Agama
dan Identitas Kewargaan
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 21 November 2014
Polemik
mengenai kolom agama dalam KTP kembali mengemuka dalam konteks kekinian.
Adalah pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo yang memperbolehkan bagi warga
negara Indonesia untuk tidak perlu mencantumkan ada kolom agama dalam KTP
mereka.
Namun,
pernyataan itu kemudian dikoreksi dengan Menteri Agama Lukam Hakim Saifuddin
yang menyatakan bahwa kolom agama dalam KTP tidak boleh dikosongkan. Hanya,
pemerintah saat ini masih menggodok formulasi rekognisi dan representasi
terhadap warga negara yang memiliki kepercayaan di luar enam agama resmi yang
diakui pemerintah agar bisa mencantumkan dalam kolom KTP.
Perdebatan
tersebut bersumber pada bunyi Pasal 64 ayat 5 UU 24 Tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan: ”dalam hal
agama, seseorang di luar enam agama nasional dapat tidak mengisi kolom agama”.
Artinya dalam hal ini ditemukan ada diskriminasi terhadap warga negara yang
memiliki kepercayaan di luar enam agama resmi untuk bisa mendapatkan akses
pelayanan publik dari negara.
Premis
itulah yang kemudian menjadi interseksi krusial dalam memaknai relasi agama,
kewargaan, dan pelayanan publik pada masa sekarang ini. Letak krusialnya
terletak pada urgensi dan signifikasi agama dalam masalah kewargaan dan
pelayanan publik di konteks masyarakat Indonesia yang majemuk.
Inilah
yang perlu untuk dielaborasi lebih lanjut mengenai hubungan ketiga relasi
tersebut kaitannya dengan redistribusi dan diseminasi barang publik (public goods) secara merata bagi warga
negara. Konsepsi mengenai warga negara sendiri terkait dua hal yakni token of membership dan sense of belonging (Robert, 2014).
Dua hal
itulah yang kemudian mendasari terbentuknya relasi emosional dan afeksional
antara warga negara dan negara itu sendiri. Negara adalah rumah besar bagi
warganya yang membutuhkan payung proteksi dan sekuriti, sementara negara
memerlukan warga negara sebagai poin penting ada penegakan kedaulatan ke
dalam.
Permasalahan
yang timbul selanjutnya adalah perancangan pembahasan mengenai kewargaan
tersebut dalam aksesibilitas pelayanan publik tersebut, apakah dikonsensuskan
secara bersama antara negara dan warga negara atau hanya negara yang berhak
mendefinisikan parameter kewargaannya.
Secara
teoritik, pendefinisian kewargaan ( citizenship
) sendiri dielaborasi secara kritis dalam berbagai mazhab mulai dari
republikanisme, komunitarianisme, liberalisme, hingga sosialisme. Namun,
untuk merangkai kasus KTP Indonesia, kecenderungan perdebatan lebih diarahkan
ke dua mazhab yakni republikanisme dan liberalisme.
Adapun
dalam pandangan republikanisme, KTP dengan berbagai macam parameter identitas
tersebut merupakan bentuk kewargaan negara ( state citizenship ). Negara secara represif menegakkan
kedaulatannya dengan mengakui warga negara dengan pelbagai macam parameter
yang dibuat dan ditentukan secara sepihak melalui pencantuman kolom identitas
tertentu.
Itu
dilakukan supaya negara bisa memilah dan mengakui warga negara yang secara
benar dan nyata diakui sebagai bagian dari negara. Itulah yang kemudian
menciptakan logika majoritarian berbasis kolegial bahwa publik yang diakui
warga negara adalah mereka yang menerima dan mengikuti identitas yang diakui
negara secara masif.
Implikasinya
kemudian adalah timbul ”warga negara kelas dua” dan ”warga negara liyan”
karena mereka tidak diakui oleh negara akibat kolom identitas minoritas
berbeda. Kasus kewargaan Indonesia secara kasuistik juga menemukan bukti
empiriknya seperti dalam kasus Komunitas Samin, Komunitas Baduy, Ahmadiyah,
dan sebagainya.
Studi
CRCS (2012) menyebutkan bahwa eskalasi terjadi peningkatan kekerasan di Tanah
Air lebih karena diferensiasi maupun politisasi terhadap identitas berbeda
yang pada dasarnya lebih karena kompetisi ekonomi politik sendiri.
Maka
itu, dapat dikonklusikan bahwa sebenarnya pencantuman agama dalam KTP adalah
manifestasi kewargaan negara yang lebih mengarusutamakan ada logika
majoritarian dalam menekan publik sebagai warga negara.
Itulah
yang kemudian dilinearkan dengan konteks politisasi terhadap pelayanan publik
yang kemudian menciptakan segregasi penduduk dalam mendapatkan akses hanya
karena masalah identitas yang berbeda. Agama kemudian menjadi produk politik
yang menjadi dasar segregasi tersebut jika kita melihat konteks empiris
selama ini di lapangan.
Agama
berkembang dalam dimensiprofan yang kemudian dikomoditisasi sebagai alat
penekan bagi mereka yang berbeda. Adapun pemahaman kewargaan komunitarian ( communitarian citizenship ) lebih
melihat dimensi pendefinisian mengenai kewargaan sendiri dikonsensuskan
secara bersama baik warga negara maupun negara secara bersama-sama.
Berbeda
dengan kewargaan negara yang menekankan ada parameter tunggal sepihak dari
negara dalam kaitannya sebagai patron. Pembentukan kewargaan komunitarian
lebih dikaitkan pembayaran dan redistribusi pajak sebagai dasar
pembentukannya.
Kasus
ini biasanya terjadi dalam kasus negara kesejahteraan di mana pajak menjadi
alat politik penting bagi negara membiayai jaminan sosial bagi warga negara
dari pajak progresif warga kaya dan warga miskin mendapatkan jaminan dari
negara.
Mengenai
kolom agama yang menjadi titik krusial, agama kemudian berkembang menjadi
agama sipil ( civil religion ) yang
lebih memaknai pemahaman agama dalam konteks profetik sehingga tidak perlu
mengundang debat kusir mengenai signifikasi agama sebagai bagian dari warga
negara.
Yang terpenting dalam konteks
kewargaan ini adalah pelayanan publik berikut pula jaminan sosial dapat
terdistribusikan secara merata ke seluruh lapisan penduduk. Maka itu,
pencantuman kolom agama sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 64 ayat 5 UU
24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan tidaklah perlu diperdebatkan
lebih lanjut apalagi sampai dieskalasikan menjadi isu politik yang hiperbola.
Yang
terpenting bagaimana negara bersikap netral dan independen dalam
mendistribusikan pelayanan publik dan jaminan sosial tersebut secara adil dan
merata. Netral dan independen tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk sikap
negara maupun warga negara bahwa mereka saling terkait dan saling terikat
satu sama lain baik secara emosional maupun konstitusional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar