyat, bukan wakil kaum
bangsawan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar