Diplomasi
Model Blusukan
Ludiro Madu ; Dosen
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
FISIP, UPN "Veteran" Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 07 November 2014
'Blusukan' tidak lagi hanya menjadi cara kerja Presiden Joko
'Jokowi' Widodo, namun juga mulai ditiru menteri-menterinya di Kabinet Kerja,
termasuk Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Lestari Priansari Marsudi. Dalam
konperensi pers pertamanya, Menlu Retno meminta para diplomat untuk melakukan
'blusukan' ke berbagai tempat yang menjadi wilayah tugasnya di luar negeri.
Diplomasi 'blusukan' bertujuan menegaskan kehadiran pemerintah di tengah
Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.
Diplomasi 'blusukan' Menlu Retno perlu didukung karena diplomasi
ini merupakan upaya riil untuk melakukan reorientasi politik luar negeri
Indonesia (Polugri) dari million
friends, zero enemy menjadi diplomacy
for people. Reorientasi itu didasarkan pada desain visi dan misi Polugri
yang berciri khusus dan berbeda dari pemerintahan SBY, yaitu menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Reorientasi tersebut tentu saja
---seperti ditegaskan Presiden Jokowi pada pidato pelantikannya--- dilakukan
berdasarkan doktrin Polugri bebas dan aktif.
Reorientasi Polugri dengan mempertimbangkan pengalaman polugri
selama 10 tahun pemerintahan SBY (2004-2009 dan 2009-2014). Karakteristik
Polugri pemerintahan SBY cenderung berorientasi global dan regional. SBY
membawa Indonesia menjadi sangat aktif dalam berbagai forum regional di ASEAN
dan kerjasama multilateral, seperti di G20, APEC, WTO, MDGs. Bahkan Indonesia
diminta aktif mengupayakan perdamaian di antara yang berkonflik, seperti
konflik klaim di Laut Tiongkok Selatan, Korea Utara-Korea Selatan,
Israel-Palestina, pemerintah Thailand-pemberontak di Thailand Selatan.
Namun demikian, orientasi Polugri itu membuat pemerintahan SBY
cenderung bertindak lebih akomodatif dan fasilitatif terhadap berbagai aturan
main global-regional. Isu-isu ekonomi menjadi salah satu contoh menonjol
dengan akibat pada melemahnya posisi tawar (bargaining position) Indonesia terhadap banyak norma dan aturan
main global-regional. Dalam konteks ASEAN, Indonesia dikawatirkan menjadi
pasar atau obyek dari regionalisme itu.
Dengan alasan itu, Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar
Negeri (12/10/2014) bahkan menyatakan kegagalan pemerintahan SBY dalam
pelaksanaan Polugri. Prestasi dan kelemahan Polugri pemerintahan SBY itu
menjadi pertimbangan pemerintahan Jokowi, khususnya Menlu Retno, dalam menata
kembali Polugri 2014-2019.
"Menjadi
Salesman"
Upaya reorientasi polugri akan mengubah pola-pola diplomasi
pemerintahan Jokowi. Pertama, polugri cenderung mengutamakan kepentingan
ekonomi domestik. Indonesia akan mengurangi partisipasi pada berbagai forum
multilateral yang tidak akomodatif pada kepentingan ekonomi nasional. Melalui
diplomasi 'blusukan', Menlu Retno akan lebih menegaskan manfaat riil dari
diplomasi global dan regional bagi masyarakat Indonesia. Presiden Jokowi
sudah berkomitmen menghadiri Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di
Naypyidaw (Myanmar) dan APEC di Beijing (Tikngkok), namun belum pasti datang
ke KTT G20 di Brisbane (Australia) pada bulan November ini.
Kedua, para diplomat sebagai ujung tombak diplomasi ekonomi berperan
seperti salesman bagi negara
Indonesia. Di setiap perwakilan, para diplomat perlu meninjau kembali kinerja
diplomasi ekonomi bilateral. Walau menjadi prioritas, diplomasi ekonomi
dijalankan tanpa harus meniadakan berbagai kegiatan budaya atau kemasyarakatan
lain. 'Blusukan' para diplomat tidak hanya di wilayah penugasan di luar
negeri, tetapi juga melakukan identifikasi produk domestik untuk menembus
pasar asing. Bahkan, Kemlu perlu membekali diplomat, termasuk duta besar,
dengan pengetahuan ekonomi-bisnis.
Faktor ketiga, Kemlu perlu meningkatkan koordinasi dengan
kementerian lain, khususnya Kementerian Perdagangan untuk mendorong ekspor ke
pasar luar negeri. Koordinasi itu juga diperlukan untuk melindungi produk
domestik dari 'serbuan' barang impor. Dalam 10 tahun Pemerintahan SBY,
koordinasi kurang berjalan baik, sehingga Indonesia lebih dirugikan dari
berbagai perjanjian multilateral di tingkat global (WTO) dan regional (APEC,
ASEAN, termasuk ASEAN-China Free Trade Area/ACFTA). Renegosiasi perlu diupayakan
agar perjanjian itu dapat meningkatkan posisi tawar produsen dan produk
domestik.
Banyak program kerja perlu dijalankan, Menlu Retno perlu
memberikan prioritas kepada jajarannya di Kemlu agar tetap fokus dan mampu
memenuhi target. Pemerintahan telah berganti, progam kerja dan cara kerja pun
berubah. Saatnya para diplomat 'blusukan' untuk bicara dan mendengar langsung
dari masyarakat, tidak lagi hanya berada di belakang meja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar