Data
Penduduk Miskin
Masri Hanus ; Lulusan Pasacasarjana University of Malaya,
Kuala Lumpur,
Kini Widyaiswara Madya Kementerian Sosial
|
KORAN
JAKARTA, 20 November 2014
Pengentasan
kemiskinan tidak mungkin berlangsung dengan baik tanpa dukungan data penduduk
yang valid tentang jumlah riil penduduk miskin. Data penduduk miskin saat ini
menggunakan standar data Badan Pusat Statistik (BPS) berdasar pengeluaran 80
sen dollar AS/orang/hari. Apakah ukuran tersebut masih relevan?
Sementara
Bank Dunia menetapkan batas garis kemiskinan dengan standar pengeluaran dua
dollar AS/orang/hari. Standar Indonesia ini membuat jumlah penduduk miskin
yang dipublikasikan BPS jauh lebih kecil ketimbang riilnya.
Pada
survei kemiskinan Maret 2014, BPS mendasarkan garis kemiskinan pada tingkat
nasional dengan standar pengeluaran
10.000 rupiah/o/h atau 302. 375 rupiah /orang/bulan. Sementara
rata-rata indikator kemiskinan di perkotaan ditetapkan berdasar pengeluaran
318.514rupiah/o/b, sedangkan indikator kemiskinan di perdesaan berdasar pada
pengeluaran 286.097 rupiah/o/b.
Berangkat
dari indikator itu, kondisi Maret 2014, jumlah penduduk miskin 28,28 juta
jiwa (11,25 persen total penduduk). Jumlah penduduk miskin tersebut diklaim
oleh pemerintahan SBY makin berkurang ketimbang tahun 2009 (32,53 juta jiwa
atau 14,1 persen penduduk).
Presiden
Joko Widodo ketika kampanye berjanji menurunkan jumlah penduduk miskin 5–6
persen dari 28,28 jiwa. Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, menyasar 40
persen penduduk miskin dalam program pengentasan kemiskinan. Dia yakin jika
indikator garis kemiskinan dinaikkan dari standar pengeluaran 80 sen dolar
AS/o/h menjadi 1,5 dollar AS/o/h, jumlahnya mencapai 40 persen atau sekitar
100 juta jiwa, bukan 28,28 juta jiwa.
Angka
ini akan mempersulit pemenuhan menurukan orang miskin sampai lima persen atau
lima atau enam juta sampai 2019. Jika menggunakan angka BPS (28,28) lima
persennya “hanya” satu setengah jutaan.
Membandingkan
data jumlah penduduk miskin pemerintahan SBY yang ditampilkan BPS sebanyak
28,28 juta jiwa dengan milik Kementerian Sosial sekitar 100 juta penduduk
miskin, jauh sekali. Publik mengharapkan agar pemerintahan Jokowi-JK berani
menetapkan standar baru garis kemiskinan agar bisa diketahui jumlah riil
orang miskin. Jumlah penduduk miskin dikatakan berkurang, tetapi dengan
kasatmata masih kelihatan jutaan orang masih kesulitan memenuhi kebutuhan
dasar karena daya beli rendah.
Jumlah
gelandangan dan pengemis di perkotaan masih marak. Jumlah TKI yang mencari
penghasilan di luar negeri terus meningkat. Pekerja anak di berbagai sektor
tambah banyak karena orang tua tidak mampu membiayai pendidikan. Bahkan, anak
diharuskan membantu mencari penghasilan keluarga. Semua itu merupakan sinyal
bahwa pemerintah perlu secara transparan menampilkan data jumlah penduduk
miskin secara nyata (riil), bukan demi
pencitraan.
Indeks
kemiskinan manusia/IKM (Human poverty
index/HPI) Indonesia masih lebih tinggi ketimbang Muangthai, Malaysia,
apalagi Singapura. IKM merupakan himpunan atau gabungan berbagai faktor
seperti berat badan ketika melahirkan, usia “batita” di bawah normal, usia
harapan hidup, pendidikan, kesehatan masih rendah, dan kesulitan akses
memperoleh air bersih.
Indek
Pembangunan Manusia/IPM (Human
development index/HDI) juga masih tinggi tahun 2014 dari 187 negara,
Indonesia berada pada ranking 108. Walaupun IPM Indonesia mulai membaik
ketimbang tahun 2013, tapi masih bertengger pada ranking 121 dari 186 negara.
Ini berarti Indonesia berada pada tingkat medium human development.
Peluang
IPM yang
mulai membaik antara lain ditopang pendapatan per kapita yang kini mencapai
4.000 dollar AS. Ini peluang pemerintahan Jokowi-JK meninjau kembali atau
memperbarui indikator garis kemiskinan yang masih menggunakan standar
pengeluaran hanya sekitar 10.000/o/h. Bagi Indonesia masih terlalu tinggi
untuk saat ini menggunakan ukuran Bank Dunia untuk batas garis kemiskinan
dengan standar dua dollar AS/o/h. Tetapi, cukup objektif jika pemerintahan
Jokowi-JK menggunakan standar moderat 1,5 dollar AS/o/h (18.150 rupiah)
menjadi 544.500/o/b dengan kurs 12.100 rupiah untuk 1 dollar AS.
Konsekuensi
batas garis kemiskinan baru, jumlah orang miskin seperti sasaran Kementerian Sosial
sekitar 100 juta. Angka 100 juta tidak terlalu “jomplang” dengan jumlah
penerima bantuan iuran (PBI) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang diselenggarakan BPJS kesehatan yaitu sebanyak 86,6 juta PBI. Ini berati
tiga kali lipat data jumlah penduduk miskin versi BPS Maret 2014 (28,28
juta). Data PBI pun belum seluruh penduduk miskin di berbagai pelosok.
Patut
dicatat, masih terdengar banyak orang miskin saat sakit tidak bisa berobat ke
puskemas atau rumah sakit penyelenggara BPJS Kesehatan. Artinya, nama mereka
tidak terdata sebagai PBI BPJS kesehatan. Rakyat miskin yang belum tercatat
sebagai PBI atau anak miskin, tapi belum masuk sebagai penerima bantuan siswa
miskin (BSM) juga warga Indonesia. Nama mereka harus masuk dan dicatatkan sebagai
penerima KIS dan KIP dalam program jaminan sosial serta perlindungan sosial
pemerintahan sekarang.
Beban
berat harus dipikul pemerintahan Jokowi-JK jika jumlah penduduk miskin
bertambah. Apalagi APBN 2015 masih “cekak” karena harus membayar bunga utang
luar negeri. Tetapi, pemerintah dituntut terbuka dan berjuang keras membantu
rakyat miskin.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar