Citilink
Angkat Gengsi Semen LCC
Afrianita ; Redaktur
Haluan
|
HALUAN,
04 November 2014
Dulu naik pesawat udara adalah sesuatu yang “wah”. Sesuatu yang hanya
bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Namun lain dulu lain sekarang,
naik si burung besi kini sudah menjadi hal yang lumrah saja.
Ya, sejak fenomena penerbangan
bertarif murah (low cost carrier/LCC), maka
transportasi udara menjadi sebuah hal yang terjangkau. Bahkan biayanya kerap
lebih murah ketimbang angkutan darat seperti bus atau kapal.
Kelas ekonomi pun tidak lagi
dipandang sebelah mata, karena volumenya yang sangat besar. Sebaliknya,
jumlah maskapai penerbangan yang ingin menjajal pasar di segmen tersebut pun
terus bertambah.
Apalagi sejak dibukanya
deregulasi penerbangan niaga oleh pemerintah pada 2001, yang memberikan
kesempatan pada pengusaha untuk menjalankan jasa penerbangan meski dengan
hanya memiliki satu pesawat dan bermodal cekak.
Sejumlah maskapai yang
mengklaim dirinya berbasis biaya murah pun bermunculan seperti Lion Air, Adam
Air, Citilink, Jatayu, Kartika Airlines, Sriwijaya, Indonesia Airlines, Star
Air juga Batavia Air.
Data terakhir ada 28 perusahaan
penerbangan terjadwal dengan lebih dari 400 pesawat yang dioperasikan.
Meskipun maskapai LCC menjamur, namun tidak sedikit pula diantaranya yang
salah dalam kalkulasi sehingga berujung pailit.
Sejak era penerbangan murah,
maka pelanggan pun bermigrasi dari moda transportasi darat dan laut ke era
burung besi di udara. Dari data statistik penerbangan, jumlah penumpang
pesawat melonjak signifikan.
Jumlah penumpang pesawat pada
tahun 2004, naik hingga dua kali lipat dari jumlah penumpang pada 2002 yakni
menjadi 24 juta dari angka dua tahun sebelumnya yang hanya sebanyak
12,3 juta penumpang.
Namun sayangnya pertumbuhan
penumpang itu juga dibarengi dengan meningkatnya angka kecelakaan maskapai
bertarif murah. Mulai dari pecah ban, tergelincir di landasan, tersesat
karena kerusakan navigasi hingga terjatuh seperti Adam Air awal tahun 2007.
Hal ini juga semakin menguatkan
anggapan banyak pihak, bahwa konsep LCC yang dilakukan dengan menekan biaya
operasional ternyata abai terhadap faktor keselamatan. Ujung-ujungnya kita
diembargo asosiasi penerbangan dunia.
LCC memang membawa dampak
positif bagi dunia penerbangan di Indonesia. Load
factor penumpang meningkat, tapi di sisi lain juga diikuti oleh
tingginya angka kecelakaan pesawat. Kecelakaan pesawat di Indonesia bahkan
termasuk yang paling tinggi di dunia.
Padahal sejatinya LCC merupakan
redefinisi bisnis jasa angkutan udara menuju pelayanan yang serba efisien,
sederhana dan ringkas. Kecuali soal yang menyangkut safety, apapun yang hemat dapat diterapkan.
Maskapai LCC sesungguhnya
lahir dengan meminimalkan pengeluaran yang tidak perlu tanpa harus
mengurangi keselamatan dan keamanan penerbangan. Misalnya mengurangi
penggunaan agen perjalanan, atau mencetak boarding
pass di kertas murah.
Lalu harga tiket belum termasuk
biaya bagasi dan makan/minum, harga tiket bisa berubah setiap menit,
ruang kabin yang sempit karena dioptimalkan untuk sebanyak mungkin mengangkut
penumpang, jika terlambat check in tiket hangus dan lainnya.
Ongkos transportasi udara
selama ini dirasa terlalu mahal dengan segala pelayanan ekstranya yang
sesungguhnya tidak diperlukan oleh konsumen tersebut. Kemunculan LCC, lantas
menjawab kebutuhan yang ada.
Tak ada yang salah sebenarnya
dengan konsep penerbangan murah. Tidak salah juga jika kemudian jika faktor
kenyamanan harus dipangkas demi ongkos yang lebih irit. Namun akan menjadi
pertanyaan jika hal itu terkait dengan keterlambatan penerbangan (delay) hingga aspek keselamatan.
Tapi dua hal ini pulalah yang
kemudian menjadi image buruk yang sudah kadung melekat pada penerbangan LCC. Selain abai terhadap faktorsafety, penerbangan murah juga
sering tak tepat waktu. Terlalu sering delay.
Belum lagi ada maskapai LCC
yang penumpangnya sampai rebutan kursi.Sehingga katanya naik maskapai LCC tak
ubahnya dengan naik “metro mini”. Hal itu lagi-lagi membuat penerbangan LCC
menjadi kurang bergengsi.
Sampai kemudian maskapai
Citilink, kembali meramaikan pasar penerbangan LCC di tanah air. Didirikan
pada tahun 2001 sebagai Unit Bisnis Strategis Garuda Indonesia, maskapai
Citilink sempat berhenti beroperasi pada 2008.
Lalu pada 5 Juli 2012, setelah
Citilink meresmikan penerimaan sertifikat Air Operation Certificate (AOC)
dari Kementerian Perhubungan, moment itu kemudian menjadi era baru Citilink
dalam manajemen dan bisnisnya.
Di bawah kepemimpinan Arif
Wibowo, Citilink bertekad menjadi LCC terbaik. Sokongan armada yang memadai
dan on time performance(OTP) yang
tinggi, menjadi kunci untuk merebut pasar LCC.
Ya, meskipun dengan tarif
murah, namun demikian Citilink tak lantas meninggalkan aspek – aspek keselamatan
dan kenyamanan penumpang. Sebaliknya, justru pesawat ini meskipun low cost namun mampu memberikan layanan yang
bagus.
Hingga kini, Citilink sudah
punya 29 unit pesawat. Terdiri dari 25 unit Airbus 320-200 dan empat unit
Boeing 737-300. Akhir tahun akan ada tambahan dua pesawat, sehingga nanti
menutup tahun 2014 ini jumlah armada ada 31 pesawat.
Hingga tahun 2017, akan
didatangkan 70 pesawat baru jenis A320. Setiap tahun akan datang 10 pesawat.
Citilink pada akhirnya mengarah kesingle
aircraft type, yakni Airbus 320, sehingga
Boeing 737 tidak akan dipakai lagi.
Keistimewaan A320 diantaranya
menggunakan teknologi fly-by-wire digital perdana di dunia
untuk kelas pesawat transport sipil single aisleberkapasitas
180 tempat duduk konfigurasi ekonomi. Juga memakai piranti ECAM (Electronic Centralized Aircraft Monitor).
ECAM memungkinkan pilot
memonitor semua aktivitas penerbangan dari dalam kokpit serta membantu pilot
dan teknisi memberi peringatan dini dan mendiagnosis jika terjadi kelainan
fungsi berbagai instrumen dan sistem di dalam tubuh A320 itu.
Intinya pilot akan sangat
dibantu dalam mengendalikan penerbangan yang pada akhirnya akan berujung
pada peningkatan kualitas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan
penerbangan. Hmm, semakin yakin bukan untuk terbang dengan Citilink?
Sebanyak 5 juta penumpang
berhasil diterbangkan Citilink sampai kuartal III 2014, meningkat 100 persen
dari kuartal III 2013 yang hanya 2,5 juta penumpang. Dengan dukungan armada
baru, membuat orang lebih yakin terbang dengan Citilink.
“Penggunaan pesawat baru
meningkatkan produksi per pesawat sekitar 26 persen. Saat ini kami mampu
menyediakan 170 penerbangan per hari dari 23 kota,” ujar CEO Maskapai
Citilink Arif Wibowo. (CNN Indonesia, 16 Oktober 2014).
Arif mengatakan maskapainya
masih harus bekerja keras mengejar target 8,2 juta penumpang sampai akhir
tahun 2014. Apalagi tahun 2017, Citilink menargetkan mampu menerbangkan 33,6
juta penumpang .
Jumlah itu melompat sangat
jauh dari hanya 2,6 juta di tahun 2012. Jumlah frekuensi penerbangan juga
naik tajam dari sebelumnya hanya 686 per minggu, menjadi 5.000 frekuensi per
minggu.
Berbasis di Jakarta dan
Surabaya, hingga September 2014 Citilink telah melayani 170 frekuensi
penerbangan harian dari Jakarta (Soekarno-Hatta dan Halim Perdanakusuma),
Surabaya dan Batam ke sejumlah kota besar di Indonesia.
Diantaranya Banjarmasin,
Denpasar, Balikpapan, Yogyakarta, Medan, Palembang, Padang, Ujung Pandang,
Pekanbaru, Lombok, Bengkulu, Jambi, Semarang, Malang, Kupang, Pangkal
Pinang, Tanjung Pandan, Bandung dan Solo.
Bahkan Citilink juga sudah
mengantongi izin untuk rute penerbangan ke Jayapura. Vice President Corporate
Communications Citilink Indonesia Benny S Butarbutar mengaku sudah
mengantongi izin rute penerbangan ke Jayapura. (Tribunnews.com, 23 Oktober 2014)
Rute penerbangan ke wilayah
Indonesia timur menjadi target ekspansi bisnis Citilink ke depan. Kota-kota
yang menjadi incaran antara lain Palu, Manado, dan Jayapura.
Selain tingkat safety yang terus dijaga dengan ketat, Citilink juga terus meningkatkan
performanya dalam hal ketepatan waktu terbang. Saat ini OPT Citilink sudah
berada di kisaran 87 persen.
Untuk diketahui, berdasarkan
Kementerian Perhubungan, tingkat OTP di bawah 70 persen digolongkan
jelek, OTP 70-80 persen tergolong biasa dan OTP di atas itu bisa
dikatakan baik. Dapat disimpulkan, dalam hal ketepatan waktu terbang,
Citilink sudah tepat waktu.
Banyak kemudian yang
menyampaikan rasa puasnya karena terbang dengan Citilink meninggalkan kesan
yang baik selain karena jam terbang yang tepat waktu juga layanan berkualitas
yang diberikan.
Mempunyai induk usaha sekelas
Garuda Indonesia yang bergerak di segmen Full Service , diakui memiliki keuntungan
sendiri bagi Citilink. Selain kucuran yang besar dalam hal investasi, nama
besar Garuda juga bernilai tambah bagi perusahaan ini.
Ada beberapa konsep dari Garuda
Indonesia yang kemudian disadur Citilink yang semakin menaikkan pamor
Citilink yang menggarap segmen LCC. Misalnya saja kebijakan menyatukan airport
tax ke dalam harga tiket yang dimulai 1 Februari 2014 lalu.
Bayar tiket Citilink pun
semakin mudah karena banyaknya opsi pembayaran. Mulai dari kartu kredit,
internet banking, hingga ATM. Ada website nya juga. Tak kalah penting, admin
facebook dan twitter Citilink sangat membantu saat terjadi permasalahan.
Lalu ada juga kebijakan bagasi
gratis hingga 15 kilogram. Tak hanya itu, masih banyak lagi keunggulan
Citilink yang pada akhirnya membuat terbang dengan Citilink berasa terbang
dengan pesawat LCC yang “tak biasa”.
Keunggulan Citilink perlahan
mampu mengikis stigma buruk dari penerbangan LCC yang selama ini tidak safety dan molor terbang yang pada akhirnya
mampu menaikkan pamor atau gengsi penerbangan segmen LCC.
Puja-puji atas performa
Citilink bukan semata ungkapan atau tulisan di atas kertas. Beberapa
penghargaan yang diraih menjadi bukti atas performa gemilang yang ditorehkan
“si hijau “ yang kini telah semakin dewasa.
Diantara penghargaan yang
diraih yakni dari Indonesia Travel and Tourism Foundation untuk kategori Leading Low Cost Airline 2011/2012, dan The Budgies and Travel
Awards 2012 untuk kategori Best
Overall Marketing Campaign.
Lalu penghargaan Service
To Care Award 2012 untuk Airlines
Category dari Markplus Insight, dan Indonesia
Leading Low Cost Airlines selama tiga tahun yaitu
2011/2012, 2012/2013, dan 2013/2014 dari ITTA Foundation serta Maskapai Penerbangan
Nasional Terbaik oleh Adikarya Wisata Award 2012.
Harga murah memang kerapkali
diidentikkan dengan kualitas yang rendah. Namun tak demikian halnya dengan
Citilink. Meskipun bergerak di segmen low cost, namun demikian layanan
yang diberikan berkualitas.
Harga boleh saja murah,
namun pelayanan yang diberikan tidak murahan. Murah dan berkualitas
sepertinya menjadi padanan kata yang saling melengkapi untuk Citilink yang
kini semakin terbang tinggi mengepakkan sayapnya di langit ibu pertiwi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar