Bianglala
Trias Kuncahyono ; Penulis
kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
02 November 2014
20 Oktober 2014. Hari itu bangsa Indonesia menyaksikan peristiwa
bersejarah: Presiden dan Wakil Presiden diarak ratusan ribu orang (ada yang
menyebut bahkan mencapai sejuta) menuju Istana. Sepanjang Jalan
Sudirman-Thamrin hingga Monas berjubel massa dari berbagai latar belakang,
usia, profesi, strata sosial, kelompok masyarakat, daerah, laki-laki dan
perempuan, dewasa, dan anak-anak.
Inilah kerumunan massa yang beragam. Ada rakyat biasa—bahkan
yang sangat biasa—kaum terdidik, mereka yang tidak sempat atau sebentar
menikmati pendidikan, usahawan ataupun buruh, pemilik modal ataupun pekerja,
politisi, tentara, bahkan agamawan dari pelbagai agama di negeri ini. Jika
dilihat dari spektrum keanekaragaman itu, apa yang terjadi di sepanjang
Sudirman-Thamrin-Monas dan Istana bisa disebut sebagai koalisi bianglala.
Bianglala yang begitu indah, yang muncul tidak di langit, tetapi di sepanjang
Jalan Sudirman-Thamrin-Monas dan Istana. Mereka bersatu kata: mendukung
Presiden dan Wakil Presiden baru!
Mereka adalah rakyat. Rakyat yang bersatu, yang ingin
menyongsong zaman baru dengan harapan baru. Mengapa mereka turun ke jalan
mengelu-elukan Presiden dan Wakil Presiden baru? Rakyat berharap banyak dari
Presiden dan Wakil Presiden baru. Harapan tinggi digantungkan pada Presiden
dan Wakil Presiden baru. Inilah gerakan rakyat. Sebuah gerakan yang lahir
dari kesadaran yang dalam, tanpa paksaan selain kerelaan.
Melihat peristiwa tanggal 20 Oktober 2014, teringat akan
peristiwa serupa pada 22-25 Februari 1986 di Manila, Filipina. Pada waktu
itu, jutaan rakyat Filipina dan tentara turun ke jalan di Epifano de los
Santos Evenue, Metro Manila. Bedanya adalah di Manila, rakyat turun ke jalan
menuntut mundurnya seorang presiden, Ferdinand Marcos, dan restorasi
demokrasi di negeri itu. Sebaliknya di Jakarta, rakyat turun ke jalan
mengelu-elukan seorang Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara
demokratis.
Meskipun berbeda, keduanya adalah ungkapan kekuatan rakyat
(people power). Menurut James Putzel dalam sebuah kertas kerja berjudul A
Muddled Democracy-”People Power” Philippine Style, (Development Destin
Studies Institute, November 2001), people power merupakan ekspresi demokrasi
yang paling tinggi.
Dalam konteks ini, kiranya people power tidak selalu berarti
transisi demokratik dan damai, seperti yang terjadi di Filipina dan di banyak
negara lain, setelah peristiwa di Filipina itu. Namun, juga bisa diartikan
sebagai ungkapan rakyat terhadap tegaknya sebuah demokrasi. Orang berharap
banyak dari demokrasi. Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidakadilan
dan membuat pengorganisasian kehidupan kolektif menjadi lebih rasional.
Menurut Haryatmoko dalam Etika Politik dan Kekuasaan, demokrasi
sering dianggap akan melindungi kebebasan warga negara dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, tumplek blek-nya ratusan ribu rakyat
Indonesia di Sudirman-Thamrin-Monas dan Istana menjadi ekspresi akan harapan
rakyat. Mereka memiliki harapan, bahkan keyakinan, pemimpin baru benar-benar
membawa zaman baru.
Kini, pesta telah usai. Biasanya apabila tujuan sudah tercapai,
pesta telah usai, maka pudarlah bianglala itu. Semua kembali ke ”tempat”
masing-masing dengan kepentingan masing-masing pula yang kadang kala
bertabrakan. Namun, tentu, kita tidak berharap demikian. Terutama di antara
para politisi bisa terbangun sebuah persahabatan dalam politik, seperti yang
pernah dicontohkan para bapak bangsa. Hubungan mereka mengatasi berbagai
macam kepentingan pribadi dan kelompok. Artinya, hubungan yang terbangun
tidak diwarnai dan diganggu oleh kepentingan primordial, sempit, eksklusif,
dan isolatif dalam keseragaman tertentu, apalagi balas dendam.
Namun, apa yang terjadi di Gedung DPR hari-hari ini rasanya jauh
dari harapan rakyat. Kegaduhan politik dan pameran kekuatan menang-menangan
yang terasa. Semoga saja, akrobat politik di Gedung DPR tidak menjadi dadakan
munculnya koalisi bianglala lagi dari rakyat yang ingin mengekspresikan
kehendak yang sesungguhnya karena merasa dikhianati! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar