Air,
Andre, dan Pahalanya
Jean Couteau ; Penulis Kolom “UDAR RASA”
di Kompas Minggu
|
KOMPAS,
09 November 2014
Saya pada dasarnya tidak suka menulis ”mengenai” orang lain,
apalagi menyanjungi keunggulannya, tetapi menulis tentang orang yang satu ini
berbeda. Karena orang itu memang ”berbeda”. Dan jika dia ”lain”, bukanlah
lantaran hasrat narsisis tak terkontrol, seperti kerap terjadi pada orang
nyentrik, melainkan ”demi” sesama, hanya untuk melakukan sesuatu yang
berfaedah.
Oh, dia tidak terlampau mengharapkan pahalanya, baik di dunia
ini maupun di akhirat nanti. Dia bahkan tampil rada skeptis perihal perilaku
para juru pahala itu. Pendeknya, yang dia lakukan, berdasarkan keyakinan ia
melakukannya, karena ”Begitulah saya,” katanya, karena ”Mesti ada orang yang
melakukannya,” dan ”kebetulan saya bisa.”
Ketika, di ujung perjalanan selama dua jam dari Tambolaka, kami
pada akhirnya mencapai Waru Wora, kampung pijakan si orang Perancis di Sumba
itu, siapa pun amat mudah terpukau. Bagaimana tidak terpana membiarkan diri
hanyut dalam keindahan barisan atap-atap ilalang ala joglo yang
menjulang-julang di antara pepohonan, seakan-akan hendak mengantar kita ke
dunia Sumba yang purba itu, dengan makam-makam bongkahan batu besar serta
agama yang namanya saja memanggil-manggil impian-Merapu.
Untunglah dengan Andre, saya tidak diberi waktu untuk larut
dalam impian itu. Baru sesampai di rumah panggungnya yang sangat mungil,
bahkan sebelum saya sempat turun dari kendaraan, dia sudah menunjuk seorang
pria kurus-kering yang lewat di depan rumahnya sambil melambaikan tangan
keriputnya: ”Kau lihat orang itu,” tutur Andre. ”Tahun yang lalu, pada waktu
musim kemarau seperti sekarang ini, saya sering melihatnya terhuyung-huyung
di jalan, mengigau bak orang gila. Orang Lemboya bilang dia dalam keadaan
kelango.”
Kelango, yaitu halusinasi, kadang disertai kekasaran,
mengayun-ayunkan pedang kiri-kanan. Kenapa? Karena orang yang bersangkutan
kering tubuhnya akibat kehausan: Sumba yang berpantai indah dan berumah joglo
anggun itu ternyata kekurangan air. Bisa jadi, orang Indonesia lainnya pusing
tentang harga bensin, tetapi orang Sumba prihatin perihal ketiadaan air!!!
Ya, ratusan ribu orang kekurangan air—dan dengan sendirinya kekurangan
makanan juga. Tanpa adanya kuasa politik yang memadai untuk ”memaksakan”
perubahan kepada pemerintah pusat.
Ketika menyadari besarnya masalah air yang melanda Sumba, Andre
Graff, nama lengkap orang Perancis itu, tidak bisa lagi berpuas diri dengan
membuat foto Sumba yang indah nan eksotis. Dia tergugah. Dia kebetulan lihai
mengutak-atik aneka mesin: maklum, dia bekerja sebagai pilot balon udara di
Perancis selama dua puluh tahun. Dia segera mengambil keputusan: meninggalkan
Perancis dan kenangan balonnya demi suatu masa depan di Sumba yang sarat
dengan tangki dan pipa air. Ternyata, dia berhasil: dalam kurun waktu kurang
dari sepuluh tahun, mula-mula dengan merogoh kocek sendiri, kemudian dengan
bantuan dana sekumpulan temannya, termasuk perusahaan Shimizu dan bupati
Sumba Barat Daya, terbangunlah beberapa jaringan distribusi air bersih yang
kini sudah melayani lebih dari 10.000 ribu orang di Kecamatan Lemboya dan
Kodi. Luar biasa, bukan?
Amat menarik menemani Andre melakukan inspeksi sepanjang
jaringannya. Ke mana pun dia pergi, disambut riuh ramai penduduk desa. Sambil
berjalan, dia memperlihatkan mengapa jaringannya bertahan: pipa-pipa ditanam
dalam-dalam—tak terjangkau ternak dan pompa-pompa bertenaga surya dilindungi
oleh tembok berjeruji—tak terjangkau tangan usil. Bukan semua tampak indah di
kampung-kampung yang kami lalui: kanan kiri, terlihat tangki-tangki kosong
dan jaringan pipa tak berfungsi. Andre menjelaskan: ”Hasil proyek para
good-doers Bank Dunia dan Sumba Foundation yang abai mempertimbangkan
kebutuhan riil para penduduk dan melibatkan mereka dalam pengelolaan sistem
pengairan.” Lalu dia tersenyum.
Sepulang dari Sumba, saya kerap dihantui senyuman khas si Andre.
Lebih-lebih tadi, ketika saya menjemput anak di vila yang megah. Tuan rumah
tidak ada, tetapi saya sempat diberi tahu statusnya: dia adalah seorang
pendeta. Tiba-tiba saya kaget, terlihat di taman belakang vila yang asri itu
membujur sebuah kolam renang raksasa mungkin 20 meter panjangnya. Penuh air
yang begitu langka di Sumba. Oh, Andre, pikirku membayangkan kelango penduduk
Sumba, jangan-jangan kaulah yang soleh. Jangan-jangan, seperti kau, saya pun
kini menjadi skeptis perihal panggilan Tuhan dan pahalanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar